0’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Ada banyak pertanyaan atas mundurnya LH dari kursi Wabup. Akan tetapi, semua pertanyaan itu, substansinya adalah apakah LH mundur tersebut berdiri sendiri atau karena serta merta?
Dalam empat artikel sebelumnya, kita bisa mengatakan, bahwa reaksi akibat belum tentu akan mengakibatkan reaksi sebab. Sebaliknya, bisa saja karena reaksi akibat menjadikan adanya reaksi sebab.
Tetapi, hukum adi kodrati (kausalitas) memang tidak bisa dibantah oleh logika dan akal waras, kecuali oleh para pendungu dan atau para penghamba kekuasaan, di mana mata, telinga dan hidung terlampau jauh letaknya.
Jawaban atas pertanyaan itu, tentu kita bisa melakukan pembacaannya atas tanda sebagai penanda dan atau penanda sebagai tanda, karena logika dan akal waras tidak akan bisa membantah atas keniscayaan hukum adi kodrati alam semesta.
Reaksi Akibat
Baru saja seumur jagung perjalanan pemerintahannya sudah bertolak pantat. Tetapi, kita tidak perlu mencampuri dan atau ingin tahu lebih banyak alasan apa di balik bertolak pantat tersebut, selain yang menyangkut tata kelola pemerintahan.
Itu menjadi tidak penting lagi, karena fokus studi ini adalah apakah benar ada Bupati tanpa Wabup dalam tata kelola pemerintahan. Bagaimana fakta dan realitas empiriknya? Itu yang lebih substansial. Itu soalnya.
Ada banyak penanda sebagai tanda atas fakta dan realitas empirik dalam tata kelola pemerintahannya. Itu disebabkan karena perubahan dramatis situasi dan kondisi politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik kekinian yang meng-ada dan yang mengemuka.
Wabup secara de jure hingga tahun 2023 (sampai artikel ini ditulis) masih ada, tetapi secara de facto keberadaan Wabup telah ditiadakan sejak rezim penguasa seumur jagung dalam pemerintahannya. Fakta dan realitas empirik yang tak bisa dibantah dan tak bisa terbantahkan adalah antara lain:
- Gambar Bupati dan Wabup merupakan simbol pemerintahan daerah, tetapi di tangan rezim penguasa, simbol pemerintahan daerah dilenyapkan. Artinya, pemerintahan berada absolut di satu tangan, bagaikan di negeri komunis.
- Dirut PDAM DR. DR. Ir. Ady Setiawan, S.H, M.H, M.M, M.T, melompat pagar tembok pembatas tupoksinya. Dibanyak kesempatan mengambil-alih kedudukan dan atau peran dan fungsi Wabup, mendampingi Bupati dibanyak acara dan kesempatan. Padahal, Perumdam hanya merupakan entitas, bukan berada dalam struktur langsung ASN dalam urusan tata kelola pemerintahan.
Dirut mencamuri banyak hal, yang sama sekali bukan tupoksinya, bahkan mengambil-alih yang seharusnya hal tersebut adalah otoritas Wabup atau Sekda. Tentu, itu semua atas kuasa Bupati. Memang jika kita mau mutar-mutar, itu menjadi karakter Dirut yang suka melompat pagar pembatas.
- Semua spanduk-spanduk yang dipasang di depan perkantoran, sekolah-sekolah, di jalan-jalan di seluruh peloksok Indramayu, hanya ada gambar Bupatinya saja, tanpa gambar Wabup. Di sekeliling pagar pembangunan proyek taman Puspawangi alun-alun Pendopo yang menelan APBD Rp 7,6 milyar lebih, tak terlihat gambar Wabup.
- Pada peringatan Hari Mendongeng Wiralodra, 7 Oktober 2022, tak ada satupun gambar Bupati dengan Wabup sebagai simbol pemerintahan daerah. Yang ada hanya gambar Bupati di arena pasar rakyat, arena hiburan yang gegap gempita dan seterusnya. Dibanyak tempat ada gambar Bupati dengan Dirut PDAM yang suka memamerkan gelarnya bagaikan rentengan bledogan.
- Di gedung BUMD, terutama di runagn Dirut PDAM, gambar Wabup dicopot, tinggal gambar Bupatinya saja. semua spanduk, baligho yang dipasang di Balai Desa/Kelurahan, Kecamatan, Sekolah, SKPD, BUMD, yang ada hanya gambar Bupatinya saja dengan gambar Kuwu/Lurah, Kepala Sekolah, Kepala Dinas, dan seterusnya. Tentu, ada yang merayap dalam senyap sebagai sebuah intruksi dan atau isyarat gesture untuk tidak memasang gambar Wabup. Fakta tersebut menyimpulkan tidak berdiri sendiri.
- Nyaris dalam setiap paripurna Dewan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan harus (wajib) dihadiri Bupati, itu tidak berlaku. Mangkir dari keharusan hadir bukanlah salah, karena memang tidak pernah diberikan sanksi. Jadi tidak tahu bahwa itu salah. Kerena, jika ingin tahu apakah itu benar, maka harus tahu bahwa itu salah. Begitu juga sebaliknya.
- Dalam paripurna Dewan, seharusnya ada kursi Bupati dan Wabup. Fakta dan realitas empiriknya hanya tersedia kursi Bupati. Celakanya, jika Bupati mangkir, kursi Bupati diduduki Sekda. Wabup tidak disediakan tempat duduk, dan memang Wabup tidak diberi ruang untuk bisa hadir dalam rapat paripurna Dewan, sebagaimana dimaksudkan dalam regulasi tata kelola pemerintahan. Tak ber-etika sama sekali, apalagi etics yang melekat pada dirinya. Etika publik kepemerintahan pun lenyap terkuburkan.
- Dalam berbagai kegiatan kedinasan pemerintah, jika Bupati berhalangan hadir, tidak didelegasikan kepada Wabup. Sekda atau Dirut PDAM yang mengambil-alih peran Wabup, seperti memberikan sambutan. Bahkan akhir-akhir ini Dirut PDAM lebih dominan mewakili Bupati dan atau mendampingi Bupati dalam banyak agenda kegiatan kedinasan. Dirut dengan lega hati, tanpa beban meninggalkan kursinya. Taka da perasaan bersalah atau berdosa.
- Peniadaan dan atau penggusuran Wabup sebagaimana diatur dalam ketentuan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, ditandai dengan fakta konkret secara de facto, yaitu, antara lain:
- Mencopot peran dan fungsi Wabup sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga Wabup hanya menjadi patung hidup, tanpa fungsi dan peran sebagaimana tupoksi yang melekatnya;
- Dirampas dan atau ditiadakannya hak protokoler Wabup;
- Buta dengan data tata kelola pemerintahannya, karena semua akses data terproteksi, terkunci. Tak ada satupun Kepala Dinas yang berani, termasuk Sekda untuk membuka akses data kepada Wabup. Bahkan, dengan karakter Bupati yang otoritarian tersebut, banyak melahirkan genetika baru sebagai pecundang, penjilat dan penghamba kekuasaan demi kariernya, demi menyelamatkan jabatan dan tunjangannya yang luar biasa besarnya yang harus ditanggung rakyat;
- Persoalan rumah dinas Wabup bagaikan rumah tak bertuan;
- Pencopotan semua gambar Wabup di manapun adanya. Foto diri memang tidak menjadi penting. Hanya mereka saja yang gila pamer foto diri dan atau supaya dikenal atau terkenal. Persoalannya di sini adalah simbol Pemerintahan Daerah; dan
- Di pagar degung Dewan sebagai rumah rakyat, dan bahkan dalam ruang tunggu (ruang lobi) pun tidak terlihat simbol Pemerintahan Daerah dilenyapkan; hanya ada gambar Bupatinya saja.
