0’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Indonesia bukan milik pribadi atau golongan dan atau bukan pula milik parpol. Begitu juga halnya Indramayu dengan BUMD (PDAM, BWI dan BPR KR/BPRI), sehingga jika kemudian menggunakan metode “cocokilogi”, mencocok-cocokan atau harus dicocok-cocokkan, bukan saja ngabur tetapi sudah keblinger. Hal tersebut dipakai atau dipergunakan sekedar untuk “mendaku” atas pertanyaaan, mengapa LH mundur di tengah perjalanan masa jabatannya sebagai Wabup.
Reaksi Sebab
Mundurnya LH melahirkan reaksi sebab; menyoal dan mempermasalahkannya. Reaksi sebab tersebut, ternyata terlepas dari arena dan atau relasi reaksi akibat.
Reaksi sebab itu tentu sangat amat menggelikan, karena bersandar pada kebebalan, kejongkokan, kengawuran, keblingeran, kedablegan, kejongkokkan dan seterusnya untuk tidak sampai kita katakan argumentasi dalam keduanguan. Kendatipun pada akhirnya sampailah pada apa yang dikatakan kedunguan dalam arena dan atau relasi reaksi sebab.
Penggunaan diksi ekstrim seperti jongkok-kejongkokkan, dungu-kedunguan, bebal-kebebalan, dableg-kedablegan, ngawur-kengawuran, sesat-kesesatan, dengkul-kedengkulan, keblinger-kekeblingeran dan seterusnya adalah sebagai aksioma dalam tanda untuk penanda itu sendiri dan atau sebaliknya, penanda sebagai fungsi tanda, untuk hermetika itu sendiri. Diksi ekstrim memang menyengat, tetapi itulah yang ingin digamblangkan oleh hermetika.
Poin yang menjadi persoalan dan dipersoalkan mundurnya Wabup, nukleusnya adalah:
- Kalau dalam perusahaan ada Direksi dan Wakil Direksi. Jadi Bupati itu Direksi dan Wabup itu Wakil Direksi. Kenapa bapak (LH) resign? Ketika kita berada dilevel pemimpin kita tak boleh lari dari masalah. Mengapa saya memberikan respon karena saya 8 tahun di manajemen. Jika di menejemen itu, 4 orang staf sama dengan 1 supervisor, 3 orang supersivor sama dengan 1 manajer. Kalau saya jadi bapak keluarkan manajemennya, berarti bapak harus punya staf ahli dibidang bla bla bla bla;
- Biaya Pilkada menggunakan uang rakyat. Pasangan calon Bupati dan Wabup dilarang mengundurkan setelah ditetapkan menjadi pasangan calon Bupati dan Wabup. Pasangan calon Bupati dan Wabup yang mengundurkan diri setelah ditetapkan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda 10 juta untuk pasangan calon Bupati dan Wabup yang mengundurkan diri dengan tidak ada klausul alasan yang jelas dan terukur;
- Wabup dilarang atau tidak boleh mengundurkan diri sebelum masa jabatan Bupati berakhir, atas dasar pasal 66(4) UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014, pasal 66 ayat (4), sehingga DPRD dan Mendagri dikatakannya tidak dibenarkan, tidak membolehkan jika mengabulkan pengunduran diri LH sebagai Wabup;
- Surat pengunduran diri LH memiliki kesamaan, meniru surat pengunduran diri Dicky Chandra mantan Bupati Garut yang berpasangan dengan Bupati Aceng Fikri;
- Nomor surat yang dipakai tidak diakui tercatat di arsip Tapem (Tata Pemerintahan), bisakah-tergolong ASPAL;
- Surat pengunduran dirinya cacat (mala) administrasi, karena menggunakan kop surat Bupati berlogo Garuda, dan tidak bermaterai;
- Tidak bertanggungjawab mundur di tengah jalan, bukan sikap negarawan. Seharusnya Lucky bertanggungjawab terhadap amanah yang diberikan rakyat untuk menyelesaikan tugasnya selama lima tahun mendampingi Bupati;
- Tidak tahu etika, tidak punya etika politik. Seharusnya ada tanggung jawab moral untuk menyelesaikan mandat warga, bukan keputusan bijak mundur tersebut; dan
- Makan minum Rp 35 juta/bulan atau Rp 100 juta/bulan untuk Wabup.
