Pernah mendengar hukum yang hidup dalam masyarakat? Hukum yang hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan living law merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri. Masih ingat dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023? Mungkin Anda tidak langsung menyadarinya, tetapi ketika disebutkan KUHP, Anda pasti tahu.
Yaa, yang saya maksud itu adalah KUHP. Dalam KUHP baru (akan berlaku 2026, 3 tahun mendatang) tersebut diatur mengenai konsep living law. Anda bisa membacanya di Pasal 2. Balik lagi, pengaturan living law di KUHP mendapat kritikan, salah satunya adalah kaburnya pengaturan tentang hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga akan berpotensi memunculkan tindakan persekusi terhadap orang yang tidak disukai di lingkungannya.
Munculnya kekhawatiran tidaklah salah, karena itu bagian dari antisipasi hal buruk terjadi apabila pasal dihidupkan. Tetapi, pada sisi lain, KUHP ingin melindungi hak-hak masyarakat yang masih mempertahankan hukum kebiasaan yang hidup di lingkungannya. Asalkan, hukum itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Hak Asasi Manusia (HAM), dan Asas-asas Hukum Umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Atas dasar nilai-nilai itu tidak ada alasan untuk kebiasaan hukum yang hidup dalam masyarakat disingkirkan. Sedangkan, hukum yang tumbuh dalam masyarakat itu sendiri dapat lebih memberikan kelegaan dan kepastian hukum di komunitasnya. Pasal 2 KUHP menyebutkan, “…‘hukum yang hidup dalam masyarakat’ yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”.
Bedasarkan pasal tersebut, hukum yang hidup dalam masyarakat diakui eksistensinya dan dapat melakukan tindakan pidana terhadap sesuatu yang dinilai telah melanggar hukum yang hidup di lingkungannya itu. Meskipun, KUHP itu sendiri telah mengatur tindakan-tindakan pidana yang bersifat nasional atau menyeluruh dan berkaitan erat dengan asas legalitas, dimana seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak ada ketentuan yang mengatur. Di situ paradoksnya.
Pengecualian terhadap living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat itu menurut penulis, suatu kesadaran bahwa hukum yang hidup tidak dapat hilang atau akan tetap ada dan bertahan dalam kondisi apapun. Sebab, hakikatnya hukum bersumber dari masyarakatnya itu sendiri. Dengan demikian, KUHP mengatur tentang konsep hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan sesuatu yang tepat. Tinggal bagaimana peraturan dasar (grundnorm/ norma dasar yang menjadi cantolan) dapat menjamin keberlangsungan hukum (aturan turunan), baik di tingkat paling tinggi sampai yang paling rendah.
Menjaga hukum yang hidup dalam masyarakat untuk tetap ada itu sama halnya dengan merawat keberagaman dan tradisi yang sudah ada. Hal itu bukan saja peran dari hukum atau disiplin ilmu hukum, akan tetapi peran dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga, kita masuk pada dimensi kebermanfaatan ilmu untuk menjaga dan melestarikan budaya, dalam konteks ini adalah menjaga dan melestarikan budaya hukum (hukum yang hidup dalam masyarakat).
Saat ini saya sendiri sedang menulis jurnal tentang hukum yang hidup dalam masyarakat itu. Jadi mungkin pembaca bisa lanjut membaca jurnal setelah terbit nanti (1 atau 2 bulan kedepan) di “Rechtsvinding” Badan Penyuluhan Hukum Nasional (BPHN). Semoga jurnal itu akan menginspirasi penyelenggaraan pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Sehingga, hukum itu akan berjalan baik dan maksimal bagi kepentingan semua masyarakat.
(Panji Purnama)