Indramayu-MCB
Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumdam) Tirta Darma Ayu (TDA) sebagai perusahaan milik Pemerintah Kabupaten Indramayu-Jawa Barat diduga menggunakan managemen tong sampah, lebih miris lagi dalam waktu dekat pihak Perumdam TDA akan menaikan tarif secara fantastis kepada pelanggan dan hal itu dituding tak berdasar, dengan alasan tak masuk akal serta langgar aturan.
Demikian ditegaskan Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), O’ushj dialambaqa alias Oo, saat di ruangan salah satu rumah makan terkenal di Indramayu, Jumat (13/1/2023) dalam acara sosialisasi rencana penyesuaian tarip Air Minum Perumdam TDA Indramayu Tahun 2023-2025.
Sosialisasi tersebut untuk mendapatkan umpan balik dari wakil atau forum pelanggan melalui berbagai media komunikasi terhadap Penyesuaian Tarip Air Minum Perumdam TDA.
Kata Oo, semula PKSPD mencoba memberi keyakinan dengan adanya Dirut baru, Dirtek baru, Dewas (Dewan Pengawas) baru dan seterusnya, KPM akan membersihkan Tong Sampah tersebut. Ternyata, benar Tong Sampah itu dibersihkan, namun ternyata diisi dengan sampah baru dalam Tong Sampah tersebut.
Menurut Oo, slasan kenapa PDAM sebagai BUMD itu adalah Tong Sampah, yaitu antara lain:
- Analisis Full Cost Recovery (FCR) adalah sesat. Yang penjelasan Dirtek PDAM sudah 4 tahun dalam posisi merugi; 2 tahun sebelum ditinggalkan Dirut H. Tatang Sutardi, S.sos, MSi dalam kondisi merugi, dan ditangan Dirut baru, DR.DR. Ir. Ady Setiawan, SH, MH, MM, MT juga dalam kondisi merugi milyaran rupiah.
- Loss air menjadi absolut 25% untuk menghitung kenaikkan tarip. Padahal, jika manajemen PDAM bukan Tong Sampah, loss air itu seharusnya maksimal +/-5%.
- Perhitungan Harga Pokok yang dibuat menjadi masalah besar yang dibuat pemerintah dalam profesionalisme, karena tidak ada satu tioripun dan atau tidak pernah ada ditemukan dalam menghitung Harga Pokok dengan rumus: Biaya Operasional dibagi dengan Total Produksi dikurangi (Total Produksi x Tingkat Kehilangan Air). Jadi dengan kenaikkan tarip berapa pun bisa tetap akan merugi karena varibel sesungguhnya dalam menghitung Harga Produksi bukan seperti itu. Biaya operasional bisa tak terbatas jika Tong Sampah, dan manajemen sampah yang diterapkan.
- Pengangkatan Dewas yang diisi oleh Rinto Waluyo yang statusnya masih menjadi Sekda, jelas itu Tong Sampah, karena menabrak PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, dan menabrak Permendagri No. 37 Tahun 2018 pasal 4.
- Pelantikan Drs. Rinto, MPd Waluyo sebagai Dewan pengawas yang merangkap Setda, jelas menabrak regulasi pokok, karena status Rinto Waluyo masih menjadi Sekda, Usia Rinto Waluyo melampaui 55 tahun, dan tidak melalui seleksi, di mana rekrutmennya harus terbuka dan diinforasikan ke publik. Itu semua menunjukkan bahwa PDAM adalah Tong Sampah.
- Di tangan Dirut, pegawai honorer yang sudah dipecat, kemudian diangkat kembali dengan status outsourching.
- Rekruitmen pegawai baru menggunakan istilah ASN, seperti, Tenaga Ahli Madiya Akuntansi dan seterusnya.
- Materi test akademik (assessment) untuk level staf mencerminkan “Sampah”, seperti tercermin pada soal menghitung pantulan bola. Padahal materi akademik menghitung pantulan tidak relevan dan atau tidak ada korelasinya dengan PDAM yang memproduksi air, kecuali untuk industry Lato – Lato, Senjata, Bola Pingpong dan sejenisnya.
- Dirum dibiarkan kosong sampai sekarang. Pertanyaannya, system akuntansi mana dan atau system keuangan mana yang membenarkan bahwa semua harus kas masuk dan keluar, purchasing dan seterusnya berada di tangan Dirut? Ini menunjukkan Tong Sampah itu sungguh keterlaluan, karena Dirum (dulu ada Dikeu) bertanggungjawb atas Laporan Keuangan (Neraca, Laba Rugi), dan seleruh arus kas masuk dan keluar.