Mempertontonkan Kedunguan
Kita tengah dipertontonkan dengan kedunguan yang amat sangat dari poin (a) hinnga (i) dalam reaksi sebab. Pertama, menstabilo argumentasi bahwa, 4 orang staf sama dengan 1 supervisor, 3 orang supersivor sama dengan 1 manajer. Kalau saya jadi bapak keluarkan manajemennya, berarti bapak harus punya staf ahli dibidang bla bla bla bla.
Dengan sangat percaya diri dan berapi-api mengatakan hal tersebut, karena dirinya merasa 8 tahun di manajemen. Tetapi, analoginya berantakan tatkala menganalogikan Bupati sama dengan Direksi dan Wabup sama dengan Wakil Direksi. Lebih berantakan pula ketika menyamakan dan atau memparalelkan tata kelola pemerintahan sama dengan perusahaan swasta, sehingga menjadi kecelakaan besar dalam lautan kedunguan.
Argumentasi tersebut merupakan potret kedunguan yang teramat amat sangat, jika benar dirinya sebagai orang profesional atau profesional dalam manajemen. Argumentasi tersebut mengundang balik banyak pertanyaan, atau justru harus dipertanyakan keprofesionalannya, pamahamannya terhadap apa itu manajemen, dan keahliannya dalam hal manajemen.
Jika benar-benar paham betul(an) dengan teori manajemen secara akademik dan atau telah belajar dengan benar secara akademik, tidak terbalik membaca literaturnya mengenai manajemen dalam disiplin ilmu manajemen, akunting, sistem dan kebijakan publik, tentu tidak akan berargumentasi sedungu itu, dan tentu tidak akan berkesimpulan seperti itu. Itu soalnya.
Jika saja punya empirik membuat sistem manajemen, membuat SOP, membuat sistem akunting dan sistem internal control, dalam manajemen dalam suatu perusahaan, tak usah perusahaan industri dalam skala ekspor-import, cukup untuk perusahaan trading saja, tentu tidak akan menganalogikan seperti itu.
Jika kita membuat sistem akunting, di dalamnya menmyangkut bagaimana sistem manajemen, sistem internal control; yang juga mengkait sistem manajemen, dan SOP juga mengkait sistem manajemen. Sistem manajemen itu merupakan rangkaian dari sub sistem yang ada dan yang diperlukan untuk menjadi panduan, pegangan dan atau pelaksanaan dalam ruang dan lingkup cakupannya, supaya tidak sekehendaknya sendiri, tidak adakadabra.
Ditata kelola pemerintahan dan BUMD juga sama yang namanya sistem dan manajemen tersebut, tetapi itu sudah diatur dalam regulasi. Sekalipun regulasinmya banyak celah dan bolong-bolong ketika kita bicara sistem. Sistem (regulasi) dalam pemerintahan tidak sebangun dengan sistem yang ada dalam perusahaan, yang kapan saja sistem tersebut bisa direvisi untuk kemajuan atau keprofesionalan.
Peraturan perundang-undangan dengan segala regulasi turunanya tidak serta merta kapan saja bisa kita revisi atau koreksi, karena UU adalah kewenangannya Pemerintah bersama Legislatif. Permen adalah kewenangannya Menteri. Perbup atau Perkata adalah otoritasnya Kepala Daerah dan Perda adalah Kepala Daerah bersama DPRD.
Analogi, asumsi dan kesimpulannya menjadi berantakan dalam logika dan akal waras. Yang mengenaskan adalah mempertontonkan kedunguannya yang seharusnya logika dan akal warasnya mampu melihat dan membaca persoalan itu, bagaiman dalam pemerintahan itu, dan apa yang terjadi sesungguhnya di Indramayu konflik anatra Bupati dengan Wabup tersebut. .Pengetahuan dan kejujurannya yang harus bicara.
Justru dengan argumentasi seperti itu, pertanyaannya melebar dan menjadi panjang, yaitu, analogi dan rumus harga mati tersebut untuk jenis perusahaan apa, dan berapa banyak departemen dalam perusahaan tersebut dengan manajemen seperti itu. Struktur organisasi untuk perusahaan seperti apa itu?
Bagaimana struktur organisasinya? Dalam perusahaan tersebut, adakah pemilik saham mayoritasnya, Komisaris Utama (Komut)} dan atau bagaimana jajaran Direksinya dalam kepemilikan sahamnnya? Apakah perusahaan tersebut Tbk, dan seterusnya? Itu semua tidak dijelaskan dalam rumus harga mati tersebut.
