Jika Agama Menjadi Candu
(Studi Kasus Ulama Dalam Kontestasi Politik)
Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Apakah agama menjadi masalah? Respon terhadap pertanyaan itu datang dari berbagai arah, dari masyarakat religius dan nonreligius sekaligus. Sangat bergantung pada bagaimana orang itu memahami agama. Kemungkinan bahwa semangat keagamaan akan menghasut atau akan menjadi katalis kehancuran yang tak terperi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Sejarah menunjukkan bahwa sejumlah pemimpin atau komunitas yang dimotivasi oleh semangat keagamaan dapat, dan bahkan ingin, melakukan tindak kekerasan dan teror atas nama Tuhan atau keyakinan mereka (Charles Kimball: When Riligion Becomes Evil. Terj. Nurhadi).
Konteks Chales Kimball tersebut berada dalam arena (gesekan, konflik sosial atau apapun namanya) kehidupan umat beragama dalam pratek keberagamaan atas eksistensi pluralisme agama dan keyakinan secara luas. Akan tetapi, konteks itu bisa juga kita tarik ke dalam ruang yang lebih sempit, yaitu atas meng-adanya realitas keberagamaan dalam wajah satu agama, yang disadari atau tidak, menjadi riuh gemuruh dan gegap gempita dalam arena politis; kontestasi Pilpres April 2019; Capres/Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin (petahana) dan Capres/Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Lantas apa yang menggoda para ulama larut dalam riuh gemuruh dalam kontestasi politik kekinian, saling dukung mendukung, pro dan kontra, saling umpat, saling olok-olok, saling sindir dan saling mengklaim (ke)ulama(an), bahkan terlibat langsung dalam politik (sebagai Cawapres)?
Politisi Ulama
Adanya pendikotomian ulama sesungguhnya sudah berabad-abad dalam perjalanan sejarahnya umat. Dengan adanya pendikotomian tersebut, disadari atau tidak, telah membentangkan persoalan wujud (eksistensi) ulama dengan maujud (yang bereksistensi) ulama.
Adanya fakta yang tak bisa terbantahkan oleh kita, yaitu adanya klaim, seperti Ulama Zumhur dan Ulama Syu, Ulama Salaf (yang berarti ada ulama yang bukan Salaf), Ulama Besar (yang berarti ada Ulama Kecil), dan mungkin akan sebutan lainnya yang kemudian akan menjadi klaim komunitas sebagai sebuah identitas (politik identitas; aliraan). Fakta tersebut mununjukkan adanya pendikotomian terhadap pemaknaan ulama. Hal ini baru pada persoalan eksistenssi (wujud) ulama, belum sampai pada persoalan yang bereksistensi (maujud) ulama.
Pendikotomian tersebut merupakan politisasi terhadap eksistenssi ulama.begitu juga adanya klaim komunitas terhadap (ke)ulama(an) merupakan fakta meng-adanya politik identitas tak bisa dipungkiri. Pendikotomian maupun politik identitas atas (ke)ulama(an) sejatinya merupakan politisasi. Karena, ulama ya ulama. Yang syu, ya berarti bukan ulama. Begitu juga kata zumhur yang dilekatkan pada kata ulama tidak merelasikan apa yang dimaksudkan dengan maujud (yang bereksistensi) ulama. Sehingga, untuk menjaga keterpeliharaan tersebut, pendikotomian dan politik identitas tentang (ke)ulama(an) harus didekontruksi,, jikaa tidak, akan terjadi pembusukkan, bahkan yang akan lebih mengerikan, membusukkan diri dengan proses memfermentasi (ke)ulama(an).
Eksistensi (wujud) ulama adalah ulama yang maujud (yang bereksistensi) ke-ulama-an, yaitu shiddiq (berkata benar), amanah ( terpercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran) dan fathanah (cerdas), karena ulama merupakan waratsatul anbiya (ahli waris nabi), yang berarti keempat sifat Rasulullah (Muhammad SAW) harus melekat dan tak terpisahkan dalam wujud ulama mupun dalam kemaujudan (ke)ulama(an) sepanjang nafas dikandung badannya. Jika kemudian berlepasan antara wujud dan maujud (ke)ulama(an)nya dalam keempat karakter tersebut, maka, baik wujud maupun maujud, berarti telah lepas dari apa yang kita masudkan dan maknakan pada yang namanya ulama, baik dari sebuah hakikinya maupun dari keluhuran nilainya.
