Oleh O’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Sekalipun penulis sebagai penyair tidak ambil bagian dalam Puisi Mbeling, tetapi Remy Sylado sebagai penggagas dan pencetus Puisi Mbeling yang melhirkan genre baru, patut untuk kita bicarakan dalam sejarah sastra kita, apalagi telah tiada. Untuk mengenang kembali eksistensinya dalam dunia sastra dan kesusastraan kita.
Sastrawan Mbeling yang lebih dikenal dengan nama Remy Sylado (23671) memiliki nama lain yang menempel, yaitu, Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Tambayong. Japi Panda Abdiel Tambayong, Japi Tambayong, Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel.
23761 lahir di Makassar, 12 Juli 1945, dan meninggal dunia, Senin, 12/12/2022 dalam usia 77 tahun. 23761 dimakamkan di TPU Menteng Pula, Jakarta Selatan pada Selasa, 13/12/2022. 23671 tergolong multi talenta. Tidak saja dikenal sebagai sastrawan; penyair, novelis, dan penulis naskah drama, tetapi dikenal juga sebagai pelukis dan teater(awan), kritikus, musisi, dan Dosen.
Sepak terjang, dan malang melintang mbelingnya tak terbantahkan lagi. Majalah Aktuil yang awalnya sebagai majalah musik-hiburan (8/6/1967-1986), kemudian dibongkar dengan menyediakan ruangan baru, bertajuk Puisi Mbeling (1972/1973). Menjadikan majalah Aktuil tidak melulu khazanah musik.
Pandangan Publik Sastra
Puisi Mbeling menghadapi tantangan dari publik sastra atau masyarakat pembaca saat itu. Puisi Mbeling tidak masuk dalam pelajaran sastra di sekolah. Guru sastra tidak pernah membahas atau membicarakan bahwa ada genre baru dalam sastra kita, yaitu, Puisi Mbeling.
Cara pandang dan atau penilaian masyarakat sastra waktu itu, jika karya-karyanya belum malang melintang diberbagai media massa, akan dianggap belum “menjadi penyair”, belum menjadi sastrawan atau karyanya belum dianggap bacaan akademnik, bacaan serius. Bahkan, Puisi Mbeling bukan bagian bacaan dari masyarakat sastra, sekalipun majalah Aktuil secara rutin memuat Puisi Mbeling yang ditulis para penyair muda, pemula.
Publik sastra atau penikmat sastra, selalu tidak yakin dan atau selalu meragukan si penyair (sastrawan), jika karya-karyanya belum menembus media massa, dengan perkataan lain, publik sastra baru peracaya jika karya-karyanya telah dimuat media massa yang dijaga ketat oleh sastrawan ternama. Sastrawan ternama menjadi “brand” atau “trade mark” media massa yang menyadiakan lembaran ruang sastra maupun oleh penerbit, hingga sekarang.
Yang dianggap penyair (sastrawan) adalah yang karya-karyanya bisa menembus tembok berbagai media massa. Artinya, karya-karyanya atau kepenyairannya, kesastrawanannya sudah teruji “sudah menjadi” oleh media massa yang terjaga ketat.
Karya-karya yang diterbitkan atau dibukukan tanpa diberi pengantar oleh sastrawan yang sudah ternama, akan dipandang sebelah mata. Pandangan seperti itu, masih menguat pada publik pembaca sastra.
Pandangan Penerbit Sastra
Alasan penerbit bisa kita pahami, karena itu demi mutu sastra. Publik (masyarakat) sastra leterer (serius) sangat berbeda dengan masyarakat Sastra Mbeling dan Sastra Kitch (Pop).
Karya-karya yang belum malang melintang nangkring di media massa (ternama) yang dijaga ketat para sastrawan itu, oleh penerbit tidak dilirik atau dianggap sebelah mata, dan bahkan kadang tercampakkan dengan berbagai alasan yang kadang tidak bisa dipahami oleh para pemula itu sendiri. Referensi pernah dimuat diberbagai media massa, menjadi hal penting agar penerbit mau melirik karyanya.
Untuk bisa karya-karyanya diterbitkan juga tidak gampang. Penerbitnya sangat ketat dan sangat selektif. Banyak hal yang dipertimbangkan. Salah satu jalan untuk meyakinkan kepercayaan penerbit, jika kita menyodorkan referensi berikut dengan lampiran karya-karyanya yang telah dimuat dan atau telah menembus berbagai media massa, apalagi jika karya-karyanya telah dimuat di Majalah Sastra Horison, akan lebih meyakinkan penerbit, bahwa karya-karyanya telah teruji.
Penyair-penyair (sastrawan) ternama masih sangat beruntung, mendapatkan kepercayaan penerbit, sehingga karya-karyanya tetap dinanti para npenerbit. Fakta dan realitas sepereti itu, kadang oleh sebagian penyair (sastrawan, penulis) sangat menyakitkan. Tetapi, itu tak bisa dibantah apalagi untuk dipungkiri.
Pembuka Jalan Baru
Sejarah sastra, sejak zaman Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan ’70 dan Angkatan ’80, selalu dijaga ketat oleh para sastrawan yang sudah ternama-mapan-sudah menjadi.