Pertanyaan berikutnya, kok sedungu itukah, bahwa 4 orang staf sama dengan 1 supervisor, 3 orang supersivor sama dengan 1 manajer dalam memahami manajemen professional. Parahnya adalah untuk menganalogikan tata kelola pemerintahan yang di dalamnya ada perosoalan tata kelola BUMD, dimana Bupati adalah ex ofixio KPM (Kuasa Pemilik Modal) yang terikat dengan peraturan perundang-undangan. Bukan terikat oleh kebijakan manajemen atas pemilik saham mayoritas (Komut) seperti dalam perusahaan pribadi, keluarga, atau umum dalam pengetian para pemegang saham dalam perusahaan.
Berbeda dengan manajemen perusahaan yang tidak terikat dengan peraturan perundang-undangan dalam hal kebijakan tata kelolanya, di mana manajemen dalam perusahaan adalah amat sangat bergantung pada pemilik perusahaan, alam hal ini yang disebut Komut sebagai pemilik dan atau pemegang saham mayoritas akan mengatur, mengendalikan dan atau membuat sistem yang dikehendaki dalam manajemennya, sekalipun itu manajemen profesional.
Dalam tata kelola birokrasi (pemerintahan) tidak sama dengan hal tersebut, terlebih dalam tata kelola BUMD, sekalipun dalam BUMD ada Komisaris Utama, yang salah kaprah pengertiannya seperti pada PT. BWI. Ada Komut jika BUMD tersebut berbentuk Perseroan Terbatas (PT) seperti PT. BWI, pun hakikinya bukanlah pemilik saham seperti dalam pengertian perusahaan, karena posisi Komut yang salah kaprah itu dalam BUMD merupakan perpanjangan tangan dari KPM (Kuasa Pemilik Modal), di mana posisi Bupati sebagai Ex-Opixio, bukan Wabup dalam regulasinmya.
BUMD yang berbentuk Perumdam (PDAM) tidak ada istilah Komut. Begitu juga dalam BPR KR (Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja, yang konon berganti menjadi BPRI (Bank Perekonomian Rakyat Indramayu).
Regulasi manajemen akunting dan sistem akuntingnya memang ngawur dan sesat, seperti halnya dengan istilah “saham” dalam pembagian profitnya, tetapi kemudian dipatok dan atau menjadi Harga Mati 55% profitnya untuk PAD-APBD (Pendapatan Asli Daerah-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Kesesatan dan kekeblingeran lainnya seperti rumus Harga Pokok Produksi pada PDAM, BWI keblinger dalam core businessnya.
Dalam Perumdam, BPR KR/BPRI dan BWI pemilik sahamnya adalah rakyat (APBD). Artinya, saham tunggal, tidak bersifat Tbk. Bupati hanya sebatas sebagai KPM, adalah menjalankan amanat pemilik sahamnya, yaitu rakyat, di mana rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diamanatkan oleh Negara (rakyat). Tetapi, fakta dan realitas empiriknya BUMD itu bagaikan milik pribadi Bupati. Itu yang menjadi kedunguannya.
Indramayu (Pemerintah Daerah) dengan BUMDnya tersebut bukanlah milik pribadi Bupati atau Wabup. Bupati dan Wabup dalam regulasi adalah jabatan politis selama 5 tahun, sehingga setiap 5 tahun sekali akan terjadi pergantian Bupati dan atau Wabupnya, terkecuali Bupati tersebut terpilih kembali untuk periode keberikutnya, dimana masa jabatan Bupati terbatas, hanya dua periode.
Memang tidak bisa tgerbantahkan, regulasi BUMD (PP dan Permendagri) menjadi ngawur dan sesat. Jika harus menggunakan istilah saham dalam displin ilmu ekonomi atau akunting, karena haruslah ada jajaran Komisaris (Komut, Komisaris Umum-Biasa), dan tentu. Jika menggunakan terminology jajaran Komisaris, sahamnya tudak tunggal, dengan kata lain jika berbentuk Tbk, yaitu Perumda Tbk, BPR KR (BPRI) Tbk dan PT. BWI Tbk, kepemilikan sahamnya harus terbuka, bukan dari APBD/APBN saja, dan biasanya berada di bursa saham.
Itu baru benar dan tidak sesat dengan istilah saham, tetapi gugur dalam harga mati 55% profitnya harus ke PAD, kecuali APBD menjadi pemegang saham mayoritas 55% dalam bentuk Tbk.
Kesesatan dan keblingeran berikutnya adalah untuk menghitung atau rumus mengenai Harga Pokok Produksi, menjadi ngawur dan sesat, yaitu Pendapatan dibagi dengan beban operasional.
