Oleh: 0’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Konflik Bupati Hj. Nina Agustina Dai Bachtiar, S.H, M.H, C.R.A dengan Wakil Bupati (Wabup) Lucky Hakim (LH), sesungguhnya tidak menarik untuk kita persoalkan atas mundurnya LH sebagai Wabup.
Lantaran ada argumentasi-argumentasi kedunguan, kejongkokkan, kebebalan, keblingeran, kengawuran, dan bahkan ada analogi-analogi dan atau menganalogikan dengan amat sangat dalam kedunguan umtuk kita bisa membahami, di balik teks-teks tersebut.
Penggunaan diksi yang ekstrem tersebut merupakan penghubung atas tanda sebagai penanda dan atau atas penanda sebagai tanda untuk pembacaan hermetika untuk bisa memberikan kesimpulan.
Kita tidak harus membongkarnya dengan “Dekontruksi”nya Jacques Derrida yang rumit dan jelimet, hanya buang-buang energi, terlampau remeh temeh, karena sangat mudah untuk bisa melakukan pembacaannya, asalkan punya kejujuran, sekalipun telah. menjadi perbincangan dalam dunia tiktok, berita-berita yang tanpa mengetengahkan kecerdasan jurnalisnya, dan bahkan akhirnya menjadi gayung bersambut dalam ketiktokkan. Substansinya makin membias, kabur dan mengabur.
Itu semua menjadi kefatamorganaannya tidak terbongkar, apa yang sesungguhnya yang nyata dan apa yang sesungguhnya dinyatakan. Semua itu dibalut atau berselimut dalam politik post truth, dan akhirnya tanda sebagai penanda dan atau penanda sebagai tanda itu sendiri yang harus bicara dalam kefatamorganaan tersebut untuk bisa menembus batas politik post truth dalam drama alegori politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik.
Tanda sebagai penanda dan atau penanda sebagai fungsi tanda dalam politik post truth, hermetika yang akan menjelaskannya sebagai simpul-simpul kesimpulan atas tanda dan penanda itu sendiri atas mundurnya Wabup dan atas konflik Bupati dengan Wabup itu sendiri.
Tidak hanya itu, untuk membuka dan menembus batas alegori politik dalam sosiologi politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik. Untuk itu, pembacaan atas tanda sebagai penanda dan atau penanda sebagai tanda menjadi menjadi premis dalam persoalan konflik Bupati dengan Wabup, hingga sampai dengan mundurnya LH sebagai Wabup.
Mundurnya Wabup
LH mengajukan surat pengunduran diri sebagai Wabup di atas kertas kop surat Bupati berlogo Garuda. Surat pengunduran dirinya tertanggal 8/2/2023, ditandatangani dan dicaptempel Bupati, dengan nomor surat: 132/335/Tapem. Sifat: Segera. Lampiran: Kosong. Hal: Permohonan Pengunduran Diri sebagai Wabup Indramayu Periode 2021-2026. Ditujukan kepada yth. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Indramayu, dengan tembusan disampaikan kepada: 1. Menteri Dalam Negeri. 2. Gubernur Jawa Barat. 3. Bupati Indramayu.
Surat pengunduran diri atas permintaan sendiri tersebut diserahkan langsung ke DPRD oleh LH dengan pokok alasan: Ketidakmampuan mengemban amanah sebagai Wabup Indramayu, dan meminta maaf apabila selama menjabat sebagai Wabup terdapat banyak kekurangan dan kelemahan.
LH melengkapi surat pengunduran dirinya dengan surat pertanyaan pengunduran diri tertanggal 8/2/2021 di atas kertas bermaterai sepuluh ribu rupiah dan ditandatanganinya. Dalam surat pernyataan tersebut menjelaskan bahwa pengunduran dirinya atas permintaannya sendiri, dengan alasan: “Saya tidak sanggup melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagai Wakil Bupati Indramayu Periode 2021-2026, akibat ketidakmampuan Saya mengemban amanah dan Saya akan fokus pada kegiatan pribadi Saya untuk masa depan.”
