Menghapus Kemiskinan Esktrem, Mungkinkah?
Pengentasan kemiskinan ekstrem menjadi salah satu hal yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB tahun 2000. Tujuan Pembangunan Milenium pertama (MDG1) yang disepakati MDG1 menargetkan penurunan tingkat kemiskinan ekstrem hingga separuhnya pada tahun 2015. Tujuan tersebut dicapai lima tahun lebih cepat. Masyarakat internasional, termasuk PBB, Bank Dunia, dan Amerika Serikat, menargetkan pengentasan kemiskinan ekstrem pada tahun 2030.
Wikipedia melansir bahwa Kemiskinan ekstrem, kemiskinan absolut, atau destitusi adalah “suatu kondisi yang langka akan kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Kemiskinan ekstrem bergantung pada pendapatan dan ketersediaan kebuuthan dasar,”
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1995. Kini, kemiskinan ekstrem mengacu pada pendapatan di bawah garis kemiskinan internasional $1,25/hari (nilai tahun 2005) menurut Bank Dunia. Patokan ini setara dengan $1,00 per hari menurut nilai dolar A.S. tahun 1996. 96% masyarakat miskin ekstrem tinggal di Asia Selatan, Afrika Sub-Sahara, Hindia Barat, Asia Timur dan Pasifik; hampir separuhnya terdapat di India dan Cina.
Sementara Badan Pusat Statistik melansir tingkat kemiskinan ekstrem adalah indikator proporsi penduduk dibawah garis kemiskinan internasional adalah persentase penduduk dengan pendapatan kurang dari 1,90 dollar AS pada PPP (Purchasing Power Parity) 2011.
Garis kemiskinan nasional pada dasarnya adalah sejumlah uang yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak. Garis kemiskinan dihitung berdasarkan data pengeluaran/konsumsi terdiri dari Garis Kemikinan Makanan yaitu harga dari 2.100 kkal/kapita/hari ditambah dengan Garis Kemiskinan non-makanan yang dihitung dengan metode budget share dari komoditas dalam keranjang non-makanan terhadap kelompok komoditas non-makanan yang dikumpulkan Susenas modul konsumsi.
Tingkat kemiskinan ekstrim pada metadata ini mengukur 2 hal, yaitu: 1. Pesentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan internasional menurut jenis kelamin, umur, status pekerjaan dan wilayah tempat tinggal (perkotaan/pedesaan) 2. Persentase pekerja yang hidup dibawah garis kemiskinan internasional menurut jenis kelamin, umur, status pekerjaan dan wilayah tempat tinggal (perkotaan/pedesaan).
Tingkat kemiskinan ekstrem Indonesia adalah 4 persen atau sekitar 10,86 juta jiwa. Sementara tingkat kemiskinan secara umum Indonesia berdasarkan data Maret 2021 adalah sejumlah 10,14 persen atau 27,54 juta jiwa.
Sedemikian besarnya tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia, namun pemerintah bertekah untuk menghapusnya hingga angka nol pada tahun 2024, mungkinkah?
Pemerintah menjawab bahwa hal itu sangat mungkin dan bahkan sangat optimis, karena saat ini pemerintah melalui berbagai Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah telah melaksanakan banyak program yang terbagi dalam dua kelompok utama yaitu kelompok program untuk menurunkan beban pengeluaran rumah tangga miskin, dan kelompok program untuk meningkatkan produktivitas masyarakat miskin.
Untuk Tahun Anggaran 2021 anggaran program dan kegiatan untuk pengurangan beban pengeluaran melalui bantuan sosial dan subsidi berjumlah Rp. 272,12 triliun, serta anggaran program dan kegiatan untuk pemberdayaan dan peningkatan produktivitas berjumlah Rp. 168,57 triliun, sehingga alokasi anggaran keseluruhan adalah Rp. 440,69 triliun.
Memang benar pemerintah telah membuat banyak program untuk mengentaskan tingkat kemiskinan ekstrem, namun demikian tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membuat program-program tersebut konvergen dan terintegrasi dalam menyasar sasaran yang sama.
Konvergensi ini penting untuk memastikan berbagai program terintegrasi mulai dari saat perencanaan sampai pada saat implementasi di lapangan sehingga dapat dipastikan diterima oleh masyarakat yang berhak.
Konvergensi yang dimaksudkan adalah upaya untuk memastikan agar seluruh program penanggulangan kemiskinan ekstrem mulai dari tahap perencanaan, penentuan alokasi anggaran, penetapan sasaran dan pelaksanaan program tertuju pada satu titik atau lokus yang sama baik itu secara wilayah maupun target masyarakat yang berhak.
Kita semua mengetahui bahwa banyak penyakit yang menghambat berbagai program dan kebijakan di Indonesia diantaranya adalah kebocoran, penyimpang, penyalahgunaan dan korupsi. Data dan fakta di lapangan sudah banyak ditemukan tentang hal tersebut, bahkan bantuan sosial covid-19 saja dikorupsi, bantuan lainnya juga tidak tepat sasaran, disalah gunakan dan diselewengkan.
Jika pemerintah mampu mengobati berbagai penyakit tersebut, maka mungkin saja kemiskinan ekstrem akan mampu dihapuskan, tetapi jika segala penyakit itu dibiarkan, maka semuanya hanya akan menjadi mimpi semata.