Kata Ulama berasal dari bahasa Arab (‘ulama’), bentuk jamak dari ‘alim, artinya orang yang memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam atau dengan kata lain, orang yang memiliki ilmu yang berkualitas dalam berbagai bidang (Gibb dan Kramers, 1961: 599). Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1996: 25), kata “ulama” sebagai bentuk jamak dari kata ‘alim, yang berarti orang yang berilmu.
Al-Ghazali (dalam al-Zuhaili) menjelaskan yang namanya ulama itu harus: (1) Menguasai tujuan syari’at serta mampu menangkap arah maksud syari’at dengan mengerahkan kemampuan nalarnya dan dapat men-taqdim-kan atau men-ta’khir-kan sesuatu menurut seharusnya. (2) Bersifat adil dan jauh dari prilaku maksiat; sebab orang yang maksiat fatwanya tidak dapat dipegang.
Prilaku maksiat atau kemaksiatan dalam pengertian yang lebih luas berarti bukan hanya prillaku berjudi, melacur, mabuk-mabukan, madat saja, tetapi juga dalam pengertiaan prilaku yang keluar dari ke-shiddiq-kannya, ke-amanah-annya, ke-tabligh-annnya dan ke-fathanah-annya; seperti pelacuran intelektual atau melacurkan atau menukarkan keilmuannya.
QS. Al-A’raf: 175-176: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang Telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga), demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
QS. Ali Imran: 187: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu [al. tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW] ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.
Kata ulama terdapat dalam QS Al-Syu‘ara’: 197: Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulma Bani Israil mengetahuinya? QS. Fathir, 28: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam–macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha pengampun.
Kontestasi Ulama
Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama pun sudah berabad-abad dalam sejarah umat. Hal ini terjadi, karena adanya pendikotomian dan pempolitisasian yang melahirkan adanya klaim-klaim terhadap wujud dan maujud (ke)ulama(an) seperti tersebut di muka.
Kita (saya sendiri) tidak sependapat dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, sehingga umat dihadapan pada persoalan chois untuk mengikuti pendapat ulama mana yang cocok sebagai pilihannya. Ketidaksependapataan dengan adanya perbedaan pendapat (bersilangan bahkan bertolak-belakang) para ulama dalam sesuatu hal atau perkara, yaitu mengenai kebenaran hukum dan hukum atas kebenaran itu sendiri. Karena, jika ada sebagian ulama yang mengatakan haram, bathil (dilarang) dan kemudian ada sebagian pendapat ulama lainnya itu halal, hak (diperbolehkan), maka, kemungkinannya, pertama, bisa saja kedua pendapat yang berbeda tersebut sama-sama salah atau tidak ada yang benar, dan kemungkinan yang kedua, ada salah satu di antaranya yang benar pendapatnya. Tetapi, bukan berarti, jika para (yang mengklaim dirinya) ulama itu kemudian sepakat pendapatnya dalam memutuskan sesuatu perkara karena adanya konsensus kepentingan politis, maka bisa jadi juga keduanya tidak ada yang benar.
Perbedaan pendapat soal kebenaran hukum dan hukum kebenaran itu sendiri mengandung konsekuensi yang berimplikasi pada surga atau neraka bagi kita. Artinya, ada persoalan sesat dan kesesatan, dan ada persoalan yang sirathol mustaqim, terhindar dari kesesatan yang menyesatkan.
