Oleh O’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Untuk memperjelas bahwa Puisi Mbeling adalah main-main, guyon dan guyonan yang nakal yang dikibarkan majalah Aktuil seperti berikut ini begitu kuat pengaruh 23761, mejadi kiblat penyair lainnya.
NARKO
TIKNO
NARKOTIK
NO!
1974 (Jeihan Sukmantoro: PANGGILAN).
Di tengah laut
Seorang nelayan berseru
Tuhan bikin laut
Beta bikin perahu
Tuhan bikin angin
Beta bikin layar
Tiba-tiba perahunya terguling
Akh,
Beta main-main
Tuhan sungguh-sungguh
(Jehan Sukamtoro: NELAYAN)
Ketika radio dimatikan
datanglah sepi yang terkenal itu
Sewaktu kopi dihabiskan
matilah lampu. Dan gelap yang terkenal itu datang juga
Padahal, kalau sepi janda-janda pada lari
kalau gelap, perawan-perawan juga lari, ke rumah kekasihnya
Akibatnya banyak orang bunting
lari tak bisa, tak lari tak bisa.
(Yudhistira ANM Massardi: Tak Lari)
Seorang murid tak mau bertanya
gurunya mengunyah kembang-gula
Seorang gadis mendesak kawin
pacarnya mengancingkan celana
Seorang kondektur turun dari bis kota
para penumpang menjual karcis
Seorang wartawan membawa pancing
ikan-ikan pada mencibir
Seorang pegawai menolak gaji
kasir melepas kacamatanya
Seorang kawan menodongkan belati
kita semua merasa terancam!
(Yudhistira ANM Massardi: Seorang Orang)
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
Joko Pinurbo: Celana Ibu).
Kita ini secangkir kopi.
Aku cangkirnya,
kamu kopinya.
Cangkirnya bergambar kamu,
kopinya beraroma aku.
(Joko Pinurbo: Kopi)
“Jam 3 pagi Waktu Indonesia Bagian Kopi
Lampu tidur di matanya menyala kembali.
Hujan tinggal bekas dan kopi sudah jadi miras.”
Joko Pinurbo: Lubang Kopi)
Kiprah Majalah Aktuil
Majalah Aktuil dengan ruang Puisi Mbelingnya, menyedot banyak penyair pemula yang pada umumnya kandas menembus tembok koran dan majalah (media massa) yang dijaga ketat para sastrawan ternama, mapan-sudah menjadi.
Majalah Aktuil menyediakan sebagian ruangan untuk Puisi Mbeling tidaklah sia-sian. Penyair Mbeling tetap berkarya meski majalah Aktuil telah tiada, tidak terbit lagi alias bubaran.
Bendera Puisi Mbeling berkibar menyentuh seluruh nusantara dalam dunia sastra, bahkan melampai nusantara kehadirannya. Semua itu, karena kegigihan maestro mbelingnya yang bernama 23761 yang embongkar kebuntuan dengan membuka jalan baru.
Kiprah majalah Aktuil sebagai pembawa bendera Puisi Mbeling, pada akhirnya menjadi fakta dan realitas lahirnya genre baru dalam sejarah sastra kita. Semua itu harus kita akui adanya, harus kita akui kehadirannya hingga kini.
.
Genre Baru
Apa yang digagas dan dicetuskan 23761 sebagai Puisi Mbeling, ternyata fakta dan realitasnya menjadikan lahirnya genre baru dalam dunia sastra, yang bercirikan ke-mBeling-annya. Ke-mbelin-annya menjadi identitas otentik sebuah genre baru dalam sastra. Hal tersebut tidak bisa kita bantah eksistensinya.
Sebagai genre baru, 23761 telah membuktikan bahwa majalah Aktulil dibanjiri karya-karya, yang sekalipun pada umunnya adalah para penyair muda yang kandas dalam menembus tembok koran dan majalah waktu itu. Majalah Aktuil dengan ruang Puisi Mbelingnya melahirkan nama-nama besar, seperti Yudhistira ANM Massardi, Jeihan Sukmantoro, Joko Pinurbo dan seterusnya.