Harga mati tentang HPP tersebut mengakibatkan adanya managemen risk yang cukup luar biasa resikonya, menjadi peluang untuk dikorupsi dan berpotensi besar perkorupsian menjadi tak bisa dibayangkan, yang fakta dan realitas empiriknya terus dilestarikan menjadi tradisi atau kultur dalam BUMD dan atau pemerintahan dalam perkorupsian.
Sekali lagi, argumentasi tersebut menunjukkan tidak saja kedunguian yang teramat sangat soal manajemen profesional yang menghargamatikan rumus manajemen seperti itu, tetapi juga merupakan kedunguan yang teramat sangat pula dalam memahami tata kelola (birokrasi) pemerintahan, karena itu semua sudah diatur dalam konstitusi; peraturan perundang-undangan dengan regulasi turunannya, bahkan sekalipun untuk analogi menganalogikan BUMD pun menjadi menambah kedunguan logika dan akal warasnya.
Dalam tata kelola pemerintahan, Wabup tidak bisa seenaknya mengambil kebijakan, seperti meminta dan atau menambah kebutuhan tenaga profesional sesuai dengan seleranya. Tidak seperti dalam perusahaan, sekalipun dalam manajemen yang profesional, sistem dan manajemennya setiap saat bisa saja berubah sesuai dengan kehendak pihak manajemennya dalam hal kebutuhan tenaga professional.
Pihak manajemen perusahaan setiap saat, kapan saja waktunya bisa menambah akan kebutuhan pegawainya, kebutuhan di level manajerial (tenaga profesional), staf, dan di bawah level staf, seperti, cliring service, satpam, tukang kebon, office boy dan seterusnya. Dalam BUMD pemilik sahamnya telah diatur dan terikat oleh regulasi.
Mungkin kita bisa memakluminya, karena meski mengklaim telah 8 tahun di manajemen, tetapi sesungguhnya, posisinya hanya sebagai pekerja (yang dalam terminologi Karl Marx dikatakan Buruh), bukan pemilik manajemen atau sebagai Komut atau Komisaris Umum.
Argumentasinya mengafirmasi keniscayaan bahwa dirinya adalah orang manajemen dengan jobdesnya manajemen di suatu perusahaan, tetapi sekaligus mengafirmasi kebenaran menjadi keniscayaan bahwa ia buta dalam tata kelola pemerintahan dan BUMD dengan mempertontonkan kedunguannya.
Patut dicatat pula, dalam sejarah keprofesionalan, orang profesional, jika dirinya berada atau bekerja dalam suatu perusahaan yang manajemennya profesional, akan merasa nyaman sekalipun bukan sebagai pemilik saham. Tetapi, ketika atau jika perusahaan itu manajemennya sampah, buruk dan atau bobrok, orang profesional pastilah akan mundur.
Kedunguan berikutnya adalah dengan solusinya membicarakan dengan Komut atau jajaran Komisaris sebagai pemegang saham atau sebagai pemegang kendali manajemen jika ada persoalan. Patut distabilo, sekalipun kita menjadi orang profesional dalam pereusahaan, tetapi hal tersebut bukan domain kita sebagai buruh, pekerja untuk mengambilalih kebijakan manajemen dan atau pengendalian manajemen, bukan otoritasnya.
Sebagai saran dalam solusi boleh saja diajukan, tetapi tdak bisa memaksa pihak manajemen. Jadi salusinyanya tersebut hanya sebatas saran, boleh didengar dan boleh diabaikan oleh pihak manajemen. Tidak ada kewajiban memaksanya. Berbeda dengan di Pemerintahan, ada kewajiban UU yang harus dilaksanakan yang bersifat mengikat aturan dan ketentuan tersebut. Jika Bupati dan atau Wabup tidak melaksakan kewajiban sesuai UU, Dewan bisa memkazulkannya. Tentu, jika Dewannya tidak menjadi Harimau Harimau Sirkus. Dewannya berfungsi sebagai watch-dog, karena pahan dengan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat..
Kita sekedar menjadi pelaksana dari sistem manajemen dalam perusahaan atau sekedar untuk menjalankan menajemen perusahaan yang dikehendaki Komut dan Komum (pemegang saham) dalam konteks dan relasi keprofesionalitasan.