- Bupati seolah-olah tidak tahu menahu sewaktu ada Penghamba Kekuasaan (Toni RM) yang mempunyai otoritas kekuasaan dari Bupati dan atau memang diperintahkan untuk melakukan sidak ke ruangan Wabup. Bersikap dan atau bertindak tak ubahnya Densus 99 dalam melakukan penggeledahan; memeriksa absensi kehadiran Wabup, memeberi pengarahan protokoler atas ASN yang berada di depannya.
Padahal, Toni RM bukan ajudan Bupati, bukan ASN, dan sama sekali bukan dari entitas dalam tata kelola pemerintahan. Dengan gagah melakukan tindakan tersebut, memvidiokan dan mengunggahnya ke medsos dengan menarasikannya seperti Guru Besar saat memberikan penjelasan pengukuhan atas ke-gurtu-besara-annya,.
Sungguh benar-benar sangat amat luar biasa. Jauh lebih hebat dari gayanya dari FBI dan NYPD dalam film. Tak tahu malu, tak tahu diri, tak punya kemaluan, tak punya etika publik dan juga tak punya etics sama sekali. Itu semua terlihat ketika bertanya dengan sikapnya yang arogan.
- Seterusnya, menjadi lakon Ketoprak.
Retorika, Slogan dan Jargon
APBD (uang rakyat) itu milik publik (rakyat), tapi ada apa dan kenapa publik tidak boleh tahu bagaimana APBD itu, bagaimana uang rakyat itu dipergunakan, dan berapa triliyun uang rakyat itu ada dalam APBD, bagaimana kebijakan-kebijakan strategisnya; apa saja, dan seterusnya. Kok publik sebagai pemilik APBD tidak boleh tahu, tidak bisa diakses. Begitu juga dengan halnya neraca BUMD.
Transparansi yang masih digembok rapat adalah soal hasil audit BPK, LHP BPK tidak bisa diakses publik. Regulasinya tegas mengatakan, jika LHP BPK tersebut sudah diserahkan kepada Dewan, maka dokumen yang bernama LHP BPK sudah menjadi milik publik. Artinya welcome untuk diakses, karena bukan lagi dokumen rahasia. Publik untuk mendapatkan LHP BPK tersebut masih harus melalui jalan tikus bawah tanah yang berliku.
Baru pada APBD 2023 bisa diakses via website BKD. Kepala BKD mencoba mengambil inisiatf membuka lubang kecil kran akses publik, karena terus menerus diterjang deru ombak kritik. Sekalipun kini melahirkan sebuah pertanyaan.
APBD 2023 yang bisa diakses tersebut masih belum sesuai dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pasal 20-24, sehingga transparansinya masih disembunyikan, karena bisa buat kita menjadi sesat bagkan akhir dungu.
APBD 2023 kok bisa tidak sama? Lucu bin ajaib. Padahal, landasannya adalah APBD 2022 dipakai kembali dengan menerbitkan Perkada. APBD-P 2022 diperlakukan menjadi APBD 2023 dengan Perkada sebagai landasan regulasinya.
Jadi APBD 2023 seharusnya sama dengan APBD-P 2022. Apakah disengaja atau tidak, kita tidak tahu. Jika disengaja berarti menabrak peraturan perundang-undangan dan atau adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, sebagaimana BPK dalam LHPnya memberikan kesimpulan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Kok bisa APBD-P 2022 yang harus dipakai dalam TA 2023 dengan Perkada kok bisa tidak sama. Itu soalnya. RAPBD 2023 gagal disahkan, berarti APBD 2022 yang dipakai. APBD-P 2022 = Rp 3.392.571.182.705,00 dengan realisasi Rp 3.293.006.392.610,00. APBD-P 2022 menjelma menjadi APBD 2023 menjadi Rp 3.641.777.590.740, dengan Defisit sebesar (Rp 138.389.000.000,00). Pendapatan = Rp 3.503.388.590.740,00. Silpa tidak tercermin dalam APBD 2023 dengan alasan menunggu hasil audit BPK. Yang tersebar isunya Silpa sebesar Rp 420 milyar.
Konsekuensi resikonya adalah terhadap perangkaan pada (nyaris) semua program dan kegiatan. Kita tidak bisa mengatakan, ah itu soal yang sepele, karena itu bagian dari kengawuran dan atau kekeblingeran dalam menafsirkan regulasi. Sehingga, tidak hanya total Pendapatan dan Belanjanya saja, tetapi, tentu, perangkaan dalam program dan kegiatannya pun berbeda. Kok bisa?
Sekali lagi, kok bisa total APBD dan perangkaannya tidak sama. Padahal, APBD 2023 gagal disahkan. Dengan terbitnya Perkada untuk TA 2023 berarti landasannya menggunakan APBD-P 2022. Itu soalnya. Iu hebatnya Bupati, termasuk pemberian sanksi 6 bulan untuk tidak diberikannya hak keuangan anggota Dewan dan Bupat.
Pasal 312 ayat (2) No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang secara gamblang atas pemberian sanksi tersebut, tetapi oleh Mendagri bisa dibrangus begitu saja. Dibatalkan begitu saja, padahal itu UU. Tentu, berkat Bupati hebat.
Transparansi yang masih terkunci dalam ketiak kekuasaan adalah neraca BUMD (PDAM, BWI, BPR KR) yang merupakan dokumen publik, ditafirkan dan dimaknai sebagai dokumen rahasia negara. Hal tersebut menjadi benar-benar dalam kedunguan kronis.
Kok publik (rakyat) sebagai pemegang saham tidak boleh tahu bagaimana sepak terjang kegiatan usahanya, untung apa buntung. Bahkan LH saja sebagai Wabup pun tidak pernah tahu seperti apa neraca BUMD tersebut. Apakah BUMD tersebut waras atau sakit parah atau tengah sakratul maut.
Jika seperti itu, program pendunguan publik masih menjadi sangat massif, terstruktur dan sistemik yang sukses dan berhasil dirawat, dipelihara, untuk terus melestarikan mendungukan publik, menjadi ketersesatan dungu.
Jika seperti itu, yang namanya transparansi dan akuntablitas hanya retorika, slogan dan jargon politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik untuk memperdaya (tipu menipu) rakyat, dan membius rakyat pada masa kampanye.
Resultante Pilkada hanya menghasilkan racun bagi kehidupan mencerdaskan rakyat, kesejahteraan, demokrasi, transparansi dan akuntabilitas. Pilkada tersebut bukan lagi sebagai vox populy, vox dei sebagai ruh demokrasi itu sendiri. Rezim penguasa bukan lagi determinan dari vox populy, vox dei, yang tidak bisa untuk berharap adanya perubahan masa depan.
Perubahan yang menjadi fakta dan realitasnya adalah perubahan yang makin memburuk, rusak, karena lahir dari rahim mentalitas masyarakat yang bobrok. Sehingga hanya menghasilkan kebijakan selfi dan tik tok yang mengemuka. Yang menjadi fakta dan realitas empirik, APBD tidak jelas juntrungannya.
BPR KR kolap, 99,9% Insya Allah niscaya akan bubar(an), jika sekalipun persoalan nasabah telah klirn dan atau kredit macet telah berhasil ditangani 100%, jika BUMD (BPR KR) masih dijadikan Tong Sampah dengan Manajemen Sampah.
Public trust tidak bisa dibangun seperti kita mengigau, apalagi BPR KR tersebut telah jatuh ke titik nadir Nol Besar. Omong kosong jika Dewas, Jajaran Direksi dan Bupati mengatakan bahwa BPR KR masih diselamatkan, masih bisa disehatkan. Diagonosa omong kosong tidak akan bisa mengobati penyakit yang sudah berada dalam sakratul maut.
