UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Pasal 3 ayat (1) telah menegaskan, bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Dari sekian banyak fungsi pers tersebut, fungsi sebagai kontrol sosial tentulah sangat berat dirasakan oleh pers atau media.
Mengapa berat? Karena memang untuk menjalan fungsi tersebut, media menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang sangat luar biasa, hal ini terbukti dengan banyaknya wartawan yang dibunuh, dikriminalisasi, dipenjarakan, diancam dan mengalami tindak kekerasan.
Sehingga tidak aneh, jika kemudian banyak media dan wartawan yang memilih jalur “aman” dengan mengambil fungsi sebagai penyebar informasi, pendidikan dan hiburan saja. Hal ini kemudian berdampak pada semakin sedikitnya wartawan dan media yang mengambil posisi sebagai kontrol sosial, mengkritisi kebijakan pemerintah dan menyerukan pemberantasan korupsi yang telah merajalela.
Padahal sebenarnya pers yang mampu melakukan fungsi kontrol sosial tersebut sangat besar jasanya dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Salah satu contohnya adalah, seorang bupati/walikota yang memimpin pemerintahan di daerah, akan sangat terbantu dengan adanya pemberitaan yang mampu mengkritisi berbagai pelaksanaan proyek pembangunan di daerah, karena sang bupati tidak akan mampu melihat atau mengontrol secara langsung proyek tersebut.
Sehingga ketika ada media yang memberitakan adanya penyelewengan, penyimpangan dan dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi pada sebuah proyek pembangunan, hal itu seharusnya bisa menjadi dasar bagi bupati untuk mengambil tindakan pencegahan sekaligus pemberantasan korupsi tersebut.
Selain itu juga, aparat penegak hukum bisa menjadikan media sebagai mitra, khususnya sebagai pemberi informasi awal tentang berbagai tindak pidana korupsi yang terjadi di daerah, untuk kemudian ditindak lanjuti dan dilakukan tindakan hukum terhadap para pencuri uang rakyat tersebut.
Tetapi yang menjadi persoalan adalah, ketika pemimpin daerah dan aparat penegak hukumnya juga justeru berada dalam lingkaran “kejahatan” tersebut, sehingga kemudian wartawan dan media yang memberitakan berbagai dugaan korupsi itu dimusuhi dan dimatikan.
Di sinilah pentingnya komitmen kuat yang harus dimiliki oleh pemimpin pemerintahan, birokrat dan aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, sekuat apapun kontrol rakyat dan media dalam pelaksanaan program pemerintah, maka akan menjadi sia-sia jika tidak ada itikad baik dari pemimpin dan aparat penegak hukumnya.
Pada saat yang sama, mentalitas pers juga harus terus dikuatkan untuk mengambil fungsi kontrol sosial, bukan mental penjilat dan penghamba kekuasaan, hanya mencari aman dan mencari keuntungan dalam situasi darurat seperti ini.
Kenapa dikatakan situasi darurat? Karena memang jelas-jelas bahwa negeri sudah dalam kondisi darurat akibat penyakit kronis korupsi yang menggerogotinya, bahkan korupsi juga telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa, jika kejahatan luar biasa itu telah mengepung bangsa kita bahkan telah masuk ke dalam sendi-sendi berbagai sektor kehidupan, lalu bagaimana mungkin kita menganggap situasi ini biasa-biasa saja, aman-aman saja dan baik-baik saja?
Maka kita harus memberikan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap pers yang masih kritis, tajam dan terus memberitakan berbagai kejahatan, penyimpangan dan korupsi, karena apa yang telah mereka lakukan itu menjadi penanda bahwa masih ada orang yang waras, masih ada kelompok yang berpikir jernih dan masih ada penghuni negeri ini yang mau mengambil langkah tegas dalam penyelamatan bangsa dan negaranya.
Sehingga kita masih tetap optimis bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini bukan hanya menjadi ilusi melainkan langkah pasti yang akan membuahkan hasil pada suatu hari nanti.