Oleh O’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Ada hal yang menarik dari polemik 23761 dengan Denny JA. Denny JA mengatakan, ternyata, ia mengulangi kesalahan elementer yang sama. Remy sekali lagi melakukan kesalahan seorang pemula dalam menarik kesimpulan yang shahih, seperti tulisannya yang pertama, kembali melakukan logical fallacy: false generalization! (Remy Sylado, Puisi Esai dan Kisah Kesalahan Logika, LAW JUSTICE, Sabtu, 02.06/2018 16:30 WIB).
Denny J.A mengutip kembali apa yang dikatakan 23761, yaitu: kontrak di dunia sastra akan menurunkan kualitas sastra. Dalam bahasanya sendiri: “Dengan mengiming-imingi uang sebagai upah lewat kontrak, saya anggap Denny JA telah meletakan derajat sastra bukan sebagai postulat dorongan-dorongan rohani, tapi semata-mata hanya kegandrungan-kegandrungan badani, kedagingan, urusan perut. Primitif sekali. (ibid).
Apa yang dikatakan 23761, seungguhnya (terlalu) banyak benar kebenarannya. Karena itu, bukan lagi sebuah kebenaran relatif, sehingga bisa menjadi kesimpulan, yang dikatakan Denny JA bahwa 23761 menggeneralisir. Hal yang nyata itu lantas tetap dinafikkannya dan dibantahnya Deny JA.
Kenaifan Menulis Puisi
Logika elementer 23761 pun tidak bisa dikatakan sebagai logical fallacy, apalagi itu sebagai elementer berpikir tertib metodologi, jika itu yang dimaksudkan dengan kotraktual waktu dalam menulis puisi (karya sastra) dan uang.
Sungguh aneh dan luar biasa, jika dalam menulis puisi dibatasai waktunya dalam kontrak. Artinya, misalnya, menulis puisi sebanyak 10 hingga 50 harus bisa diselesaikan dalam waktu sekian hari. Aneh, luar biasa, dan itu sesuatu yang pasti ngawur, dan amat sangat naïf.
Pertanyaannya, apakah penyair bisa menulis puisi tiap menit, setiap jam atau setiap hari, meski penyairnya pernah mendapat penghargaan Nobel Sastra sekalipun. Sunngguh naïf jika itu bisa dilakukan, terkecuali oleh para penyair salon yang bermain-main dengan kata kata, hampa.
Menulis puisi berneda dengan menulis artikel. Menulis puisi adalah persoalan intuisif, tidak semata-mata kerja intelektual akademik yang mengandalkan otak semata atau logika berpikir akademik saja. Dala menulis artikel, nyaris tidak ada relasi atau korelasinya dengan hal-hal yang intuitif. Nyaris itu semua hanya kerja otak atau intelektual akademik. Itu soalnya. Sehingga, argumentasi Denny JA memukul balik dengan apa yang dikatakannya sendiri sebagai logical fallacy. Pada akhirnya harus menimpa dirinya.
Menulis satu sartikel, bisa dikerjakan dalam tempo waktu sesingkat-singkatnya, bisa 30 menit atau paling lama 60 menit bagi yang cerdas. Karena itu hal kerja otak, kerja intelektual akademik, yang sudah terlatih dan sudah terbias, karena penulis harus bertarung dengan waktu, soal tema dan hal-hal yang aktual sifatnya untuk kebutuhan publik dan media massa.
Bantahan Denny JA akhirnya memperlihatkan bagaimana berantakannya logika, karena menyamakan dengan persoalan elemnetr dalam menulis artikel. Dalam masa subur, penyair belum tentu mampu melahirkan satu puisi saja yang bermutu dalam waktu satu bulan, apalagi ketika mengalami masa kering dalam proses kreatifnya.
Belum ada dalam catatan sejarah sastra, bahwa penyair bisa dipesan (job order), kecuali para penyair salon, bahwa dalam sehari harus bisa menulis satu atau lima puisi, sekalipun penyair itu sedang dalam masa subur dalam proses kreatifnya. Dalam dunia kepenyairan ada masa subur dan masa tandus (kering) dalam penciptaan puisi (karya sastra). Dalam masa kering, penyair belum tentu bisa mencipta satu puisipun dalam setahun.
Terkadang untuk bisa menulis satu buah puisi saja membutuhkan waktu yang relatif lama, kadang bisa tiga bulan atau lebih, karena setelah selesai puisi itu ditulis, kembali diendapkan, bahkan dibongkar pasang berkali kali agar puisi itu “menjadi”, bisa bicara, dan agar puisi itu bermutu.
Sekalipun Impropisator Besar
Menulis puisi dengan target waktu tertentu, sesingkat-singkatnya karena terikat kontrak dan uang, itu tak lebih dari kerja setengah-setengah, dan tak akan bisa terebantahkan lagi hasilnya, rendah mutunya, untuk tidak dikatakan tidak bermutu sama sekali. Seperti halnya apa yang dikatakan Chairil Anwar (Pelopor Angkatan’45), bahwa jika kerja setengah-setengah saja, mungkin satu waktu nanti kita jadi impropisator. Sungguhpun impropisator besar, tapi hasil seni impropisator tetap jauh di bawah dan rendah dari hasil seni cipta (Pidato Charil Anwar 1943, pada usia 21 tahun).
Mari kita simak di bawah ini, konon itu puisi, yaitu Puisi Esainya sang penggagas, untuk menunjukkan apa yang dikatakan 23761 dan Chairil Anwar tak bisa kita bantah lagi, dan itu menjadi keniscayaan, yang tak bisa kita pungkiri dan tak terbantahkan. Bukan karena itu merupakan ragam tipologi dalam penulisan puisi, lantas harus kita katakan itu puisi-sastra?