Pertanyaannya, apakah pengunduran diri LH sebagai Wabup sama dengan pengunduran diri Hj. Anna Sophanah, SH sebagai Bupati? Jika kita dalam lautan kedunguan akan berkesimpulan sama, dan akan dipertegas dengan mengatakannya, bahwa kita punya cerita yang sama dalam sejarah kepemimpinan di Indramayu, pernah terjadi, Bupati mengundurkan diri.
Mundurnya LH sebagai Wabup, berbeda dengan mundurnya Bupati Anna Sophanah pada 30/10/2018 yang disampaikan ke Dewan. Rezim penguasa sebelumnya, mundur dengan alasan pokok: ingin fokus mengurus kedua orang tuanya. Sedangkan LH dengan alasan pokok: Ketidakmampuan mengemban amanah sebagai Wabup Indramayu, dan meminta maaf apabila selama menjabat sebagai Wabup terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dan atau Ketidakmampuan mengemban amanah sebagai Wabup Indramayu, dan meminta maaf apabila selama menjabat sebagai Wabup terdapat banyak kekurangan dan kelemahan.
Pada mundurnya Anna Sophanah sebagai Bupati pada periode kedua, setengah perjalanan kedua, pada 30/10/2018, alasannya sangat irasional (sangat tidak rasional) sebagai politisi kawakan yang ditempa suaminya, dimana suaminya telah menjadi Bupati dua periode sebelum dirinya, yang disebut sebagai cikal bakal tegaknya Kedinastian Randu Gede. Tentu, pokok alasan tersebut sesungguhnya amat sangat tidak rasional dalam logika dan akal waras, karena bukan pendatang baru dalam dunia politik yang mempolitiki. Itulah fakta konkretnya.
Pengunduran diri tersebut mulus-mulus saja, tidak menjadi gayung bersambut. Bahkan naiknya tahta Wabup menjadi Bupati pun tidak diperguncingkan, dan tidak pernah disoal, sekalipun pada waktu pencalonannya P. Golkar dalam perpecahan, sehingga harus pakai kendaraan parpol lain (Gerindra, PKS dan Demokrat), untuk mengusungnya.
Wabup yang jatuh ke H. Taufik Hidayat, SH, MSi kemudian naik tahta menjadi Bupati setelah Bupati Drs. H. Supendi, MSi terkena operasi senyap OTT KPK pada 2019. Taufik Hidayat waktu itu menjadi Ketua Dewan dari P. Golkar. Baik mundurnya Anna Sophanah maupoun naik tahtanya Taufik Hidayat, tidak pernah menjadi persoalan yang diperbincangkan di warung kopi maupun di medsos.
Pada mundurnya Bupati Anna, fakta yang sesungguhnya terjadi di balik teks alasan tersebut adalah karena ada perikatan, komitmen internal dengan Wabup Supendi, yang mana untuk tahta periode kedua dalam setengah perjalanan Bupati Anna Sophanah akan menyerahkan tahtanya ke Wabup, sehingga setelah mundurnya Bupati, Wabup Supendi kemudian dilantik menjadi Bupati. Kursi Wabup kemudian diisi Taufik Hidayat, dan parpol koalisi tak lebih dari sekedar pelengkap penderita.
Namun malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat digapai sepenuhnya. Bupati Supendi terjaring operasi senyap (OTT) KPK. Akhirnya Wabup Taufik Hidayat naik tahta menjadi Bupati untuk melanjutkan periode pemerintahan Bupati Supendi yang mendekam di Lapas Sukamiskin Bandung.
Posisi Wabup setelah ditinggalkan Taufik Hidayat naik tahta menjadi Bupati. Kursi wabup tetap dikosongkan, masa akhir jabatan Bupatinya kurang dari 2 tahun lagi sudah habis masa jabatannya. Kekosongan kursi Wabup tetap dikosongkan, karena itu ketentuan dari peraturan perundang-undangan.