Bagi kita (saya) memang aneh dan kadang menjadi lucu, sekaligus menggelikan, ketika ada klaim (mendaulat) dirinya atau komunitasnya sebagai ulama apalagi mengatakan ulama besar atau ulama zumhur, padahal mereka sudah berada dalam arena politik, larut dan terlibat dalam kontestasi politik. Secara konstitusional, tidak ada larangan para ulama dalam kontestasi politik, tetapi, wujud (eksistensi) ulama dan maujud (yang bereksistensi) ulama menjadi sederetan panjang pertanyaan yang direlasikan dengan klaim kaum (golongan) atau dirinya sebagai ulama, berbaju ulama. Jika saja tidak memakai baju ulama atau simbol-simbol (ke)ulama(an), maka tidak akan menjadi sederetan panjang pertanyaan, karena itu hak konsitusional.
Persoalannya adalah, apakah politik di negeri ini, mulai dari proses, dari partai politik itu sendiri sampai dengan proses kompetisi untuk sampai pada kontestasi politik menjadi Capres/Cawapres, kemudian masuk pada arena sosialisasi, kampanye, debat Capres/Cawapres dan sampai dengan proses pemilihan suara masih berada dalam lingkaran ke-shiddiq-kan, ke-amanah-an dan ke-tabligh-an? Tentu, bagi kita akan mengatakan api jauh dari panggang. Fakta dan realitas tak bisa terbantahkan, bahwa proses politik di negeri ini dari Pemilu ke Pemilu atau dari Pilpres ke Pilpres adalah tidak shidiq dan apalagi amanah.
Proses politik untuk mendapatkkan dukungan atau perolehan suara,, baik Pileg (Pemilihan Legislatif) maupun Pilpres (Pemilihan Presiden) semua menggunakan money politics. Keterlibatan politik uang tersebut bisa langsung maupun tidak langsung. Yang dikatakan langsung adalah keterlibatan langsung dari yang bersangkutan secara pribadi baik yang tertutup (rahsia, sembunyi-sembunyi, yang tersamarkan) maupun yang terbuka (terang-terangan, blak-blakan) dalam berbagai model dan bentuknya. Keterlibatan secara tidak langsung adalah dengan menggunakan mekanisme jaringan, baik secara individual maupun kolektif melalui berbagai mekanisme yang dimobilsasi tim pemenangan baik melalui mesin partai mupun di luar mesin partai, baik relawan yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur.
Dalam menyasar dukungan atau perolehan suara yang diharapkan, adalah dengan cara mengumbar janji, slogan, retorika dan permainan diksi, baik dalam kampanye, debat maupun spanduk atau baligho, dan bahkan saling serang, saling sindir, saling olok-olok, saling tuding, saling klaim, saling hoak dan black campaign (kampanye hitam), baik yang tersamar, tersembunyi (tersirat) maupun yang dalam ruang terbuka, sehingga, apakah semua itu masih bisa kita katakan itu sebagai wujud dan maujud ulama, di mana kedua kutub itu mengklaim di dalamnya ada banyak ulama, bahkan didukung oleh ulama zumhur dan ulama besar?
Kontestasi ulama dalam politik, jika faktanya seperti tersebut, maka itu sudah menjadi politisasi ulama, politik menjadi instrumen kekuasaan untuk merebut singgasana kekuasan. Oleh karenanya, politisasai ulama hanya akan melahirkan pembusukkan melalui pefermentasian (ke)ulama(an), sehingga agama menjadi candu, kemudian kita tanpa beban mengatasnamakan agama dan atau Tuhan. Agama keluar dari kesuciannya dan atau kehilangaan keluhuran nilainya.
Jika agama menjadi candu, maka tesis Chales Kimball dengan pertanyaannya: apakah agama menjadi masalah? Tentu, jawabannya adalah “Ya”, sekalipun, semangat keagamaan (baca: aliran) itu belum menjadi katalis kehancuran yang tak terperi, tetapi semangat keagamaan itu sempat menng-ada yaitu menghasut, karena adanya fakta black campaign, hoak dan saling mengklaim ke-ulama-an (ulama zumhur, ulama besar, dan banyak-banyakan ulama) yang diproduksi baik langsungg maupun tak langsung, baik disadari maupun tidak dalam kesadaran itu sendiri, karena kehendak (hasrat) kekuasaan.
