Oleh O’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Gonjang ganjing ketidakharmonisan selama ini yg ditutup-tutupi oleh Bupati Nina dan Wabup Lucky Hakim, terjawab sdh, setelah Wabup secara resmi menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai Wabup untuk periode 2020-2024.
Gonjang ganjing selama ini selalu ada pro dan kontra. Lantas kini PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah) yang banyak ditunggu publik komentar dan analisisnya kini angkat bicara atas mundurnya Wabup Lucky Hakim.
Direktur PKSPD 0’ushj.dialambaqa menegaskan pengunduran Wabup Lucky Hakim patut kita angkat topi setinggi-tingginya, karena hal itu nyaris tidak pernah terjadi pada pejabat publik apalagi sebagai orang nomor 2 di daerah, khususnya Indramayu.
Bahkan sekalipun didemo puluhan kalipun biasanya tuntutan mundur dianggap Anjing Menggonggong Kafilah Tetap Berlalu, karena menjadi Bupati, Wakil Bupati dan Dewan adalah sebuah pekerjaan yang menggiurkan. Mereka bukan hendak berniat menjadi pemimpin dan atau mengemban Ampera (Amat Penderitaan Rakyat). Maka keganjilan yang terjadi saat ini dengan mundurnya Lucky Hakim sebagai Wabup harus dibaca dan dilakukan pembacaan dalam banyak perspektif dalam kekinian politik.
Bupati dan Wabup yang sering kali dilansir ke media mengatakan bahwa dirinya tidak ada masalah baik secara pribadi maupun kedinasan.
Statemen Bupati itu diucapkan dengan enteng, tanpa beban, tetapi jika kita melakukan pembacaan ekspresinya itu tercermin potret kebohongan yang tak terbantahkan atas fakta konkret tidak harmonis dirinya dengan Wabup.
Begitu juga dengan statemen Wabup, jika kita melakukan pembacaan atas ekspresinya, tidka bisa terbantahkan atas kebohongannya dalam menutu- nutupi perseturan dan perampasan uu dalam peran, fungsi dan tupoksi dirinya sebagai Wabup.
Mengapa kita harus angkat topi setinggi2nya, karena Lucky Hakim menunjukkan dirinya adalah bagian dari apa yang disebut profesionalis, sehingga tahu diri, tahu malu dan punya kemaluan, dan itu ditunjukkan alasan dalam surat pengunduran dirinya yang diserahkan ke Dewan, yaitu tidak mampu lagi mengemban tanggung jawabnya sebagai Wabup sebagaimana ketentuan dalam uu dan regulasi turunannya.
Fakta konkret yang tak bisa terbantahkan dengan mundurnya Wabup adalah karena :
1. Adanya mentalitas Petruk jadi Raja, sehingga konstitusi, UU dan regulasi turunannya dianggap tidak ada alias dilanggarpun tidal akan ada yang berani memberi sanksi terhadap Bupati.
2. Pelanggaran konstitusi, UU dan regulasi turunannya itu adalah Bupati meniadakan peran dan fungsi tupoksi atas Wabup yang telah diatur dalam ketentuan UU dan regulasi turunannya.
3. Pelanggan konstitusi, UU dan regulasi turunannya itu, yaitu dirampasnya hak protokoler dalam kedinasannya, hak keuangan dalam rumah tangga kedinasan Wabup dan seterusnya.
4. Karena Dewan dengan mentalitasnya yang bobrok, berada dalam ketiak Bupati sebagai Harimau Harimau Sirkus, dimana pelanggaran konstitusi, UU dan regulasi turunannya yang dilakukan Bupati oleh Dewan dilakukan pembiaran, seharusnya sudah cukup untuk menaikkan Hak Interpelasi ke Hak Angket, yang berarti segala fakta-fakta konkret pelanggaran jonsititusi, UU dan regulasi turunannya telah menjadi sangat sempurna dengan mundurnya Wabup tersebut.
Konflik Bupati dengan Wabup, bukan Wabup yang hrs menyelesaikannya, karena itu tidak bisa ansich. Dewanlah yang punya tanggung jawab moralitas atas itu semua, dan Dewanlah yang punya otoritas dan tanggung jawab untuk menyelesaikan karena tupoksi Dewan sudah cukup jelas untuk bagaimana dalam melakukan peran dan fungsi pengawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dimana Dewan berfungsi sebagai “whotchdog” bukan sebagai Harimau Harimau Sirkus, jika mentalitasnya tidak bobrok tentunya.
Jika Dewan tidak paham dan atau tidak tahu mana yang dilanggar Bupati, tentu, Dewan bisa mengundang para ahli dibidangnya. PKSPD memberi referensi para ahli yang punya logika dan akal waras yang masih waras, yaitu, Prof. DR. Zainal Arifin Mochtar, DR.Bibitri Susanti, Prof. DR. Suteki, DR. Muhammad Taufiq, Asep Iwan Irianwan, Haris Azhar. Itu sudah cukup. Mereka yang akan memisahkan pelanggaran Bupati dalam dua hal, yaitu, pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dan pelanggaran yang mengandung unsur korupsi dalam tata kelola pemerintahannya.
Jadi Dewan tak perlu lagi dengan apologi dan alibi sampahnya, jika memang tidak tahu dan atau tidak mengerti, dimana Bupati nyaris menabrak semua regulasi dalam kebijakannya. Salah satu contoh, melantik Sekda Rinto Waluyo menjadi Dewas PDAM, melantik Komisaris Utama BWI, Makali Kumar menjadi Dewas BWI padahal yang bersangkutan ya pemilik media, wartawan sekaligus pengacara, bahkan pernah merangkap jabatan, ya Dewas ya Plt. Dirut BWI, begitu juga Dono diangkat Plt. Dirut dan Dewas dalam kurang dari seminggu lantas dipecat, dan seterusnya.
Soal bagaimana dana seperti apa mentalitas bobrok Dewan tersebut, PKSPD akan berikan fakta konkret pada kesempatan lain.
Karakter Petruk Jadi Raja itu bisa kita lakukan dalam pembacaan yang sangat gamblang, yaitu dengan tiga premis saja, yakni, Siapa Aku, siapa berani ke saya ( Watak Petruk Jadi Raja). Dirinya merasa diproteksi kuat kekuasaan oleh rezim penguasa.
Kedua, “Watak Penguasa” karena tidak tercermin sama sekali watak pemimpinnya apalagi kenegarawannya, dan yang ketiga, Tidak Pernah Merasa Bersalah, atau tanpa beban, karena cukup dengan alasan yang disampaikan ke publik bahwa dirinya bukan manusia sempurna.
Premis pertama hingga ketiga ersebut, bisa dibaca lengkap dalam artikel saya nantinya dengan judul: Ketika Sang Psikopat Berkuasa (Studi kasus: Petruk (Men)Raja).
Kematian civil society kritis, kematian akademisi, yang ada akademisi kaleng, tumbuh suburnya para penulis salon, tumbuh suburnya pr oponturir politik dan gerakan, dan menguatnya generasi Penghamba Kekuasaan, membuat Petruk semakin menjadi Raja, makin tuli pendengarannya dan makin gerhana matanya, sehingga semaunya saja (karwek). Para Penghamba Kekuasaan selalu koorr bernyanyi jika ada yang mengkritik rezim penguasa dengan mengatakan, ya mereka itu dasarnya ada kebencian, jadi kebijakan apapun akan selalu nyinyir. Itu soalnya.