Pada Hari Selasa-Kamis (21-23 Mei 2024) Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (DPP KNTI) menggelar Kemah Konservasi Pesisir Nelayan Tradisional di Ekowisata Mangrove Desa Karangsong-Indramayu-Jabar. kegiatan tersebut diikuti sebelas DPD KNTI dari Jawa, Batam (Kepri) dan Serdang Bedagai (Sumut) serta melibatkan Banom Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia (KPPI) dan Kesatuan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI).
Kemah yang mengangkat tema “Gotong Royong Pulihkan Lingkungan dan Bangkitkan Ekonomi Pesisir” tersebut dimaksudkan untuk menghidupkan kembali gerakan rakyat (nelayan dan masyarakat pesisir) untuk bergotong royong dan berswadaya memulihkan kerusakan mangrove yang semakin mengkhawatirkan.
Kementrian Lingkungan Hidupa dan Kehutanan (KLHK) RI mencatat, dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 60% hutan mangrove di dunia telah hilang atau terdegradasi, dengan tambahan hilang 1 % per tahun. Dengan demikian, hutan mangrove dunia menghilang 3 sampai 5 kali lebih cepat dibandingkan hilangnya hutan global.
Sementara Indonesia mempunyai hutan mangrove dengan luasan 20-25% dari ekosistem mangrove dunia. lahan yang dimiliki Indonesia adalah 3.36 juta hektar. kondisi tersebut menurut Yayasan Konservasi Alam NusantaraKondisi mangrove di Indonesia tidak lepas dari tekanan deforestasi. Lebih dari 50% mangrove Indonesia hilang selama 30 tahun terakhir, yang menjadikan Indonesia memiliki laju kerusakan mangrove tercepat di dunia (FAO, 2007).
Proses perubahan lahan mangrove terbesar terjadi pada periode 1990-2000 dengan total luas mangrove yang terdegradasi mencapai 52.632 hektare, hanya menyisakan 215.514 hektare pada tahun pengamatan 2019. Sebaliknya, perubahan tambak yang mencolok terjadi antara tahun 1990-2000 yang dianggap sebagai periode konversi puncak. Diperkirakan 61.083 hektare atau sekitar 70% dari total tambak pada tahun 2019.
Kondisi tersebut jika terus dibiarkan dan tidak ada langkah nyata dalam upaya konservasi lingkungan, maka kehancuran dunia akibat perubahan iklim tidak akan mampu kita elakkan lagi. Berdasarkan hal itu KNTI hadir untuk turut serta menyelamatkan lingkungan dan berupaya menghidupkan kembali semangat gotong royong rakyat dalam memulihkan lingkungan.
Terkait dengan upaya pemulihan lingkungan, sebenarnya anggota KNTI, nelayan tradisional di berbagai daerah di Indonesia sejak zaman nenek moyang hingga saat ini telah menjadikan penjagaan lingkungan sebagai nafas dalam kehidupan sehari-hari, karena nelayan tradisional meyakini bahwa laut dan pesisir adalah sumber kehidupan yang tidak boleh dirusak atau bahkan dihancurkan. “Jika kita merusak lingkungan, maka sama dengan merusak sumber kehidupan kita sendiri dan itu artinya kita bunuh diri,” demikian prinsip yang dipegang oleh nelayan tradisional Indonesia.
Begitu banyak figur-figur tokoh KNTI di berbagai daerah yang telah terbukti sangat konsen melakukan penanaman mangrove, menjaga hutan mangrove dan berjuang melawan para perusak lingkungan, seperti Pak Latif dan Pak Duloh di Indramayu (Jawa Barat), Pak Zulham di Sumatera Utara, Pak Amrullah di Kepri, nama-nama lain di Kalimantan dan di berbagai daerah lain di Indonesia.
Namun yang menjadi persoalan adalah deforestasi atau penghilangan hutan mangrove terus terjadi yang dilakukan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dengan dalih pembangunan, dengan dalih peningkatan angka produksi perikanan budidaya maupun dalih-dalih lain yang kesemuanya justeru menimbulkan kerusakan yang maha dahsyat dan mengancam kehidupan dunia dengan munculnya perubahan iklim, peningkatan emisi dunia dan menurunnya sumber oksigen dunia.
Tantangan Konservasi
Konservasi pesisir yang dilakukan KNTI dan para pejuang lingkungan di berbagai daerah di Indonesia tidak akan ada artinya sama sekali jika perusakan lingkungan terus terjadi, perampasan ruang hijau dan sabuk pengaman pesisir tidak bisa dihentikan dan industrialisasi yang merambah hutan mangrove terus dibiarkan.
Sementara upaya penyadaran terhadap masyarakat tentang pentingnya konservasi pesisir tidak pernah dilakukan dan banyak masyarakat pesisir juga yang ikut-ikutan melakuan pengrusakan mangrove untuk dijadikan kayu bakar maupun untuk perluasan lahan tambaknya.
Oleh karenanya, tantangan terbesar dalam konservasi adalah bukan hanya pada upaya penghentian pengrusakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, industrialisasi perikanan dan menjadikan lingkungan sebagai wawasan Pembangunan, melainkan upaya penyadaran semua pihak serta menggeser paradigma konservasi dari sekedar upaya penyelamatan lingkungan semata, melainkan mendorong konservasi menjadi pusat ekonomi yang akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir.