Oleh sebab itu, untuk mengembalikan wujud ulama dalam (ke)maujud(an) ulamanya, maka harus melepaskan baju wujudnya, sehingga kemaujudannya tidak membusuk. Tetapi, jika kita tetap memakai wujud ulama, maka itu berarti kita tengah melakukan pembusukan terhadap kemaujudan ulama. Maka, tesis Chrles Kimball tak bisa terbantahkan lagi adanya, bahwa agama menjadi masalah, karena sangat bergantung pada bagimana kita memahami agama.
Pefermentasian wujud ulama mupun maujud ulama pada titik tertentu yang mengakibatkan agama menjadi candu akan menjadi pembenaran, bahwa semangat keagamaan akan menghasut atau akan menjadi katalis kehancuran yang tak terperi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Sejarah menunjukkan bahwa sejumlah pemimpin atau komunitas yang dimotivasi oleh semangat keagamaan dapat, dan bahkan ingin, melakukan tindak kekerasan dan teror atas nama Tuhan atau keyakinan mereka. Hal demikian bisa terjadi baik pada skala kecil mapun besar, sangat bergantung pada arena ruang dan waktu. Inipun telah meng-ada.
Jika agama menjadi candu, maka kita dengan merasa tidak berdosa (tanpa beban bersalah) berjualan (menjual) ulama, agama bahkan Tuhan, seolah-olah apa yang kita katakan itu adalah suara Tuhan untuk membius umat, sehingga agama menjadi bendu. Padahal, sesunguhnya itu berakar dari polittik dan kekuasaan, karena kita tergoda oleh singgasana kekuasaan yang menjajikan kemegahan dan kenikmatan. Maka sesungguhnya dan oleh sebab itu, wujud dan maujud ulama yang paling pondamental adalah mengawal, mengingatkan, menegur, menyampaikan dan mengatakan kebenaran, bukan menyembunyikan sesuatu kebenaran apalagi di tengah riuh gemuruh dan gegap gempita derap konstelasi politik dan kontestasi politik Pilpres, di mana kekuasan dan politik akan senantiasa menghalalkan segala cara untuk merengkuh tujuannya, yaitu singgasana kekuasaan atau untuk berkuasa. Bukan berarti ulama tidak boleh menjadi umaroh secara formal, tetapi politik di negeri ini telah memisahkkan dua kutub tersebut, mulai dari kelahiraan (pucuk) partai, proses politik hingga proses dan pelaksanaan Pemilu (Pemilihan Umum). Sebab ulama, sesungguhnya sudah menjadi umaroh secara non formal. Mengapa harus tergoda dalam bencana?
Dalam diri kita terdapat banyak hal. Ada tikus dalam diri kita, ada burung. Burung membawa sangkar ke atas, sedangkan tikus menggali ke bawah. Seratus tikus binatang buas yang berbeda berkumpul bersama dalam diri kita, tetapi mereka semua bertemu di sebuah masa ketika tikus membuang ketikusannya dan burung membuang keburungannya, dan semuanya menjadi satu. Karena tujuannya bukanlah untuk naik ke atas atau ke bawah. Ketika tujuan menunjukkan dirinya dengan jelas, ia tidak di atas ataupun di bawah. Seorang wanita kehilangan sesuatu. Dia menengok ke kanan dan kiri, di depan dan belakang. Ketika dia telah menemukan benda itu dia tidak lagi mencari ke atas dan ke bawah, kiri dan kanan, depan atau belakang. Seketika wanita itu menjadi diam dan tenang. Demikian pula, di hari kebangkitan semua orang akan memiliki satu mata, lidah, telinga dan pemahaman (Jalaluddin RUMI; Fihi Ma Fihi “Inilah Apa yang Sesungguhnya”.Terj. Prof. A.J. Arberry, Penerj. Ribut Wahyudi)***
*) Penulis adalah Penyair, Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah), mukim di Singaraja.