Tong Sampah harus dibersihkan dengan Manajemen Profesional, dengan risousis yang bukan sampah yang meenyampah, karena dari sampah akan keluar dan atau akan menghasilkan sampah pula. PT. BWI bubar.
Di tangan rezim penguasa baru, dua BUMD klap dan atau bubaran di tangan Bupati, meski apologi dan alibinya melempar tanggungjawab, karena itu rusak dari masa lalu. Yang seharusnya jika mau, masih bisa disembuhkan, jika punya logika dan akal waras. Tentu, sebelum koma dan atau sakratul maut.
Survive dan revival bukan di tangan Manajemen Sampah, bukan di tangan Bupati yang otoritarianisme dengan politik identitas sekatriannya. Takdir sosial sembuhnya berada di tangan dingin profesionalisme yang melepaskan politik identitas sektarianisme.
Penyehatan BUMD bukan berada dalam devil’s hands, tetapi angan-tangan dingin yang mengerti dan paham bahwa BUMD itu sahamnya milik publik (rakyat), bukan milik Bupati sebagai KPM dengan perpanjangan tangan dan lidahnya pada Dewas dan Komisaris Utama (Komut) seperti pada BWI, yang pemahaman Komut, dan pengertian sahamnya menjadi keblinger.
Mengapa?, karena upaya penyembuhan BUMD harus dengan jalan melakukan Glasnost dan Perestroika radikal, pinjam istilah Mikhail Gorbachev yang membuat negara-negara kasawan Baltik melek demokrasi, dan akhirnya memilih merdeka, memisahkan diri dari Uni Soviet yang komunis.
Glasnot dan Perestroika radikal tersbut dalam hal BUMD adalah melakukan restrukturisasi dan reorganisasi yang holistic, terutama soal resources SDM (Sumber Daya Manusia).
Resources tidak bisa dimaknai hanya dengan wujud SDM melainkan harus dengan maujudnya. Jadi bukan hanya soal capital resources tok dalam restrukturisasi dan reorganisasi radikal dalam penyelamatan BUMD yang sakit kronis, koma dan atau yang tengah dalam sakratul maut. Jika inpusnya hanya berpangku pada penyuntikan (penyertaan) modal baru, itu hanya omong kosong dan hanya gede-gedean omong kosong yang naïf dan absurd.
Upaya dan pembacaan awal mustinya sudah bisa terbaca sejak dini, awal bertahta duduk dalam kursi panas tersebut. Upaya dan langkah konkret mustinya bisa didelegasikan kepada Wabup untuk mengemban tanggungjawabnya, karena politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik hanya akan membuat BUMD makin sakratul maut, dan kini terbukti secara nyata dan konkret dua BUMD kolap dan bubar(an), tinggu menunggu PDAM. Hanya soal waktu saja takdir sosialnya.
Tetapi apa yang menjadi fakta dan realitas empiriknya, Tata kelola pemerintahan yang sungguh sangat luar biasa hebatnya (kblinger), jika ceritanya sampai LH sebagai Wabup pun buta APBD, buta informasi, buta agenda Bupati ke mana saja dan apa saja dalam suatu tata kelola pemerintahan, dan pada akhirnya menjadi buta-butaan, dan publik pun dibuat menjadi buta pula, selain melihat selfian dan tik tok
Yang luar baisa hebatnya, dalam era digitalisasi masih dimasifkan program penyesatan dan atau pendunguan publik. Ini bukan lagi keblinger tapi sudah menjadi kedunguan kolektif dalam pemerintahannya. Itu semua, karena Indramayu Bermartabat hanya retorika, slogan dan jargon untuk memperdaya masyarakat yang dungu dan atau untuk membius masyarakat yang bobrok mentalitasnya.
Sisa pertanyaannya adalah bagaimana Wabup tahu akan anggaran makan minum? Bagaimana tidak sesat dan tidak asal nyeplos, jika semua akses data dan informasi tergembok. Dirinya puluhan kali menjelaskan bagaikan orang buta yang berada dalam ruangan sebuah gedung. Katanya, orang luar justru yang lebih tahu ketimbang dirinya yang berada dalam Pendopo soal tata kelola pemerintahan, anggaran dan lain-lainnya (PKSPD: Wabup LH bertanya, PKSPD menjawab, dan PKSPD bertanya, Wabup LH menjawab, Senin, 10/10/2022. +/- 12:30 WIB).
Yang lebih luar biasa adalah APBD sudah diketuk palu, disahkan, ternyata masih bisa dan terus dikutak-katik, dibongkar pasang seenaknya, bahkan masih dikutak-katik, dan itu dilakukan sesudah APBD disahkan beberapa bulan kemudian.
Yang tidak kalah hebat dan pentingnya, di satu sisi lain adalah soal SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan) sendiri itu ada celah berlubang sesat. Dalam SAP dikatakan dengan merdu dalam pengantar buku SAP tersebut, yaitu, Laporan Keuangan Berbasis Akrual. Lucu, menggelikan sekaligus kita dibuatnya menjadi dungu dan dalam kedunguan.
Jika harus accrual basis, resikonya tidak ada yang namanya account Liabilities, dan berarti hanya ada account Receivable. Faktanya ternyata ada, dan itu berarti Cash Basis. Ingin tampil beda akhirnya menjadi sesat SAP tersebut. Belum lagi pada pelaksanaannya. Itu bisa kita lihat dalam Neraca Aset Daerah sangat gablang kengawurannya.
Hal tersebut bisa kita sandingan dari tahun ke tahun, dan bisa disandingkan pula dengan Neraca Aset Daerah yang berada di Dinas-Dinas (SKPD), seperti hanya akun KDP, Depresiasi, amortisasi, nilai buku tangibel asset dan intangible asset, inventory dalam banyak jenis, seperti ATK, BBM dan lainnya, terutama perlakuan expenses, termasuk dalam neraca BUMD.
Itu bisa kita uji kebenarannya pada salah satu akun yang namanya Kontruksi Dalam Pekerjaan (KDP) dan soal nilai buku aset, depresiasi dan amortisasi yang seenaknya sendiri dalam neraca asset daerah, dan seterusnya, dan itu dibiarkan oleh BPK yang setiap tahun melakukan audit, tidak menjadi temuan.
Dalam akuntansi pastilah menganut hukum accrual basis dan cash basis, itu pasti dan menjadi kepastian. Di negara manapun juga tidak ada Laporan Keuangan yang SAP-nya hanya berbasis accrual atau hanya berbasis cash saja, baik yang menganut Continental maupun Anglo Saxon, meski sistem akuntansi di negara yang paling terbelakang sekalipun dan atau negara yang baru merdeka.
Ada beberapa terminologi yang berbeda dengan akuntansi publik yang dipakai Kantor Akuntan Publik, dan literature yang diajarkan di kampus akademik maapun sekolah menengah. Termasuk dalam perlakuan dan pengertian expenses. Itu kegagahannya dalam SAP.
Persoalan dilematis lainya adalah persoalan mentalitas auditor BPK yang “bobrok” manakala melakukan audit di pemerintahan Indramayu, meski konon menggunakan samplingnya 5% dalam melakukan audit terhadap obyek pemerikasaannya. Tapi persoalan Wabup luput dari penglihatan auditor, baik dari sisi anggaran maupun dari sisi regulasi yang dilanggar. Padahal itu menyangkut penggunaan ABPD. Inspektorat lebih menutup mata.
Jauh lebih buruk menimpa auditor Inspektorat sebagai internal auditornya, sebagai mata, telinga dan tangannya Bupati. Kebobrokkannya tidak saja hanya mentalitasnya, kapasitas keauditorannya, keilmuannya jauh di bawah standar.
