Oleh : Didi Juhaedi*)
Hakikat pendidikan adalah memberikan bekal ilmu kepada seseorang untuk hidupnya agar tercapai derajat kehidupan yang lebih baik. Ketika hal tersebut diterjemahkan dengan pendidikan formal, maka pendidikan berbentuk pembelajaran di kelas yang dikelola oleh para guru dengan segala kompetensinya yaitu kompetensi pedagogic/teknik teknik pembelajaran, kompetensi sosial , kompetensi pribadi dan kompetensi professional.
Tapi dalam prakteknya, pendidikan tidak bisa dibaca dengan hal sesedrhana itu. Ia merupakan kompleksitas sumber daya yang berkolaborasi dengan sarana, pra sarana, tujuan pendidikan, kepentingan dunia usaha, industry bahkan kepentingan politik. Oleh karenanya, menangani dunia pendidikan adalah menangani masalah yang tidak pernah selesai.
Sisi yang paling banyak disorot adalah tentang interaksi antara siswa dan gurunya. Hal ini wajar karena memang ruh pendidikan adalah interaksi antara pendidik dan peserta didik. Poin di bawah ini yang biasanya selalu tidak pernah selesai dibicarakan.
Kedudukan guru- murid di kelas.
Jejak sejarah pendidikan membuktikan bahwa posisi dua subyek pendidikan di atas selalu asyik dibahas. Dalam teori pendidikan klasik, guru adalah manusia sempurna yang pandai, soleh, hebat dn bijak. Oleh karenanya dia menjadi sosok hebat yang harus digugu dan ditiru oleh para muridnya. Guru itu ilmunya luas, maka siswa akan menyerap banyak pengetahuan darinya. Guru itu adil, makanya siswa harus siap dihukum kalau salah. Guru itu bijak, makanya siswa akan menuruti segala nasihatnya. Adapun tentang bagaimana interaksi di kelas untuk menterjemahkan segala kehebatan guru di atas, orang lain tidak bisa intervensi. Guru memiliki otonomi penuh bagaimana dia mendidik anaknya, dan semua orang patuh dengan hal itu. Sementara murid adalah seperti gelas kosong yang harus siap diisi segala pengetahuan tanpa protes, patuh terhadap disipin tanpa melawan dan siap melakukan segala nasehat guru gurunya. Pokoknya top down banget . hikmah yang paling besar dari posisi deperti itu adalah adanya kejelasan siapa harus melakukan apa. Siaapa harus bagaimana dan siapa bertanggung jawab terhadapnya. Kelemahannya adalah kita tidak bisa menilai seberapa hebat, seberapa benar dan seberapa bijak guru melaksanakan fungsi2nya di kelas. Kita tidak bisa menilai, seberapa senang siswa belajar bersama guru itu.
Tetapi hal baik itu tidak selamanya dianggap baik juga. Metode pembelajaran, pendekatan yang dilakukan dan teknik yang dipilih oleh guru tidak ajeg selamanya menggunakan kebaikan itu. Ketika zaman berganti, musim berlalu, berbagai penemuan teknik baru, pendekatan anyar dan filosofi baru tentang pembelajaran di kelas, muncullah berbagai teori baru juga yang berkait dengan praktek pembelajaran di kelas dan fungsi fungsi guru dan murid.
Di samping itu muncul juga paradigm baru tentang hubungan guru murid. Yang dalam paradigm klasik hubungan guru murid itu seperti ceret air dan gelas kosong, berubah menjadi hubungan pembantuan/pertolongan guru terhadap murid . lantas di mana bedanya? Dalam paradigm klasik sudah saya jelaskan di atas, sisiwa adalah subyek yang pasrah terhadap gurunya utk diberi ilmu pengetahuan. Tapi dalam paradigm baru, guru bukan lagi sebagai satu satunya pihak yang hebat yang berhak untuk member ilmu, tapi dia lebih sebgai fasilitator yang membimbing siswanya untuk belajar, mencari dan menemukan ilmu tidak hanya di dalam kelas, tapi dengan menggunakan segala sarana, alam bahkan dirinya sendiri sebagai sumber ilmu dan sumber belajar. Artinya satu fungsi guru sebagai pusat ilmu dieliminasi.
Maka muncullah teori teori baru tentang belajar, tentang metodenya, tekniknya pendekatannya maupun teori tentang pengukuran hasilnya. Untuk hal itu tidak akan saya sebutkan satu persatu bentuknya, tetapi intinya memberikan porsi yang lebih luas untuk para siswa agar kegiatan belajar yang dialaminya itu tidak membosankan, tidak mengandalkan guru sebagai sumber ilmu satu satunya, hak hak asasi siswa sebagai mausia lebih dihargai, dan sebagainya. Akibatnya, guru harus selalu mengupdate kompetensi pedagogisnya setiap saat agar layak disebut guru yang asyik ketika mengajar, dan siswa merasa nikmat ketika belajar bersamanya.
Pertanyaannya adalah, apakah setiap orang belajar itu harus asyik, harus nikmat,harus menyenngkan ? bukanlah rasa tidak asyik, tidak nyaman dan rasa tidak nikmat juga bagian dari pendidikan survival dalam kehidupan yang semua orang harus mengalaminya? Jadi mestinya, proses pendidikan di sekolah tetap harus dinikmati meskipun tidak menyenangkan. Karena rasa senang dan tidak senang, nyaman dan tidak nyaman, nikmat dan tidak nikmat adalah dua sisi kehidupan yang pasti dialami semua orang. Begitupun dengan orang belajar.
*) Penulis adalah praktisi pendidikan, Tinggal di Indramayu.