- Dirtek mengatakan bahwa PDAM modalnya sendiri, bukan dari APBD dan APBN. Pernyataan Dirtek di muka publik tersebut menunjukkan Tong Sampah yang penuh sampah, sekalipun mengklaim dirinya sebagai orang professional sejak 2007. Fakta sampah yang tak terbantahkan itu adalah Dirtek tidak mengerti, dan tidak bisa membaca apalagi menganalisis Nareca apakah sehat atau sakit. Penjelasan yang berapi-api itu sangat sesat dan memalukan sebagai orang professional yang berapologi karena melalui prosesdur rekruitmen. PDAM sebagai BUMD, berarti modal kerjanya bersumber dari uang masyarakat (APBD/APBN). Olehh karena itu masyarakat mempunyai legal standing sebagai pemegang saham yang mandatnya dipercayakan kepada KPM, Bupati sebagai ex ofisio.
- Tong Sampah, dan manajemen sampah berikutnya adalah PDAM tidak pernah mempublikasikan neracanya, padahal masyarakat sebagai pemegang sahamnya. Jika menggunakan manajemen professional, pastilah Neraca PDAM bisa diakses publik dan atau dipublikasikan ke ruang publik supaya mendapatkan public trust. Ini tidak terbukti, Neraca selalu disembunyikan dalam ketiaknya.
- Penjelasan Dirtek, kenaikan tarip diberlakukan 1/2/2023. Tagihan Januari sudah menggunakan tarip baru, hal itu menunjukan Tong Sampah dan managemen sampah , karena tarip baru berlaku SURUT. Dimana-mana pun taka ada jika manajemennya professional, kecualai hanya berlaku pada manajemen sampah. Belum kita bicara baku mutu air, dan bicara program Debas menjadi DLEBUS. Di tangan Dirut yang suka memajang rentengan gelarnya seperti bledogan atau mercon di malam tahun baru, kondisinya di tahun 2021 dan 2022 adalah Rugi, tetapi dalam LHP BPK tahun 2021 PDAM setor ke PAD +/- Rp 1,5 milyar, dan statemen Dirut setor ke PAD 2022 sebesar Rp 2,5 milyar. Dari mana, regulasi mana yang membenarkan itu semua? Orang prpfesional atau sampah, tidak bisa membaca regulasi. Jika BUMD Rugi bahkan kerugian komulatif, maka tidak ada kewajiban setor ke PAD, dan bahkan ketika PDAM belum bisa menjangkau pelayanan 80% kepada jumlah masyarakatnya, PDAM tidak ada kewajiban untuk setor ke PAD.
- Ketika ditanyakan, dengan kenaikkan 30% itu berapa profir margin yang diinginkan PDAM dan berapa yang mau disertorkan ke PAD, ternyata gagu, dan tak punya analisis yang professional.
- Yang terakhir PKSPD melengkapi persolan Tong Sampah yang diisi dengan Sampah baru, yaitu, jika bukan Manajemen Sampah, tentu PDAM tidak gagu untuk menjelaskan kepada publik atas argumen apa menaikkan tarip menjadi keharusan.
“Jika Manajemen Profesional, maka kebijakan menaikkan tarip, pastilah setelah melampaui minimal analisisi sebagai berikut:
- Analaisis Efektivitas Beban Produksi.
- Analisis Direc Cost dan Indirec Cost yang meliputi: beban Bahan Baku Utama, BTL (Beban Tenaga Kerja Lngsung) dan BOP (Beban Overhead Produksi).
- Analisis Efektivitas Beban Pegawai.
- Analisis Efektivitas Manajemen.
- Analisis Efektivitas Sistem Pengendalian Internal; Beban Produksi, Beban Operasional, Beban Mareketing, Inventory, Purchasing, Kas Masuk dan Kas Keluar, jelasnya dalam paparan data dalam forum.” Ungkapnya.
Oo, menambahkan. Ternyata ketika PKSPD meminta penjelasan terhadap itu semua, PDAM tidak bergeming, bahkan hanya ada pengakuan dari Dirtek, bahwa dirinya memang tidak mengerti dengan Neraca.
“PDAM hanya berkelit bahwa telah melakukan studi banding ke Cirebon dan keluar daerah lainnya soal tarip, dan berapologi sesuai SK Bupati, regulasi dari Gubernur, dan atas analisis BPKP bahwa Biaya Operasional PDAM tidak dapat dicover dengan pendapatannya,” jelasnya.
“Pendapat BPKP itu ditelan mentah-mentah. Pertanyaannya, apakah BPKP telah melakukan analisis seperti di atas, sehingga berkesimpulan bahwa Biaya Operasional tidak tertutup dengan pendapatannya itu? Jika seperti itu, jelas menunjukkan Tong Sampah dan manajemen Sampah,” pungkasnya.
Sementara ini pihak Perumdam TDA Indramayu, melalui salah seorang staff Humas, Lely Zulfiyah, di ruang kerjanya Jumat (20/1/2023). Dirinya belum bisa mengeluarkan pernyataan resmi ke publik terkait kenaikan tarif Air PDAM, karena belum ada kepastian dan SK dari pihak terkait. “Nanti pa, Kami belum bisa memberikan keterangan resmi ke media, karena SK kenaikan belum ada,” terang singkat Lely, kepada MCB. (Hasyim)