Auditor Inspektorat hanya cakap dalam menghitung saldo kas dengan kalkulator, dan menjumlah ulang deretan angka atau rupiah dalam table atau kolom sambil minta kopi dan rokok, dan bagaimana kemudian memainka peramplopan kepada obyek yang diperiksanya. Itu keunggulan kompetitifnya yang tak bisa terbantahkan.
Bukannya mana yang melanggar regulasi, mana yang mana fraud, yang terindikasi perkorupsian. Itu tidak pentinng. Padahal dalam kode etik, auditor dilarang penuh ketika auditor melakukan pemeriksaan lantas meminum minuman yang disediakan oleh obyek yang akan diperiksanya, apalagi meminta-minta, karena semua itu sudah ditanggung negara.
Dalam Inspektoraat ada yang namanya APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah) yang kosentrasi dalam hal pemeriksaan keuangan; penerimaan dan penggunaan APBD, dan ada yang namanya P2UPD (Pejabat Pengawas Penyelenggara Urusan Pemerintahan Daerah) yang berkonsentrasi melakukan audit terhadap kebijakan, apakah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau ada ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan tersebut. Tapi itu semua menjadi “blong” bahkan menjadi “tong kosong nyaring bunyinya.”
Intelektual Vampire
Karena sebab, yang nyata tidak dinyatakan, yang tidak nyata harus dinyatakan dan dikatakan, serupa dengan para akademisi yang hanya melihat fatamorgana, tetapi tidak mau membongkar penglihatannya terhadap kefatamorganaan itu. Fatamorgana sesungguhnya hanya tipuan pandang dari apa yang sesungguhnya yang harus bisa kita lihat.
Untuk bisa membongkar kefatamorganaan pemerintahan rezim penguasa, kita harus menjalani dan atau menjadi tukang kliping terlebih duhulu. Berita media yang menjadi corong kekuasaan akan menjadi sesat, karena memproduksi berita hoax. Begitu juga dengan pemberitaan media yang sepotong-sepotong akan menyesatkan, apalagi pemberitaannya mengubur kecerdasan jurnalisnya. Informasi atau kabar yang bersliweran harus kita uji ulang keshahikannya, sehingga tidak seperti kaleng yang glombrangan.
Itu semua, utamanya adalah problem mentalitas, terlepas dari apakah statemennya itu adalah by order atau sekedar bertiktok ria atau sebab yang lainnya, tetapi itu soal integritas dan moralitas intelektual yang bukan lagi menjadi fenomena, tetapi fakta dan realitas empirik tersebut makin menguat adanya.
Pada fakta berikutnya, ada yang sekedar “mendaku” dan mengedepankan argumentasi bahwa kekuasaan tidak boleh diganggu, karena akan berakibat mandegnya dan atau terganggunya pembangunan yang menjadi visi-missi Bupati dalam membangun Indramayu. Untuk menyalamatkan pembangunan, kekuasaan tidak boleh diganggu.
Hal yang “mendaku” berikutnya adalah kalau tidak mau makan gaji buta, mengapa tidak mundur sejak awal saja? Mengapa LH baru sekerang ngomong tidak malu makan gaji buta? Katanya pula, jika LH bertanggungjawab terhadap amanah yang diberikan rakyat, selesaikanlah tugasnya selama lima tahun, bukan mundur di tengah jalan.
Itu karena sebab, fatamorgana yang dilihatnya, dan celakanya jika statemen tersebut keluar dari mulut para akademisi, para intelektual, bahkan kemudian ada akademisi dengan argumetasi kejongkokannya, bahwa Bupati dalam mengambil kebijakan itu adalah hak perogratifnya (baca: absolitisme), tidak bisa disalahkan, karena itu otoritasnya.
Mereka itu sesungguhnya tengah merobek-robek nalar akademiknya. Padahal, hal yang absolut atas hak prerogatif tersebut adalah hanya Tuhan pemiliknya. Apakah para akademisi itu telah lupa dengan metodologi akademiknya dalam analisis kebijakan publik atau lagi kesurupan kekuasaan dan ataukah sudah menjadi “penghamba kekuasaan.”
Apakah tidak pernah mau belajar memasuki hal yang substantif dalam filsafat dan teologi dalam keabsolutan dan hak prerogatif, sehingga, pandangannya menjadi seribu kunang-kunang, tetapi bukan Seribu Kunang Kunang di Manhattan seperti yang diceritakan Umar Kayam.
Pasti itu merupakan apologi para akademsi vampire dan atau intelektual kaleng; glombrangan dan atau para penulis salon. Yang oleh filsuf Prancis Pierre Bourdieu dalam “The Collective Intellectual” disebutnya sebagai pengkhianatan intelektual. Kerusakan mental tengah menggerogoti bangsa dan negara. Kerusakan mental bangsa dan negara makin meluas. Bagaikan kanker yang terus menjalar ke mana-mana dalam pembuluh darah.
Sebagian jurnalis (lokal) juga mempertontonkan kedunguannya dengan menggugat, jika wartawan tidak boleh ini, tidak boleh begitu, lalu harus bagaimana. Ini problem membaca tapi tidak mau mengerti kerana kerusakan mentalitas.
Jika media dan jurnalis landasannya adalah UU Pers dan kode etik jurnalistik, maka yang dilarang dan atau tidak boleh itu adalah yang menyengkut menerima imbalan, menjanjikan sesuatu, membarter pemberitaan (kasus perkorupsian), meminta-minta apalagi memeras karena memegang kartu trup rahasia perkorupsiannya dan atau penyimpangannya. Itu yang tidak boleh. Luvu bin dungu jadinya ketika “mendaku” soal itu. Jurnalis itu adalah bagian dari apa yang disebut dengan kaum intelektual.
Pertanyaannya sederhananya, jika wartawan itu tdak punya usaha pokok atau sampingan, hanya menjadi wartawan tok, yang tidak digaji atau tidak diberikan honorarium tulisan beritanya, bahkan dibebani jualan koran jika bukan media online, bagaimana mungkin bisa menghidupi istri dan anaknya? Berdagang, berjualan dan seterusnya, tentu boleh. Jika itu juga yang dipertanyakan, namanya kedunguan akut. Bukan kartu pers dipakai untuk menjadi Harimau Harimau lapar. Itu soalnya.
Tidak sedikit dari jurnalis yang tergelincir menjadi “pemeras” kasus. Fakta dan realitas empiriknya, kartu pers dijadikan alat untuk men-86-kan (baca: memeras) kasus, dimana basis datanya diperoleh nengan mengatas nakan kerja junalis.
Tidak sedikit pula yang menceritakannya dengan bangga dan percaya diri, bahwa dirinya bisa memeras pejabat publik dengan nilai yang sangat fantastik, tidak hanya puluhan juta tapi ratusan jutaan atas kasus korupsi yang datannya berada di tangannya.
Jika tidak memberikan senilai permintaannya, media dan atau kurnalis mengatakan akan diberitakan dan atau dilaporkan ke APH. Kartu pers benar-benar ampuh sebagai senjata dalam melumpuhkan pejabat publik (yang korup).
Jika kemudian pejabat publik tersebut mengindar dan atau tidak mau menemuinya, atas nama kerja jurnalis untuk mengkonfirmasi, akan menggertak dengan pasal 18 ayat (1) dan atau pasal 4 ayat (2 dan 3) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda Rp 500 juta. Gampang sekali mengucapkan itu.
Fakta dan realitas empiriknya, bukan lagi melakukan pencegahan, melainkan makin menambah perkorupsian. Pada sisi lainnya, seolah-olah dengan status wartawan (jurnalis) dengan kartu persnya tersebut menjadi kebal hukum, apalagi jika sudah bergabung dalam wadah organisasi kewartawanan. Di sinilah letak kematian pers tersebut, keluar dari filosofinya.
