Politik itu bisa membuat orang merubah kebiasaannya. Tidak pernah nandur atau bukan profesinya, tetapi melakukannya demi meningkatkan citra politik. Berharap ikut naik elektabilitasnya. Apapun yang dianggap dapat mendompleng, yaa dilakukan. Itulah politik. Begitu bukan?
Salah satu contoh nandur politik, yaitu seperti yang dilakukan oleh Puan Maharani. Puan datang ke Desa Sedang, Bali untuk nanam mundur (nandur) padi varietas inpari 32 yang diklaim mampu menghasilkan 7-9 ton per hektar. Sayangnya, publik merespon nyeleneh dan ada benernya.
Bahwa Ketua DPR RI itu telah mensalah artikan nandur karena menanam padinya berjalan maju. Hal itu di luar kebiasaan petani yang menanam padi secara mundur. Makanya disebut dengan nandur—nanam mundur.
“Saya baru tahu para petani di Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali menanam dengan cara yang berbeda,” kata Puan di sosmednyi.
Ternyata berbeda yang dimaksud oleh Puan adalah area tanam padinya. Di Sedang, area dibentuk segi empat. Sedangkan di Jawa, mengikuti garis lurus. Di Sumatera berbeda lagi, katanya.
“Makin kedepan ternyata tanahnya (di Sedang) makin dalam,” katanya bicara kondisi tanah di sawah Sedang, Kabupaten Badung, Bali.
Perbedaan yang disebutkan Puan itu bukan masalah penanaman atau nandur, tetapi mengenai teknis petak sawah untuk ditanami padi. Sehingga, esensi nandur memang sebenarnya terkait menanam padi secara mundur. Bukan metak-memetak. Itu soal teknis saja. Kalau nandur, yaa filosofinya nanam mundur.
Ada tradisi berkaitan dengan petani padi. Anda mungkin sudah tahu: “Mapag Sri”—mapag adalah bahasa jawa, artinya menjemput, Sedangkan Sri merupakan Dewi (Dewi Sri), Dewi Padi. Sri itu artinya padi. Maka, Mapag Sri adalah menjemput padi yang dimaknai dengan panen padi.
Mapag sri merupakan budaya rasa syukur masyarakat terhadap hasil panen padi. Biasanya kepala desa akan melakukan musyawarah dalam menentukan hari mapag. Para petani menaruhkan harapan atas panennya: memuaskan dan atau melimpah.
Kembali pada persoalan nandur politik. Mengapa Puan Maharani melakukan itu? Jawabannya karena politik kepentingan di Pilpres yang akan datang, 2024.
Nandur politik yang saya sebut ini sebetulnya tidak hanya soal nandur padi atau nandur tanaman lain. Akan tetapi bermakna luas. Bisa saja politisi X melakukan A, lalu disebut dengan nandur politik. Karena memang tujuannya jelas politik—Ingin dikenal banyak orang/kalangan. Merebut simpati, ngono lho.
Keunikan politik seperti itu adanya. Masih dua tahun lagi, tetapi persiapannya sekarang-sekarang ini. Bagi politisi, 2022 ke 2024 amat singkat. Saking dianggap singkatnya masyarakat dilupakan. Yang pejabat pakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok (partai). Jadi perlu kesana kemari untuk nandur politik.
Nandur politik yang telah dijelaskan itu harus juga dipahami masyarakat luas. Kita tahu politik begitu kompleks. Salah-salah kita masuk terseret pada persoalan korupsi politik, money politic (politik uang), dan sejenisnya. Jika sudah terjerembab, habislah nilai moral dan integritas kita. Oh iya, reputasi juga akan lenyap.
Penuh kesadaran, bahwa politik sangat mempengaruhi kemajuan bangsa sampai lingkup terkecil. Masyarakat harus memahami itu. Kalaupun ada yang menganggap politik itu kejam dan kotor, tapi bukan berarti mengabaikan atau menghindarinya. Kita buat agar politik tidak jahat dan bersih.
Mudah saja kita menilai para politisi. Lihat (cermati) sikap, ucapan, dan tindakannya. Agar terhindar dari kebusukan politik: janji palsu. Pada dasarnya nandur politik adalah tindakan positif. Menjadi negatif karena cara nandur dan hasil panennya tidak untuk kemaslahatan banyak orang. Jaminan kemaslahatan itu ada pada diri kita masing-masing. Karena diri kita saling menentukan nasib satu sama lain.
(Panji Purnama)