Para penyair (sastrawan) pemula harus menghadapi tembok dan harus mampu menobrak kemamapan para sastrawan ternama yang menongkrongi (sebagai redaktur sastra) media pada saat itu. Tidak hanya itu, tetapi harus juga menghadapi persaingan yang ketat pula untuk bisa menembus media massa-koran-majalah yang menyediakan ruang puisi, cerpen, cerbung dan esei sastra yang ruangnya sangat terbatas. Terkesan ruang sastra hanyalah sebagai pelengkap penderita saja.
Tidak semua media massa menyediakan ruang itu secara penuh, terkecuali Majalah Sastra Horison, yang memang khusus sastra. Antrian panjang dengan para penyair atau sastrawan yang sudah malang melintang karyanya nangkring diberbagai media massa saat itu menjadi persoalan tersendiri bagi para pemula. Yang patah arang, pastilah “tidak menjadi.”
Begitu juga para penyair (sastrawan) pemula harus berhadapan dengan tembok berikutnya, jika karya-karyanya disodorkan kepada penerbit. Dalam dunia penerbitan buku-buku sastra, ternyata juga dijaga ketat oleh para sastrawan yang sudah ternama. Tidak gampang untuk bisa menembus tembok penerbit.
23671 yang lebih dulu berangkat sebagai penyair mbeling, melihat situasi dan kondisi perjalanan sastra di media massa yang mengakibatkan kefrustasian para pemula, menyadari, dan memahami betul bagaimana pertarungan ketat untuk bisa menembus media massa yang dijaga ketat sastrawan yang berkelas, ternama, mapan-sudah menjadi.
23671, membaca geliat dan kegelisahan para pemula itu, terus menguat dan menggeliat, mencari-cari alternatif lain dari sebuah media massa untuk mengaktualisasikan karya-karyanya. Akhirnya menjadi perhatian serius 23761, Lahirlah apa itu Puisi Mbeling yang digagas dan diproklamirkan 23761.
23761 lantas membuka jalan baru untuk memberi ruang dan kesempatan bagi para pemula yang distigma “tersingkir” dari pertarungan kualitas untuk menembus media massa yang dijaga ketat oleh para sastrawan ternama saat itu.
Jalan baru yang yang dijejaki 23761 itu berada dalam majalah Aktulil. Majalah Aktuil, mulai 1972/1973 menyediakan ruang sasatra yang dikenal dengan tajuk: Puisi-Puisi Mbeling.
23761 sebagai pencetus dan atau perintisnya, yang sekaligus menjadi pembuka jalan buntu untuk mewadahi proses kreatif para pemula yang tersingkir media massa saat itu, kemudian mengawal syiarnya melalui majalah Aktuil yang ditanganinya. Puisi Mbeling 23761 berpengaruh luas, dan menjadi kiblat ke-mbeling-annya bagi para pemula.
Puisi Mbeling, kecenderungannya adalah main-main, guyon, guyonan yang nakal. Puisi Mbeling mencoba keluar dari pakem keketatan estekika yang sedemikian rupa yang dianut oleh para sastrawan ternama yang membentengi koran dan majalah yang menyediakan ruang sastra saat itu.
Bahkan, penerbitan buku-buku sastra pada umumnya, di mana sastra serius (literer) amat sangat mementingkan estetika yang ketat, disamping isi yang harus bicara, persajakan yang harus dibangun, dan idiom-idiom untuk menaklukan kata-kata (yang liar).
Puisi Mbeling mencoba keluar dari tradisi itu, dan 23761-lah yang mengawal dan memandu proses kreatif para penyair pemula. Hary Aveling dari Departement of Asian Studies-Latrobe University, Melbourne, Australia) menstabilo, bahwa reaksi atas fenomena sosial politik tersebut melahirkan gambaran “dunia absurd” melalui jenis puisi mbeling (Abdul Wahid B,S.: Puisi Mbeling, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 23/1/2022-04:44 WIB).
Puisi Mbeling, yang kita katakan adalah main-main sekaligus guyonan yang nakal itu bisa kita simak berikut ini:
Presiden pertama
bermain mata dengan
komunis.
Presiden kedua
bermain mata dengan
kapitalis.
Presiden ketiga
bermain mata dengan
presiden kedua.
Presiden keempat
tidak mungkin bermain mata.
(Remy Sylado: Presiden).
Orang Perancis
berpikir
maka mereka ada.
Orang Indonesia
tidak berpikir
namun terus ada.
(Remy Sylado: Teks Atas Descrates).
Jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi.
Jika
laki saudara
ya perempuan saudari.
Jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi.
Jika
laki putra
ya perempuan putri.
Jika
laki kawan
ya perempuan kawin.
Jika
kawan kawin
ya jangan ngintip.
(Remy Sylado: Belajar Menghargai Hak Asasi Kawan).
Tiga Puisi Mbeling itu sekedar untuk menunjukkan kecenderungan main-main atau goyunan yang nakal. Puisi Mbeling sebagai hiburan kadang sungguh kita butuhkan dalam kehidupan yang serba absurd, kondisi sosial politik yang memuakkan, dan bahkan (sangat) menjijikkan, tanpa kita harus mengeryitkan dahi. Tidak seperti ketika kita membaca puisi-puisi (sastra literer) yang jelimet dan atau gelap. Sehingga, tidak cukup sekali membacanya.
Ketiga puisi tersebut juga sekaligus untuk menunjukkan bahwa Puisi Mbeling tidak mengikuti aturan-aturan pada umumnya dalam penulisan puisi yang ketat dengan persoalan estetika, isi, persajakan, idiom-idiom dalam puisi dan seterusnya.*****