Para akademisi vampire dan atau intelektual salon, rupanya mencoba sedang berupaya untuk menjungklirbalikan metodologi berpikir terstruktur dalam melihat dan melakukan pembacaan atas fakta dan realitas empirik sebagai sebuah hal yang nyata-nyata itu fakta konkret.
Jika kebijakan-kebijakannya sudah benar, bukan kebijakan selfi atau tiktok, tentu akan menghasilkan output dan outcome yang adakadabra. Untuk menguji apakah kebijakannya telah berbasis data atau berbasis igauan, kita bisa melakukan pembacaannya pada APBD.
Apakah para akademsi vampire dan atau intelektual salon tidak bisa melihat yang nyata yang harus dikatakan? Apakah akademisi vampire dan atau intelektual salon matanya telah gerhana, sehingga dalam penglihatannya tidak terlihat lagi di depan matanya ada banyak “Burung Burung Hering Di tengah Tumpukan Sampah” seperti yang diceritakan sosiolog Peter L. Berger? Fakta dan realitas empirik tersebut keduanya menandai konkretnya hal yang nyata tidak dinyatakan, dan hal yang nyata-nyata tidak nyata yang dikatakan.
Itu jelas dalam APBD hanya memperlihatkan kebijakan selfi dan tik tok, hilang arah untuk bisa menterjemahkan akar masalah yang harus diambil sebagai kebijakan publik untuk bisa menyelesaikan dan atau mengatasi kebobrokan dari rezim penguasa sebelumnya, dimana mentalitas birokrat, birokrasi dan ke-3 BUMD-nya telah sedemikian rupa dirusak dan rusak.
Sekarang, fakta dan realitas empiriknya justru menjadi tambah rusak dan makin rusak, apalagi mau bermimpi memajukan daerah, apalagi harus secara radikal (dalam tataran konsep dan analisis ekonomi pembangunan) untuk mengadakan perubahan yang diimpikan publik, agar Indramayu bisa maju dan sejajar dengan yang lainnya.
Konsep dan analisis kebijakaan yang radikalnya blong. Itu baru pada tataran berfikir atau konsep, belum pada tataran bagaimana konsep dan analisis dalam anggaran (APBD), dan bagaimana dalam implematasinya, karena dalam APBD tersebut harus bicara, dan itu tidak terlihat. Yang terlihat dan terbaca hanya yang selfi atau tik tok, mana yang strategis menjadi prioritas, seperti kita berkaca pada cermin yang buram dan retak (baca: remuk).
Itu semua menjadi absurd bahkan menjadi absurditas dalam kebijakan-kebijakannya. Meski adat fakta konkret, segudang pengharaan telah diraihnya. Tetapi itu semua adalah penghargaan yang fatamorganais, yang oleh Herbert Marcuse disebut sebagai “kebahagiaan semua” dalam kebanggaan tersebut.
Sudah menjadi obrolan warung kopi, bahwa kekuasaan akan cenderung korup. Untuk itu, harus dikawal dalam pengambilan kebijakannya, agar kebijakannya tidak menjadi koruptif, untuk menyelamatkan pembangunan. Bukan beraplogi, bahwa untuk menyelamatkan pembangunan, kekuasaan tidak boleh diganggu atau terganggu.
Agar bisa menyelamatkan pembangunan atau APBD, tidak bisa dengan “Waiting for Godot”, karena varibel penentunya, harus adanya civil society kritis, apalagi jika telah terjadi adanya kematian kampus (kematian akademisi dan mahasiswa), dan kematian media jurnalis, sehingga pers bukan lagi menjadi “juru bicara” publik, melainkan sudah menjadi juru bicara kekuasaan, corong dan kaki tangan rezim penguasa.
Bagaimana kita bisa membayangkan jika seperti itu, kita berada dalam kedunguan yang teramat sangat dableg kedunguannya, karena semua literatur dan fakta sosiologi yang mengurai soal kekuasaan akan menyatakan, bahwa kekuasaan akan cenderung korupstif.
Fakta dan realitas sosiologi sejarah kekuasaan di manapun itu adanya, jika tanpa civil society kritis yang kuat sebagai control kekuasaan, yang akan meng-ada, hanya menghasilkan perkorupsian sejati, di mana parlemen dan atau aparatus negara akan menjadi alat kekuasaan dan atau akan berkongkalikong, berkonspirasi dalam perkorupsian.
LH dalam testimoni dan statemennya di media, bahwa dirinya mencoba bertahan, dengan perkataan lain, coba-coba, mencoba lagi, siapa tahu bisa berjalan bersama lagi dengan Bupati sesuai amanat UU (PKSPD: LH-Wabup bertanya, PKSPD menjawab. PKSPD bertanya, LH-Wabup Menjawab).
Fakta dan realitas empiriknya, ternyata tetap tidak berubah, lantas mundur karena malu makan gaji buta adalah mematahkan apologi mengapa tidak mau mundur sejak awal kalau malu makan gaji buta.
Di sisi lain, yang memedihkan dan memilukan adalah ada kematian civil society kritis, kematian masal akademisi dan kematian kolektif media massa. Tidak saja soal demokrasi, transparansi dan akuntabilitas publik yang mati sekarat.
Sama halnya dengan adanya kematian APH (Aparat Penegak Hukum), padahal perkorupsian makin sangat merajela, dan lenggang kangkung saja. Yang menjadi kecemasan kolektif adalah jika aparatus negara sudah menjadi aparatus kekuasaan.
Menjobrag Kejaksaan Tinggi
Bagi publik yang tidak memiliki logika dan akal waras, dungu dan atau yang terbelenggu dengan Kembang Gayong dalam Ketoprak Pendopo, pastilah akan mengatakan sungguh hebat luar biasa, Bupati sampai harus langsung menjobrag (melabrak) Kejati dalam kasus kredit macet BPR KR. Itu yang menjadi fakta dan realitas, meramaikan pemberitaan media.
Bupati didampingi Dirut PDAM DR. DR. Ady Setiawan, S.H, M.H, M.M, M.T (yang suka memamerkan gelar yang bagaikan rentengan bledogan Telukagung) bersama Kajari Ajie Prasetya ke Kejati. Meme publiknya mengatakan: lengket bagaikan prangko, nempel terus. Bagaikan Ratiminah dan Baridin. Bagaikan galih dan Ratna. Bagaikan Romi dan Yuli.
Bupati membawa dan memberikan bukti-bukti perkorupsian yang terjadi di BPR KR atas kasus kerdit macet Rp 300 milyar, Sekda ngomong Rp 230 milyar, sebelumnya dilansir Rp 150 milyar, lain waktu Rp 141 milyar, agar Kejati mengusut tuntas kasus kredit macet.
Rezim penguasa tidak peduli dengan apa itu Trias Politika, yang memisahkan campur tangan dan atau untuk tidak mencampur-aduk pemisahan kekuasaan antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Tabrak saja. Toh sanksi regulasi tidak diberlakukan baginya. Ada privilege bagi Bupati untuk bertindak dan bersikap apa saja semaunya (Karwek). Itu keunggulan kompetitifnya.
Apa yang dilakukan Bupati atas sikap dan tindakkannya tersebut, publik dungu, pastilah akan mengatakan, bahwa Bupati sangat serius dalam pemerintahan, berkomitmen melakukan pemberantasakan korupsi. Hal tersebut seperti disampaikan Bupati dalam pernyataan publiknya pada media. Padahal itu bagaikan Kembang Gayong di musim semi.
Bupati dengan menjobrag langsung Kejati itu menunjukkan dalam dua hal, yaitu, pertama adalah Bupati tidak mengerti apa itu Trias Politika, dan yang kedua adalah karena memang Bupati tengah mempertontonkan kearogansian kekuasaannya, siapa dirinya, semua bisa diatur oleh dirinya, sampai APH pun berlutut pada telunjuk Bupati. Jika DPRD sudah tidak aneh lagi, karena Dewan bukan lagi sebagai watchdog, Dewan sudah menjadi Harimau Harimau Sirkus dalam ketiak kekuasaan Bupati.