Atas alasan pokok mundurnya Bupati Anna Sophanah tersebut, apa yang menjadi fakta dan realitas empirik politiknya? Dewan, Gubernur hingga Mendagri pun tetap mengabulkan pengunduran diri Bupati Anna Sophanah, meski alasannya terlampau naïf dan irasional dalam logika dan akal waras, jika dibandingkan dengan alasan LH mengundurkan diri. Alasan LH sangat konkret, dan tentu, atas fakta dan realitasnya bisa dibuktikan sendir oleh publik yang punya logika dan akal waras.
Oleh sebab itu, mundurnya Bupati pada rezim penguasa sebelumnya dengan mundurnya LH sebagai Wabup pada rezim penguasa sekarang ini, tidak bisa disamakan dan atau tidak bisa diparalelkan persoalannya. Dalam mundurnya Bupati yang lalu, konkret tarik ulur politiknya.
Mundurnya LH juga konkret daramatisasi politiknya. Sekalipun, penonton yang punya logika dan akal waras dengan mudah melakukan pembacaan alegori politik dalam drama tersebut. Tidak saja LH konkret alasannya, tetapi, konkret pula skenario drama alegori politik yang dimainkan oleh penulis skenarionya.
Bagi kita yang punya logika dan akal waras, ditambah modal melek politik kekuasaan kekinian sangatlah mudah untuk membaca ending ceritanya, meski drama alegori politik tersebut belum selesai, dan meski layar belum diturunkan. Penonton sudah bubaran terlebih dahulu. Tinggalah kursi-kursi panggung teater menjadi saksi kebisuan dalam kedunguan.
Beban Rakyat
Dalam peraturan perundang-undangan dengan regulasi turunannya, sangat jelas dan konkret nomenklatur anggarannya, bahwa kehidupan Bupati dan Wabup dalam kesehariannya selama dalam kedinasannya, bahkan kadang di luar kedinasannya, karena antara kedinasan dan di luar kedinasannya menjadi sangat samar, dan bisa tersamarkan, bahkan bisa disamarkan.
Hal tersebut, bagi kita yang punya logika dan akal waras bisa mengidentikikasi melalui pembacaan tanda dan penanda. Jika dibuat menjadi pertanyaan, apakah wara wiri untuk kepentingan selfi, tiktok dan atau pencitraan itu merupakan kedinasan atau di luar kedinasan?
Tentu, jawabannya konkret kewarasannya, bahwa wara wiri, tiktokkan untuk kepentingan politik pencitraan tersebut bukanlah dalam definisi dan katagori kedinasan. Sekalipun faktanya untuk kebutuhan politik pencitraan tersebut harus ditanggung oleh Negara (baca: rakyat) melalui mekanisme APBD, dan itu berarti beban kita (APBD) semua.
Dalam APBD, kebutuhan material dan rohani Bupati dan Wabup telah dianggarkan setiap bulan dan setiap tahunnya. Mulai dari bangun tidur, tidur lagi dan bangunm lagi kemudian tidur lagi. Mulai dari nguap, batuk, bersin, kencing, beol, ngigau (nglindur), ngorok, mimpi, sakit, tertawa dan bahkan marah-marahnya pun harus kita yang menanggung anggrannya untuk kebutuhan itu. Masih bisakah kita membayangkan itu semua?
Tidak hanya sebatas itu, baju, sepatu, kosmetik, sampo, salon, makan minum, wara wiri, selfi dan tiktokkan dan seterusnya dalam urusan kedinasan yang bisa disamarkan, dan kebutuhan kedinasan kerumahtanggaannya pun harus kita tanggunng. Dalam APBD, nomenklaturnya telah tersedia dan anggarannyapun juga telah tersedia. Ada namanya anggaran Administrasi Keuangan dan Operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Penyediaan pakaian dinas. Penyediaan dana penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang dulunya bernama anggaran tak terduga atau anggaran taktis operasional Bupati dan Wabup. Semuanya kita yang harus membayar dan atau menangungnya kebutuhan itu.