Walau Puisi Mbeling sebagai gengre baru, tidak menjadi periodenisasi angkatan dalam sejarah sastra yang kita kenal selama ini, yaitu, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ‘45, Angkatan ’66, Angkatan ’70 atau Angkatan ’80. Tetapi, 23761 tidak melakukan gugatan terhadap HB. Jassin, tidak seperti Saut Situmorang yang menggugat mengapa para penyair LEKRA-PKI tidak banyak disebut.
Puisi Mbeling, tidak seperti Sastra Pedalaman yang dicetuskan oleh Beno Siang Pamungkas, Sosiawan Leak, Wijang Wharek, Triyanto Triwikomo dan Kusprihyanto Namma di tahun 1990an. Sekalipun dalam Sastra Pedalaman berangkat dari persoalan dan problem serupa dengan Puisi (Sastra) Mbeling.
Sastra Pedalaman yang dimotori Beno Siang Pamungkas gagal menjadi genre baru dalam sejarah perjalanan sastra, karena tidak memiliki karakteristik (yang khusus) sebagai identitasnya. Meskipun pada waktu itu sempat menjadi perbincangan di kalangan sastrawan itu sendiri maupun di kalangan masyarakat (pembaca) sastra.
Ariel Heryanto (1985) dalam bukunya “Perdebatan Sastra Kontekstual” sesungguhnya bisa memperkuat kehadiran Sastra Pedalaman sebagai gengre baru, tetapi faktanya hanya sampai pada sekedar sebuah nama; “Sastra Pedalaman.”
Polemik 23761 VS Denny JA
Hal yang serupa menimpa Denny JA (Januar Ali) gagal melahirkan genre baru yang bernama Puisi Esai. Denny JA dikenal luas sebagai pengamat politik dan pemilik lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Denny JA menjadi sangat ambisius untuk menjadi penyair ternama, dan bahkan ingin masuk menjadi tokoh yang berpengaruh dalam sastra.
Denny JA menjadi penyair dadakan, dan sekaligus membuat proyek buku untuk melegitimasi ketokohannya dengan laber Puisi Esai. Proyek bukunya memang berhasil diterbitkan, dan konon banyak menyedot para penyair berkiprah mengibarkan klaim Puisi Esainya..
Pengaruh Puisi Esai Denny JA yang mengklaim Puisi Esai adalah miliknya itu ternyata tidak punya pengaruh (luas) dan atau tidak diikuti oleh para penyair pemula dan atau oleh para penyair-penyair lainnya sebagai sebagai kiblat baik dalam tipologi maupun dalam tarikan nafasnya untuk sebuah identitas genre baru sastra.
Tidak seperti halnya 23761 dalam jejak langkah melahirkan genre baru yang bernama Puisi Mbeling. Puisi Mbelingnya 23761 sedemikian kuat pengaruhnya terhadap para penyair muda (pemula), dan bahkan beberapa penyair lainnya, yang sesungguhnya kandas menembus tembok media saat itu yang dijaga ketat sastrawan ternama.
Eko Tunas bahkan mengatakan, bahwa Puisi Esai bukanlah genre baru, sudah ada sejak tahun 1983, bahkan sudah ada sejak tahun 1952. Di majalah Zenith tahun 1952, penyair Boyolali-P. Sengoko menulis puisi sepanjang 20 halaman. Sapardi Djoko Damono menstabilo, bahwa puisi ya puisi, esai ya esai. (Liputan 6.com, 17/2/2018,21:00 WIB).
Linus Suryadi AG (Agustinus) juga menulis puisi yang panjang setebal 180 halaman yang bernama Pengakuan Pariyem, yang disebut sebagai Puisi Prosa Lirik, serupa dengan apa yang dikatakan dengan Puisi Esai. Pengakuan Pariyem-Linus Suryadi AG diterbitkan oleh Sinar Harapan, Jakarta tahun 1981 dengan tebal buku 244 halaman.
Pengakuan Pariyem-Linus Suryadi AG jauh lebih menarik, bagaikan membaca cerpen atau novel, tetapi persajakannya dan idiom-idiomatiknya sangat terjaga. Bagaikan langit dengan bumi jika dibandingkan dengan Denny JA, tidak ada apa-apanya dengan Puisi Esainya Denny JA, sehingga Denny J.A bisa kita katakan seperti Pacar Ketinggalan Kereta.*****