Itu namanya intervensi Eksekutif terhadap Yudikatif, dan baru ini terjadi di republik ini dan baru ada di dunia, di negara manapun adanya yang menganut sistem demokrasi. tetapi hal tersebut sudah biasa dalam sistem komunis; kekuasaan adalah segala-galanya dan menjadi Tuhan-nya. Kekuasaan adalah di tangan satu orang.
Apakah publik akan termangu-mangu dibuai dengan retorika, slogan dan jargon atas apa yang dilakukan tersebut merupakan komitmennya dalam hal pemberantasan korupsi. Padahal, yang sesungguhnya di balik teks tersebut adalah tidak lebih untuk atau sebagai pencitraan politik semata. Tentu yang masih punya logika dan akal waras masih harus menguji ulang Kembang Gayong itu kebenarannya.
Dengan kekeblingerannya tersebut, yang takjub bagi kita adalah disampaikan pada publik dengan rasa bangga sebagai komitmen tindakan atas pemberantasan korupsi dalam pemerintahannya. Nyata betul arogansi kekuasaannya. Tak ada duanya.
Jika Bupati mengerti apa itu Trias Politika, tentu Bupati cukup dengan memberikan pernyataan publik untuk mendukung sepenuhnnya, sifatnya mensuport Kejati dalam menuntaskan kasus kredit macet BPR KR, buka langsung dengan memberikan bukti-bukti kasus tersebut, karena tindakan tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap Yudikatif.
Secara konstitusional sikap dan tindakan menjobrag langsung tersebut adalah keblinger dablegnya, dan merusak tatanan sistem hukum negara demokrasi, karena secara metafor dengan mempersonikasikan dirinya memiliki politik kekuasaan dan kekuasaan politik yang telunjuknya bisa menentukan takdir sosial bagi nasib pejabat dan atau APH merupakan presen buruk bagi negara hukum dan negara demokrasi.
Jika mau bermain cantik, Bupati bisa bermain di belakang laya. Di belakang layar, Bupati bisa berbuat banyak untuk memberikan informasi dan atau bukti-bukti lainnya melalui sasaran antara atau kendaraan lain.
Ini yang mengkristal adalah kearogansian kekuasaannya yang dipertontonkan pada publik, karena dirinya merasa diproteksi kuat oleh kekuasaan di atasnya melalui link politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik. Ini merupakan cacat moral kepemimpinan, sekaligus mempertunjukkan leadership yang lemah.
Ini bisa dipastikan dan bisa dijamin adalah merupakan preseden buruk APH dalam penegakkan supremasi hukum, karena fakta dan realitas empiriknya hukum berjalan karena sebab akibat by order politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik. Sungguh nista dan naïf atas hukum di negeri ini. Fakta dan realitasnya, semua bisa diatur dan berlutut pada rezim ponguasa.
Pertanyaannya jika seperti itu, bagaimana mungkin APH (Yudikatif) berani menyentuh Bupati jika dikemudian hari baik langsung maupun tidak langsung terlibat dalam perkorupsian (terselubung), gratifikasi dan atau tindak pidana pencusian uang dalam pemerintahannya..
Problem psikologis dan mentalitas APH itu kemudian akan berhadapan dengan fakta dan realitas empirik yang konkret dalam pemerintahan rezim penguasa sekarang, bahwa pembangunan infrastruktur; jalan, gedung atau bangunan masih massif, terstruktur dan sistemik berada dalam perkorupsian yang terselubung yang dikemas dengan LPSE.
Mari kita coba memelekkan mata APH untuk menguji dan membuktikan dan atau sebagai pembuktian premis di atas dengan banyak bukti petunjuknya cukup konkret sebagai alat bukti permulaan yang lebih dari cukup, yaitu semua infrstruktur yang dibangun berorientasi proyek perkoruposian, sehingga fakta dan relaitas empiriknya umur ekonomis atau umur guna instrastruktur yang dibangun dengan menelan APBD milyaran bahkan puluhan milyar tersebut menjadi lebih pendek dari umur guna kenormalannya, kelayakannya atau yang sesungguhnya.
Hal itu disebabkan perkorupsian, sehingga kualitas pembangunan jauh di bawah standar mutu. Sangat konkret dan dengan mata telanjang itu nyata dan terlihat betul. Itu merupakan bukti petunjuk adanya perkorupsian dalam pemerintahannya, belum lagi proyek-proyek yang mangkrak di tengah jalan.
Apakah APH akan berani masuk dalam ranah fakta dan realitas empirik perkorupsian yang terselubung dalam proyek “Satu Pintu” untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan yang sungguh-sungguh dalam melakukan pemberantasan korupsi atas perkorupsian yang berselimut LPSE dalam setiap tender.
Karena, tidak menutup kemungkinan, baik langsung maupun tidak langsung ada dalam lingkaran sumbu kekuasaan, yang mengakibatkan adanya potensi kerugian keuangan negaranya cukup gablang, karena pendeknya umur guna bangunan atau gedung atau jalan, infrastruktur yang dibangun.
Bagaimana jika kemudian ada potensi dan atau ada bukti petunjuk kemungkinan dan atau terindikasi dugaan keterlibatan Bupati baik langsung maupun tidak langsung adanya “devil’s hands”. Apakah APH berani dan atau punya nyali menyentuhnya? Sungguh naïf dan absurd bahkan menjadi utopis semata, kecuali by order Bupati dan atau sebagai pelapornya.
Fakta dan realitas bukti petunjuk tersebut seperti pada proyek alun-alun Pendopo yang bernama Taman Puspawangi yang menelan APBD senilai Rp 7,6 milyar dari pagu anggaran yang di-LPSE-kan Rp 7,737 milyar lebih.
Proyek pembangunan gedung pelayanan terpadu yang juga milyaran. Proyek Pasar Baru Indramayu yang mangkrak. Proyek pengecatan jembatan dan gedung-gedung pemerintah dengan warna politik identitas, merahnya merah, dan proyek-proyek lainnya. Semua dengan kualitas bangunan yang mengindikasikan perkorupsian yang luar biasa, keterlaluan dalam kualitas buruknya, terutama yang kasat mata betul adalah proyek jalan rusak.
Pembangunan gedung untuk lembaga-lembaga vertikal dengan nilai milyaran dari APBD, padahal itu bukan urusan wajib, kemudian menjadi kebijakan wajib yang harus diprioritaskan APBD, sementara gedung-gedung sekolah yang menjadi urusan wajib APBD dan atau Bupati ditelantarkan, sehingga tidak layak untuk dunia pendidikan yang diharapkan melahirkan generasi masa datang yang cerdas sebagai penyangga bangsa dan negara, yang sekaligus untuk menggantikan estafet kepemimpinan.
Tidak berhenti sampai di situ saja yang bukan urusan wajib APBD, kemudian menjadi kebijakan urusan wajib menggunakan APBD oleh telunjuk Bupati, antara lain, APBD harus menggelontorkan dana untuk fasilitas dan operasional para jurnalis dalam wadah GPI (Graha Pers Indramayu) dengan nilai yang fantastic, yang disebutkan Demokratis.co.id, (9/3/2023) senilai Rp 1,8 milyar.
Lantas kisruh antarpenghuni GPI, ada yang dianaktirikan, tidak kebagian kue haram (melanggar peraturan perundang-undangan) dari APBD yang terselubung tersebut. Atas telunjuk Bupati, itu semua mengalir. Akhirnya menyeruak ke luar tembok GPI atas kebobrokan kepengurusan yang semuanya adalah para jurnalis.