Menggeser Paradigma Konservasi
Paradigma yang dijadikan landasan dalam konservasi lingkungan selama ini hanya dimaksudkan untuk penyelamatan dan perbaikan lingkungan hidup yang telah rusak semata, mungkin bisa ditambahkan sebagai tugas mulia untuk menyelamatkan dunia atau bisa juga sebagai amal ibadah yang mengandung pahala bagi manusia beragama.
Paradigma tersebut sangat benar dan sangat mulia, namun nyatanya paradigma itu tidak mampu menghentikan kerusakan dan pengrusakan terhadap hutan mangrove yang ada di Indonesia dan dunia, maka dibutuhkan paradigma baru untuk menggeser mindset seluruh komponen warga dunia, yakni paradigma ekonomi dan menjadikan mangrove sebagai pusat pengembangan ekonomi serta sumber pemberdayaan ekonomi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, mangrove juga bisa dijadikan sebagai pusat ketahanan pangan lokal yang mampu menjawab tantangan dan ancaman ketahanan pangan nasional akibat semakin menyempitnya lahan pertanian.
Mengapa paradigma ekonomi? karena jika masyarakat pesisir dan seluruh komponen masyarakat dunia menyadari bahwa mangrove bisa menjadi sumber ekonomi, karena mangrove ternyata bisa diolah diolah menjadi produk makanan, minuman, obat herbal, kosmetik, pengganti makanan pokok dan sumber ekonomi lainnya, maka hutan mangrove tidak hanya dipandang dari fungsi ekologis semata melainkan bernilai ekonomi yang sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemberdayaan Ekonomi Mangrove
Kemah Konservasi Pesisir Nelayan Tradisional yang digelar oleh KNTI dengan meghadirkan narasumber para tokoh nelayan KNTI yang telah melakukan pemberdayaan ekonomi kawasan mangrove di Indramayu, membuka mata kita semua, bahwa mangrove bisa dijadikan alternatif pemberdayaan ekonomi warga.
Pak Duloh, Ketua DPD KNTI Indramayu yang menjadi salah seorang narasumberr pada Kemah Konservasi Pesisir Nelayan Tradisional telah membuktikan bahwa sepuluh tahun lebih dirinya bersama kelompoknya secara tekun dan tidak pernah Lelah melakukan penanaman serta menjaga kawasan hutan mangrove, kini kawasan mangrove di Karansong Indramayu seluas 20 Hektar lebih telah menjelma menjadi kawasan ekowisata yang mampu menggerakkan perekonomian lokal karena ribuan pengunjung yang selalu datang setiap minggunya.
Multi player effect dari adanya ekowisata mangrove Karangsong Indramayu telah dirakan oleh masyarakat setempat, seperti pedadang yang bisa berjulan di sekitar ekowisata, UMKM yang bisa menjual produknya, nelayan yang bisa disewakan perahunya, kelompok pemuda yang mendapatkan penghasilan dengan membantu keamanan dan parkir hingga pemerintah desa yang mampu meningkatkan pendapatan asli desa maupun pemerintah daerah yang mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Keuntungan terbesar tentu saja didapatkan oleh kelompok pengelola ekowisata, karena para pengunjung dikenakan tarif masuk untuk biaya perawan dan pengembangan hutan mangrove yang ada,
Pengembangan pemberdayaan ekonomi mengrove juga telah dilakukan oleh Pak Abdul Latif (Narasumber kedua) yang telah mampu melakukan pengolah mangrove menjadi produk olahan siap dikonsumsi yang bernilai ekonomi sangat tinggi.
Pak Latif, demikian ia biasa dipanggil yang merupakan anggota Dewan Pakar DPP KNTI dalam bidang konservasi itu juga, telah berhasil menciptakan ratusan produk olahan mangrove dalam bentuk makanan, minuman, obat herbal, kosmetik, pakan udang/ikan, pengganti makanan pokok nasi dan berbagai jenis olahan lainnya.
Hasil olahan mangrove yang diproduksi pak Latif telah dijual kemana-mana dan menjadi sumber peningkatan ekonomi keluarga serta masyarakat sekitarnya, karena warga dilibatkan dalam kelompok pengolahan juga diberikan peluang untuk mencari bahan baku mangrove yang dapat dijual untuk diolah menjadi berbagai jenis produk tersebut.
Dari kedua narasumber Kemah Konservasi Pesisir Nelayan Tradisional tersebut, para peserta dari berbagai daerah di Indonesia mendapatkan pengetahun baru sekaligu dilatih secara langsung melakukan pengolahan berbagai jenis produk seperti wedang pesisir, peyek mangrove, kopi mangrove, lulur kecantikan mangrove dan lain sebagainya.
Mangrove Untuk Kesejahteraan Nelayan dan Dunia
Setelah mengikuti pelatihan dalam Kemah Konservasi Pesisir Nelayan Tradisional, para peserta mendapatkan keahlian untuk melakukan konservasi di daerahnya masing-masing sekigus mampu melakukan pengolahan mangrove yang akan dikembangkan di daerahnya dengan melibatkan nelayan, perempuan nelayan, pemuda, pelajar serta mahasiswa pesisir.
Kelompok-kelompok kecil yang telah terpapar pergeseran paradigma konservasi dari fungsi ekologi menjadi fungsi ekonomi, diharapkan akan menjadi pusat-pusat pemberdayaan serta pengembangan ekonomi di berbagai daerah, sehingga mangrove akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjadi poros ekonomi elaternatif dunia…..Semoga !!!!