Bupati dan Wabup juga sama, sebagai penyelenggara Negara, kedudukan dan jabatannya sebatas dalam menjalankan tata kelola pemerintahan sebagai penyelengara negara. Semuanya telah diatur dan terikat dengan peraturam perundang-undangan dan regulasi turunannya. Tidak bisa sekehendaknya sendiri.
Bupati dan Wabup dengan keinginannya sendiri minta di sekitarnya adalah pegawai yang kompeten, profesional dan atau membuat struktur organisasi pemerintahan yang sesuai dengan kehendaknya, tidak bisa seperti itu. Begitui juga dalam tata kelola BUMD, struktur organisasi, jabatan dan lainnya telah diatur dalam regulasi yang mengikat.
Hal yang sesuai dengan kehendaknya Bupati dan Wabup dalam Tata Kelola Pemerintahan tidak bisa seperti pemilik saham dan atau pemilik manajemen dalam perusahaan. Soal ASN (Apartur Sipil Negara), formasi dan kebutuhan pegawai, karier, Jabatan, golongan dan kepangkatan, gaji, tunjangan dan besaran pensiun ASN dan seterusnya, sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tidak seperti dalam perusahaan. Bupati dan Wabup, tugas, tanggung jawab, kewajiban, kewenangan dan larangannya, semua sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pertanyaannya adalah apakah bisa (mungkin) jika Wabup menginginkan dan atau meminta yang menjadi ajudan, sekpri, dan stafnya adalah ASN yang mempunyai kapasitas dan atau standar minimal paham betul dengan logika dan filsafat logika, paham betul dengan ekonomi dan filsafat ekonomi, paham betul dengan filsafat pembanguna dan ekonomi pembangunan. Jawabnya, mungkin sangat naïf dan absurd bahkan menjadi absurditas. Itu bagaikan pungguk merindukan bulan.
Tujuannya jelas, untuk percepatan pembangunan, untuk kemajuan, kemakmuran atau kesejahteraan dan seterusnya supaya dalam pengambilan kebijakannya tidak sesat dan atau tidak menyesatkan, menyengsarakan rakyat, jika Bupati atau Wabupnya punya logika dan akal waras dalam hal kebijakan publik. Logika dan akal waras yang jelas itu hanya menjadi kenaifan semata.
Yang punya logika dan akal waras tentu paham, itu semua, supaya bisa menghasilkan logika dan akal waras dalam kebijakan yang tidak sesat dan atau tidak ngawur dalam samudra kedunguan, seperti yang digambarkan Peter L. Berger dengan “Burung Burung Hering Di tengah Tumpukan Sampah” sehingga bisa menghasilkan analisis untuk pertumbuhan ekonomi, gini rasio, multiplier effect, dan tentu resiko efek dominonya dalam kalkulasi logaritma kebijakan publik. Tetapi, itu terlampau naïf.
Bahkan tidak hanya itu, melahirkan konsep tata ruang, ekosistem dan lingungan dalam pembangunan, yang kemudian bisa terbaca dalam APBD sebagai kebijakan publik untuk kemajuan, kesejahteraan, dan mewujudkan apa itu yang disebut dengan pembangunan daerah baik dalam artian luas maupun dalam pengertian sempit.
Berikutnya, apakah jika Wabup minta untuk ajudan, sekpri, dan stafnya adalah yang paham betul dengan logika dan filsafat logika, paham betul dengan komunikasi dan filsafat komunikasi dan seterusnya akan bisa terpenuhi? Akan menjadi naïf sekali. Belum lagi dihadapkan pada pembacaan atas bagaimana implikasi langsung maupun tidak langsung atas “global finance market” dengan efek dominanya bagi pertumbuhan ekonomi dan investasi bagi daerah.
Tentu, jika keinginan Wabup seperti itu bagaikan memeluk gunung tangan tak sampai. Sekalipun, ASN di pemerintahan Bupati sekarang, nyaris sudah sarjana semua, bahkan rata-rata sudah pasca sarjana dan bahkan pula sudah banyak yang bergelar Doktor. Itu yang mungkin menjadi buta dalam penglihatan yang sudah 8 tahun di manajemen, ketika berargumentasi dalam kengawuran manajemen bahwa 4 orang staf sama dengan 1 supervisor, 3 orang supersivor sama dengan 1 manajer.