Penggelontoran dana APBD yang terselubung lewat telunjuk Bupati tersebut untuk fasilitas dan operasional GPI, bukanlah urusan wajib APBD. Kasus perkorupsian tersebut sudah sampai di tangan APH. Apakah berani APH menyentuh Bupati? Dana tersebut kemudian menjadi racun.
Racun yang disuntikkan Bupati tersebut beriplikasi langsung, bagaimana mungkin jurnalisnya bisa independen sebagai watchdog untuk kepentingan publik, di mana pers sebagai pilar ke-4 demorasi.
Menjadi belenggu dan tawanan, akhirnya hanya melahirkan media dan atau jurnalis yang “menghamba kekuasaan”, hanya menjadi herder untuk me-window-dressing kebijakan, menjadi corong kekuasaan dalam menyuarakan kepentingan politiknya.
Dana Hibah kepada Pendidikan Tinggi (Unwir) senilai Rp 4 milyar lebih , dimana Pendidikan Tinggi bukan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, atas telunjuk Bupati hal tersebut harus menjadi urusan wajib bagi APBD.
Hal yang sama, bahkan lebih parah lagi, dana hibah nempel di Dinas Satpol PP untuk lembaga vertical APH senilai Rp 2 milyar. Lagi-lagi itu bukan urusan wajib APBD, tetapi atas telunjuk Bupati harus menjadi urusan wajib APBD. Sungguh dahsyat keblingernya, bukan? Bukan tidak boleh hal tersebut jika kemampuan keuangan daerah telah selesai memenuhi urusan wajibnya.
Bisakah membuktikan bahwa adanya preseden buruk tersebut APH bantah? Bisakah APH membantah bahwa penegakkan hukumnya bukan by order, tapi karena atas amanat konstitusional yang melekat pada dirinya APH dan atau yang melekat pada institusionalnya. Mari kita tunggu fakta dan realitas empiriknya.
Ketoprak Pendopo
Pertanyaannya, bukankah LH dibuat sedemikian rupa dalam lakon drama yang didramatisir, yang pada akhirnya, sesungguhnya, itu menjadi impian dan mimpi-mimpinya Bupati, bahwa LH hrus terdepak atau disingkirkan. Secara psikologis dibuat harus tidak bertahan atau tidak betah, sehingga mengundurkan diri atas permintaannya sendiri.
Jika kita melakukan pembacaannya pada dua rentang masa, maka kita bisa memilahnya menjadi dua pentas lakon yang didramatisir, yaitu, lakon drama pertama adalah LH bagaikan yang diceritakan Jean Paul Sartre dalam Huis Cloise. LH berada dalam suatu kamar atau gedung dengan pintu yang tertutup. Mengapa Ia berada dalam ruangan yang tertutup? Itu tidak bisa dijelaskan oleh tokoh dalam lakon cerita tersebut.
Lakon drama kedua adalah seperti yang diceritakan George Orwel dalam Animal Farm. Kedua tokoh penting dalam alegori politik tersebut bernama Napoleon dan Snowball. Awal ceritanya, kedua tokoh sepakat untuk merubah takdir sosial dalam kehidupan, sehingga mengkampanyekan sebuah perubahan, pembebasan dari belenggu, perubahan nasib.
Retorika, slogan dan jargon tersebut dibuat untuk membius dan manrik simpati dukungan untuk menumbangkan rezim (penguasa) yang bernama Mayor Tua. Padahal Mayor Tua adalah bijak, namun dikendalikan oleh pemilik kuasa. Dibuatlah 7 (tujuh) hukum yang mengatur situasi dan kondisi yang ada untuk dipatuhi.
Untuk itu harus berjuang bersama, dan bersama-sama pula dengan masyarakatnya (komunitas). Setelah Napolean bersama Snoball berhasil merebut kekuasaan dari Mayor Tua. Hasrat berkuasa terus membara dalam diri Napoleon.
Napoleon waswas atas keberadaan dirinya dalam kekuasaan, sehingga bagaimana caranya agar posisi dirinya aman dan nyaman. Dipikirkan dan dirancangnya, bagaimana strategi untuk mendepak atau menyingkirkan Snowbell dalam kekuasaannya.
Endingnya, Napoleon berhasil dan sukses menyingkirkan Snowbell sebagai pendampingnya, yang dulu sama-sma berjuang merebut simpati massa untuk merebut kekuasaan.
Lakon Huis Close dari Jean Paul Sartre maupun Animal Farm dari George Orwel adalah untuk melakukan pembacaan dan analisis politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik kekinian terhadap konflik Bupati dengan LH sebagai Wabup, tak bisa terbantahkan lagi.
Dalam politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik kekinian, siapapun bisa menjadi ancaman dan atau menjadi kewaswasan sebagai rivalitas politik dalam kontestasi politik berikutnya. Agar tidak menjadi batu sandungan, maka harus disingkirkan dengan berbagai cara.
LH tak ubahnya seperti yang diceritakan Jean Paul Sartre dalam Huis Close dan George Orwell dalam Animal Farm. Endingnya LH harus hengkang, tersingkirkan. Darama lanjutannya harus diolah sedemikian rupa, karena dalam tata negara kita harus melalui mekanisme membuat surat pernyataan pengunduran diri atas permintaannya sendiri.
Setelah itu harus diajukan ke Dewan dan melalui mekanisme paripurna, Dewan mengeluarkan surat rekomendasi atas pengunduran diri LH untuk diteruskan kepada Mendagri melalui tangan Gubernur untuk sampai ke Mendagri.
Namun tidak terhenti sampai di situ saja lakon drama tambahannya, karena situasi dan kondisi politik harus didranatisir sedemikian rupa, untuk membangun image nilai tambah. Melalui Devil’s hands melakukan demo menuntut Mendagri segera memberikan surat keputusan pemberhentian LH sebagai Wabup. Padahal, tidak didemo pun itu pasti Mendagri akan menerbitkan SK pemberhentian LH sebagai Wabup.
Gelombang gerakan kedunguan tersebut, akhirnya menjadi keniscayaan untuk melakukan pembacaan alegori politik berikutnya. Mengapa, bagaimana dan ada apa gerangan sampai seperti orang mau mencret yang tak bisa ditahan-tahan lagi?
Tentu, tanda sebagai penanda dan atau penanda sebagai tanda dalam hermetika, paling tidak, akan memberikan bacaan dan pembacaan kesimpulan: ada kepentingan politik kekuasaan dan kekuasaan politik apa yang begitu mendesak bagi Bupati, dan ada kegentingan apa bagi Bupati?
Akankah mengafirmasi kebenaran atas hal yang sangat mendesak, darurat genting tersebut agar segera ada Wabup yang sesuai selera yang diingkannya, seperti satire dalam Meme: bagaikan perangko menempel terus, bagaikan Ratna dan Galih, bagaikan Ratminah dan Baridin, bagaikan Romi dan Yuli, dan seterusnya sebagai cerita lakon yang terlihat dalam cermin yang retak.
Keniscayaan itu tentu bisa saja akan menjadi fakta dan realitas empirik, bisa saja juga itu hanya sebatas satire yang diekspresikan dengan “meme”, karena politik tidak mengenal jeda waktu untuk berubah atau bisa merubah haluan dalam sekejap mata.
Itu semua karena kita bukan bagian dari kedunguan publik, kita telah lunas dalam memahami dan memaknai Jean Paul Sartre dalam daramanya: Huis Close dan George Orwel dalam Animal Farm, yang dibantu dengan peralatan pembacaan Ignas Kapolkas dengan Politik Post Truthnya.