Apa arti Indonesia bagiku? bisik Fang Yin
Kepada dirinya sendiri.
Ribuan keturunan Tianghoa 1 meninggalkan
Indonesia:
Setelah Mei yang legam, setelah Mei yang
tanpa tatanan
Setelah Mei yang bergelimang kerusuhan.2
Hari itu negeri berjalan tanpa pemerintah
Hukum ditelantarkan, huru hara di mana
\mana
Yang terdengar hanya teriakan
Kejar Cina! Bunuh Cina! Massa tak
Terkendalikan
(Denny JA: SAPU TANGAN FANG YIN)
Aminah namaku.
Minah panggilanku. TKW asal Indonesia
Kerja di Saudi Arabia
Sebagai pembantu rumah tangga.
Kini aku sudah mati
Algojo memenggal leharku
Karena telah membunuh majikan
Yang berulang kali memperkosaku
Dan menyiksa jiwaku.
Pemerintah memberikan tanggapan
Tapi untuk kasusuku,
Itu sudah ketinggalan kereta.
Upaya hukum telat
Upaya diplomasi politik tak dirintis dari awal
Dan tidak ada pembelaan di pengadilan-
Ya, ya, harus aku jalani
Hu7kuman pancung.
Ya, ya, aku harus dipancung!
(Denny JA: MINAH TETAP DIPANCUNG)
Foto Romi di tangannya,
Kekasihnya;
Diingatnya Ayah
Yang membesarkanny-
Mengapa aku tak bisa memiliki keduanya?
Ah, yang seorang umat Ahmadiyah
Seorang lagi Muslim garis keras.
Pedas, keras ucapan Ibunya
Setiap kali perempuan itu
Memperingatkannya.
Kita di Indonesia, tidak di Amerika.
Di sini agama di atas segala
Tak terkecuali cinta remaja.
(Denny JA: ROMI DAN YULI DARI CIKEUSIK)
Untuk itu, apologi yang dibangun Denny JA dengan mengatakan bahwa ada sekitar 250 penyair yang sudah menulis puisi esai, dari Aceh hingga Papua. Ada sekitar 40 buku puisi esai yang sudah terbit. Akan ditambah pula akan terbit tambahan 40 buku puisi esai dari 34 propinsi (Ibid), menjadi sebuah kenaifan bahkan menjadi absurd, sekalipun itu nyata bahwa proyek bukunya berhasil menerbitkan 40 buku dari 250 penyair yang diterbitkan dalam bukunya.
Puisi-puisi yang diterbitkan itu merupakan proyek bukunya Denny JA, dan semuanya dibiayai Denny JA. Kita sebagai penyair yang harus teruji oleh media massa yang ketat atas kualitas sastra hingga sekarang, tentu tidak aneh apalagi terkejut. Yang menjadi heboh, karena itu dianggap genre baru, dan Denny JA dianggap sebagai pembuka jalannya seperti apa yang telah dilakukan 23761.
Argumentasi elemnter logika Denny JA dengan fakta atau data tersebut menjadi benar dan logis. Karena itu sebuah proyek buku yang dimobilisasi, dan pasti menjadi keniscayaan yang shahih bahwa puisi esai dari 250 penyair itu karena tergoda dan atau tergiur dengan uang, terlepas dari persoalan apakah puisi yang ditulisnya itu bermutu atau tidak, tidak menjadi penting lagi bagi penulisnya. Sekalipun mengklaim Puisi Esai telah ditulis oleh penyair dari Aceh hingga Papua.
Fakta yang Berbicara
Akan tetapi, faktanya berbicara lain pada realitasnya, bahkan penyair Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, Sihar Ramses Simatupang, dan beberapa penyair lainnya merasa diperalat untuk melegitimasi Denny J.A sebagai tokoh yang berpengaruh dalam sastra dengan Puisi Esainya. Bahkan, para penyair itu merasa menyesal, dan minta dicabut puisi-puisinya yang telah diterbitkan dalam buku proyeknya Denny J.A yang dipakai untuk melegitimasi ketokohannya (Merdeka.com, 7/2/2014, 10:20 WIB).
Tidak hanya itu, Denny JA, disebut-sebut merekayasa dan atau memobilisasi para penyair untuk mengikuti jejaknya dengan membayar; model, gaya dan strategi politisi dengan “money politic”. Hal itu tidak dilakukan oleh 23761 untuk lahirnya genre baru dalam sastra.
Muncul pula 6 petisi penolakan program buku Puisi Esai Nasional Denny JA dari ratusan sastrawan. Penolakan tersebut lantaran program puisi esai telah membuat penggelapan sejarah, pembodohan, pengeliruan definisi ilmiah, dan segala praktik manipulatif lain dalam kesusastraan Indonesia (6 Petisi Penolakan Atas Denny J.A, biem.co, 22/1/2018). Penolakan grup WhatsApp group Penyair Muda Indonesiaatas atas Denny J.A yang mengklaim genre baru itu menjadi rasional secara logika dan akal waras (Ibid).
Apa yang dikatakan Ahmadun Yosi Herfanda dkk, bukankah itu fakta yang merontokkan klaim Denny JA atas persoalan Puisi Esainya tersebut menjadi tak terbantahkan lagi, karena bukan saja datang dari penyair yang sudah ternama, bahkan ada ramai-ramai penolakan atas klaim Denny JA yang dilakukan ratusan penyair muda. Itu menunjukkan bantahan Denny JA satu mata koin uang dengan umumnya para politisi berapologi dalam beragumentasi. Penolakan grup WhatsApp group Penyair Muda Indonesiaatas atas Denny J.A yang mengklaim genre baru itu menjadi rasional secara logika dan akal waras.*****