Sekali lagi, semua itu kita sebagai rakyat yang harus menanggung bebannya. Sehingga, jika dalam kulkasnya ada anggur berkurang sebijipun dan atau buah-buahan yang telah berkurang untuk cuci mulut sehabis makan, maka bagian umum kerumahtanggaan Bupati dan Wabup harus segera mengisi kembali kulkas tersebut seperti semula sediakala. Imaji liar kita tentu akan melayang-layang membayangkannya, “wah” itu seperti surga namanya, karena imaji kita yang liar membayangkan seperti di surga yang digambarkan pada umumnya oleh para agamawan.
Belum lagi, jika turun ke bawah dengan membawa segerbong pasukan, mulai dari Patwal, Ajudan, Satpol PP, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah selalu setia menemani kegiatan Bupati, dan lainnya. Potensi pat gulipat anggaran pun terjadi, mulai dari yang menjadi tuan rumah atas kegiatan Bupati baik bertempat di kecamatan maupun di desa-desa. Semua itu, bisa kita putar kembali ingatan kolektif publik dalam jejak digital yang tak bisa lagi disembunyikan, apalagi hal tersebut menjadi kebanggaan dan tidak menjadi kemasygulan.
Untuk itu, jika LH pura-pura bego dan atau menjadi dungu dan atau jika melekat mentalitas Petruk Menjadi Raja, maka akan bertahan hingga masa jabatan Wabupnya berakhir. Itu berarti LH tidak tahu diri, tidak tahu malu, dan tidak punya lagi kemaluan.
Namun, karena masih melekat etik pada dirinya dan atau masih menyimpan etika publik, dan etika politik dalam berpolitik, sehingga pilihannya mundur dari Wabup itulah yang harus menjadi pilihan satu-satunya sebagai “harga mati”, dan harus kita katakan bahwa LH menempuh jalan yang “bermartabat”, dan terhormat sebagai manusia yang punya logika dan akal waras.
Oleh karenanya, mundurnya LH dari Wabup adalah bentuk tanggung jawab moralitas sebagai manusia yang bermoral, beretika publik, dan sebagai manusia yang mempunyai moral etics bagi dirinya atas amanah jabatan yang diembannya. Ajaran moral dan sejarah moralitas telah mengajarkan pada kita semua yang punya logika dan akal waras, apa yang dimaksud dengan amanah jabatan dan sumpah jabatan, dimana Qur’an di atas kepalanya pada saat sumpah jabatan bagi pejabat publik yang beragama Islam.
Untuk itu, dengan mundurnya LH di tengah jalan, beban APBD menjadi berkurang untuk nomenklatur tersebut. Akan tetapi, jika LH tetap bertahan hingga habis masa jabatannya sebagai Wabup, padahal hanya sebagai patung hidup, itu namnya gila dalam kegilaan kekuasaan.
Di sisi lain, mundurnya LH, memang sudah menjadi skenario drama alegori politik dari mula, di mana Bupati menggusur dan meniadakan kedudukan Wabup dalam pemerintahannya sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggusuran peraturan perundang-undangan tersebut. Semua terdiam dan bahkan dianggap bukan pelanggaran, baik oleh Dewan, Gubernur maupun Presiden yang didelegasikan otoritasnya ke Mendagri, apalagi parpol pengusung, bungkam seribu bahasa, dan bahkan justru pucat pasi ketakutan jika mau melakukan teguran atas sikap dan tindakan Bupati yang melanggar UU tersebut.
Bupati lebih memilih bersolo ria dalam tata kelola pemerintahannya, bahkan dengan tegas dan konkret mengatakannya diberbagai media, bahwa tanpa Wabup tidak menjadi masalah, tidak menjadi hambatan dalam kerjanya untuk tetap bisa memajukan Indramayu. Jika nanti ada pengganti Wabup, kemudian tidak cocok lagi, maka dirinya akan memilih sendirian lagi dalam pemerintahannya. Konkret betul itu kengawuran dan keblingerannya.*****