Harus Menjadi Role Model
Penjelasan Bupati yang disampaikan pada konfrensi pers, dimuat diberbagai media, diunggah dalam video, disebar ke medsos, menanggapi mundurnya LH sebagai Wabup, Bupati, dengan santai, tegas dan nyata dan atau konkret untuk menjawab bersliwerannya pertanyaan publik, bagaimana jika pemernitahannya dan atau dalam tata kelola pemerintahannya tanpa Wabup, apakah akan menjadi kendala?
Bupati dengan enteng menjawab, tidak ada masalah, tidak ada kendala, tidak ada hambatan dalam menjalankan roda pemerintahannya tanpa Wabup. Jika ada yang mengatakan aka nada kendala, itu hanya kedunguan yang masih menyoal akan ada masalah atau tidak efektif dalam tata kelola pemerintahannya.
Bupati bahkan mengatakan dengan tegas dan konkret, jika nanti ada penggantinya, kemudian tidak cocok lagi ya sendirian lagi. Begitu tegas dan konkret disampaikan pada puluhan jurnalis.
Penjelasan dan atau jawaban Bupati bahwa dirinya tidak ada masalah dengan mundurnya Wabup dalam tata kelola pemerintahannya, hal tersebut mengafirmasi keniscayaan atas kebenarannya, bahwa memang selama ini Bupati tanpa Wabup. Wabup dianggap tidak berguna; ada tapi tiada, itu konkretnya.
Setelah seumur jagung pemerintahannya, Bupati lebih enjoy menjalankan tata kelola pemerintahan tanpa Wabup. Lebih enjou lagi, dalam setiap kegiatannya di lapangan, Forkopimda selalu mendampinginya, dan kini tanpa kecuali dibanyak kesempatan, pendamping setianya adalah Dirut PDAM. Itu soalnya.
Bupati tanpa Wabup dalam tata kelola pemerintahan telah mendapatkan segudang piagam penghargaan, tidak hanya dari Pemerintah Pusat, Daerah, dan non pemerintahun memberikan apresiasi dan piagam penghargaan.
Semua program dari Pusat dan Propinsi telah dianggap sukses dan berhasil, karena memang dalam visi misi 99 programnya tersebut lebih merupakan turunan dari program Pemerintahan Pusat, 10 program unggulannya dikemas dengan seting lokal (daerah).
Fakta dan realitas empirik tersebut adalah sebagai bukti nyata dan konkret, bahwa Bupati sangat amat berprestasi, yang itu dibuktikan dengan konkret diberikannya berbagai penghargaan yang segudang itu.
Semua kebijakannya dianggap telah sukses dan berhasil gemilang, bahkan sangat fantastik di bawah kepemimpinannya, seperti penurunan dramatis stanting dalam waktu setengah tahun turun 50%.
Pengentasan kemiskinan ekstrim turun sangat dramatis. lLompatan salto juga dipertontonkan dengan menaikkan produksi padi terbesar se-Indonesia, sehingga Indaramayu dielu-elukan sebagai daerah swasembada beras.
Top Manajemen dalam pembinaan BUMD. Anugrah penghargaan kebudayaan oleh lembaga Pers Pusat. Piagam penghargaan atas kontibusinya terhadap dunia Pendidikan Tinggi. Pencapaian rekor MURI. Penghargaan inovasi daerah, dan seterusnnya. Tak tercatat lagi dalam kalkulator, membeku dalam ruang hampa.
Menyoal Kembali UU
Oleh sebab itu, Presiden, para Menteri Kabinet Nawacita, DPRD, DPR RI perlu datang ke Indramayu, harus belajar kepada Bupati, bahwa pemerintahan tanpa wakil pun bisa berprestasai gemilang dan luar biasa. Indramayu di bawah kepem,impinan Bupati sekarang menjadi Bermartabat.
Ini penting untuk bekal Pemerintah bersama DPR RI, untuk segera, dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya, lebih singkat dari apa yang dikatakan dalam teks Proklamasi yang digaungkan oleh proklamator Republik ini pada Jum’at, 17 Agustus 1945.
Pemerintah Pusat harus segera mengkaji ulang dan melakukan perubahan UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, atas pasal mengenai kedudukan Wakil Kepala Daerah.
Pasal kedudukan Wakil Kepala Daerah harus dihapus, karena tidak sesuai lagi dengan fakta dan realitas empirik dari hasil studi tata kelola pemerintahan di bawah kepemimpinan Bupati Nina Agustina Dai Bachtiar.
Oleh karena itu pula, seluruh Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diseluruh Republik ini untuk datang belajar kepada Bupati, yang tanpa Wabup, telah dinyatakan berhasil, sukses dan berprestasi dalam pembangunan daerah, dalam tata kelola (birokrasi) pemerintahan.
Apa keuntungannya bagi rakyat, jika UU tentang Pemerintahan Daerah tersebut menghapus pasal (kedudukan) Wakil Kepala Daerah? Yang pasti menjadi keniscayaan adalah APBD lebih berhemat.
Anggaran Wakil Kepala Daerah bisa digunakan ke sektor lain yang dianggap lebih penting menjadi skala prioritas dan atau yang lebih penting untuk menjadikan proyek perkorupsian dengan mekanisme pengumuman lelang melalui LPSE.
Jadi tidak ada alasan Pemerintah Pusat bersama DPR RI untuk tidak melakukan perubahan atas UU tersebut, karena Pemerintah Pusat sendiri yang menyatakan dan atau mengatakan, bahwa Indramayu di bawah kepemimpinan Bupati Nina Agustina Dai Bachtiar, S.H, M.H, C.R.A, telah berhasil dan berprestasi dalam segala bidang program pembangunan. Itu alasan pokok yang konkret dalam hal mengapa perlu mendesak adanya perubahan UU tersebut.
Bukti lainnya, Bupati tidak pernah diberikan sanksi atas pelanggaran peraturan perundang-uandangan tehadap kebijakannya yang menurut logika dan akal waras publik, tak terhitung lagi melanggarannya, kebijakannya yang senantiasa suka menabrak peraturan perundang-undangan. Akhirnya, itu semua menjadi pembacaan publik yang sesat dalam membaca kebijakan Bupati.
Bukti konkret lainnya, APBD yang gagal disahkan Dewan, maka harus diberikan sanksi 6 bulan haknya atas keuangan untuk tidak diberikan. Fakta dan realitas empriknya, pasal 312 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak berlaku bagi Bupati.
Tentu, yang membatalkan pasal tersebut adalah Mendagri, karena cacatan terakhir yang kita bisa dapatkan dari Dewan, hak-hak atas keuangan; gaji dan tunjangan tetap dibayarkannya, diterimanya.
Fakta dan realitas empiric yang konkret, Bupati hingga kini tidak pernah dianggap melanggar dan atau menabrak peraturan perundang-undangan dalam tata kelola pemerintahannya, dimana Bupati sebagai rule application dari ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sekali lagi, tidak ada alasan lagi Pemerintah Pusat untuk tidak melakukan p[erubahan atas UU tersebut. Juga tidak ada lasan lagi untuk tidak dijadikan role model buat tata kelola pemerintahan di seluruh daerah.
Sekali lagi, Kementrian Dalam Negeri bersama Dirjen Otonomi Daerah dan atau Pemerintah Pusat (Istana) bersama DPR RI untuk mengkaji ulang UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah untuk menjawab pertanyaan, apakah dalam UU masih menganggap perlu adanya Wakil Kepala Daerah?
Dalam studi kasus ini, kita sekedar menyodorkan fakta konkret, dan memberikan realitas empirik dalam politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik kekinian yang meng-ada di Indramayu. Dalam realitas empirik ini pula adalah yang nyata kita nyatakan.
Bukan sebaliknya, yang tidak nyata kita nyatakan, karena itu akan melawan kodrat hukum adi kodrati (kausalitas). Hukum adi kodrati tidak bisa dibantah oleh logika dan akal waras, karena itu fakta empiris yang meng-ada. ******