Berikutnya, apakah ada jika Wabup mengingkan ajudan, sekpri, dan stafnya yang paham betul dengan sosilogi kekuasaan, paham betul dengan filsafat kekuasaan, paham betul dengan politik kekuasaan dan kekuasaan poltik ketika kebijakan harus diambil untuk kemajuan dan atau perubahan Indramayu. Untuk menjelaskan apa itu Negara dan apa itu Pemenritahan, dan apa pembedanya, belum tentu paham sekalipun itu di level jabatan strategis, karena itu bisa kita lihat dalam APBD dan kebijakannya.
Di sisi lain dipersandingkan dengan apa yang dikatakan Jeremy Bentham dalam Utilitarianisme dengan prinsip “the greatest happiness of the greatest number” atau apa yang dikatakan John Locke dalam Libertarianisme. Bahkan dihadapakan pada moralitas teologis dalam setiap kebijakan. Tentu, akan menjadi naïf dan utopis, karena stok ASN yang ada dalam pemerintahan Wabup tidak akan meng-ada untuk hal itu. Belum lagi soal mentalitas yang bobrok.
Apakah jika keinginan Wabup seperti tersebut bisa terpenuhi? Sungguh amat naif, absurd bahkan menjadi sangat utopis, karena stok ASN yang +/- 12.000an itu menjadi hal yang “langka”, kualifikasi dan kapasitas seperti tersebut. Jika pun ada dari 12.000an ASN yang ada itu, apakah akan diberikan ruang ole rezim penguasa?
Sehingga, bagaimana mungkin, “Burung Burung Hering Di tengah Tumpukan Sampah” bisa menghasilkan pembacaaan untuk konsep pembangunan daerah, dan bagaimana kemudian bisa melakukan pembacaan atas utilitarianism dan libertarianism untuk merumuskan kebijakan dalam mensejahterakan rakyatnya. Naif betul itu.
Barangkali untuk melakukan pembacaan atas pikiran-pikiran filsuf Skotlandia John Adam Smith (Bapak Ilmu Ekonomi baru) terlampau sulit dijangkau dalam menafsirkan The Wealth of Nation. Itu soalnya.
Untuk itu, bagaimana mungkin bisa menghasilkan analisis pertumbuhan ekonomi, karena untuk menganalisis dan menghitung gini rasio saja tidak mampu, apalagi kinerja pemerintahan Bupati tidak berbasis data yang secara akademik bisa diuji kevalidannya sebagai basis data dalam pengambilan kebijakannya. Sehingga, bagaimana mungkin kebijakannya bukan kebijakan selfi dan atau tiktok yang dihasilkannya. Basis datanya gugur dalam analisis akademik. Kebijakannya bisa dipastikan akan selalu ngawur dan atau keblinger, dan sesat dalam basis kedunguan.
Bagaimana mungkin akan menghasilkan konsep dan analisis antisipasi terhadap akan adanya efek domino dan imbas multiplier effect atas tata ruang, ekosistem, lingkungan, dan implikasinya terhadap kebijakan makro (Pemerintah Pusat), situasi ekonomi dan politik global, seperti implikasi adanya perang Rusia-Ukraina, dan ketegangan politik kawasan Indo China atau Indo Pasifik, dan konflik negara-negara Arab yang terus berlangsung. Itu semua akan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi secara makro dan iklim investasi daerah.
Sekali lagi, itu semua hanya semakin naïf, absurd dan bahkan menjadi utopis untuk bisa menghasilkan kebijakan publik dalam membangun daerah, terlebih sekarang Bupati lebih enjoy memilih kebijakan selfi dan atau tiktok semata dalam pemerintahannya. Kebijakan publiknya tidak berakar dan atau berbasis data yang benar (riil), sehingga menjadi amat sangat tidak mungkin dan atau akan menjadi kernaifan semata dengan Indramayu bisa “Bermartabat.”
Oleh sebab itu, orang profesional akan selalu ditantang untuk tahu diri, tahu malu dan tahu kemaluannya sendiri dan atau punya kemaluan yang besar jika berada dalam manajemen yang buruk. Pastilah hengkang, good bye.
Begitu pun untuk menganalogkan LH mengapa mundur dan atau harus mundur. Karena itu, merupakan jalan pilihan yang paling terhortmat dan bermartabat. Itu salah satu ciri umum sikap negarawan. Lumayan salah satu ciri juga, karena itu menjadi barang “langka” di negeri ini, apalagi di Indramayu.
Untuk itu, menyamamakan struktur organisasi dan atau kelembagaan dalam tata kelola pemerintahan dan BUMD dengan struktur organisasi dalam perusahaan pemerintah, berarti kita sedang mempertontonkan kedunguan untuk memdungukan dirinya sendiri.*****