Indramayu-MCB – Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Karya Remaja (KR) Indramayu, H. Sugiyanto, diduga terjerat kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) dan pelanggaran hukum lainnya.
Publik meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat segera usut tuntas kasus dugaan korupsi terjadi secara sistematis, terstruktur dan massif. Diketahui publik Kejati Jabar, baru menahan dua tersangka.
Pertama Direktur Utama Perumda BPR KR Indramayu, H. Sugiyanto, sesuai surat perintah penyidikan Nomor: Print-1407/M.2.5/Fd.1/12/2022 tanggal 5 Desember 2022 dan kedua, debitur, Dadan Hermawan, Nomor: Print-1408/M.2.5/Fd.1/12/2022 tanggal 5 Desember 2022. Selain dua tersangka ada dugaan kuat, dalam pusaran perkara tersebut melibatkan puluhan saksi yang akan menjadi tersangka.
Terkait kasus tersebut, Direktur PKSPD Indramayu, Oushj Dialambaqa kepada MCB beberapa waktu menjelaskan, Kejati tidak menjelaskan apakah kerugian negara senilai 34 milyar itu merupakan kerugian total akumulatif atas kredit macet 300 milyar itu, yang kemudian hanya menetapkan 2 tersangka, yaitu, Dadan Hamdan dari pihak debitur dan Dirut BPR KR Sugianto.
“Jika total 34 milyar itu diakui oleh Dadan Hamdan sendirian, berarti kemungkinannya hanya 2 tersangka saja oleh Kejati, tetapi jika yang 34 milyar itu adalah beberapa debitur atau puluhan debitur, maka tersangkanya harus lebih dari 2 tersangka. Jadi akan ada atau akan menyusul tersangka lainnya. Pertanyaannya, apakah Kejati mau melokalisir kasusnya, tidak mau mengembangkan penyidikannya? Jika seperti itu, maka kasus kredit macet 300 milyar hanya 2 tersangka saja dan publik pasti menuding Kejati melokisir kasus tersebut, publik juga akan mengajukan pertanyaan, apakah 2 tersangka tersebut merupakan order rezim penguasa? Publik jika berspekulasi seperti itu, logis menurut logika dan akal waras,” ungkap pria yang akrab dipanggil, Oo ini.
Menurut Oo, Konstruksi pemeriksaan itu sangat jelas untuk menetapkan siapa tersangka utamanya, karena ke-6 pejabat itu, berdasarkan tupoksinya pasti tahu dan itu semua menjadi tanggung jawab kerjanya, maka Kejati harus mendapatkan informasi dan penjelasan dari mereka, karena tidak mungkin tidak tahu soal itu.
“Alasan.lain, jika dilihat dari konstruksi pemanggilan, mereka semua tentu tahu ketentuan kredit dalam perbankan, yaitu konstruksi (hukum) dari prinsip 5C dan atau 7C dalam pemberian kredit agar tidak terjadi kerugian negara. Jika 5C dan atau 7C itu dilanggar, jelas itu merupakan kejahatan perbankan katagorinya, maka harus ada banyak tersangka lainnya yang bisa ditetapkan. Jadi cukup jelas konstruksinya. Pertanyaan berikutnya, siapa saja yang bakal menjadi tersangka susulan setelah debitur Dadan Hamdan dan Dirut Sugianto?” tanya Oo.
Sekali lagi, Kata Oo, jika Kejati tidak melokalisir pemeriksaan kasusnya, tentu jika dilihat dari konstruksi kasusnya sampai Rp 300 milyar, maka minimal Kejati harus bisa menersangkakan terhadap 13 orang. Siapa saja?
“Berdasarkan tupoksi dan otoritasnya minimal 6 orang yang terperiksa tersebut. Jika secara hirarkis, tentu tidak hanya anggota Dewan Pengawas saja, tetapi harus sampai pada Ketua Dewas yang ex oficio Asda 2, karena Asda 2 membawahi tanggung jawab BUMD, Jadi jika anggota Dewasnya 3 orang maka menjadi 4 orang, ditambah Ketua Dewas. Mengapa? Jika Dewasnya WARAS, bekerja sesuai tupoksinya, kredit macet bisa terhindarkan dan berarti potensi kerugian negara tidak terjadi.” Ujar Oo.
Lantas siapa lagi yang berdasarkan konstruksi hukum dan tupoksi yang terlibat untuk bisa dijadikan tersangka adalah para Auditor Inspektorat. Jika Inspektorat mengemban tupoksi dan tanggung jawabnya, kredit macet dan atau kerugian keuangan negara tidak akan terjadi, karena akan menghasilkan temuan fraud dalam rekomendasi Inspektorat baik kepada Bupati sebagai KPM maupun Dirut BPR KR untuk menindaklanjuti temuannya sebagai peran dan fungsi pecegahan untuk tidak terjadinya tipikor di BUMD, khususnya di BPR KR,” sambungnya.
Selanjutnya yang harus bisa dijadikan tersangka juga, menurut Oo adalah Auditor BPK RI, karena tiap tahun BPR KR dan atau BUMD (BPR KR, PDAM dan BWI) adalah menjadi bagian dari obyek pemeriksaan BPK dalam audit tahunan terhadap tata kelola pemerintahan dan audit atas pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD oleh Buputi.
“Jadi Inspektorat maupun BPK fungsi utamanya adalah untuk melakukan pencegahan atas perkorupsian, sehingga tidak sampai terjadi adanya kerugian keuangan negara, maka dalam LHPnya harus ada temuan. Jika ditemukan unsur tipikor dalam auditnya, maka harus merekomendasikanya ke APH. Jika hal itu dilakukan tdk akan membengkak kerugian negaranya. Jika itu bersifat administratif, maka diberi waktu 60 hari kerja untuk menindaklanjuti temuan tersebut, jika lewat waktu 60 hari, memberi rekomendasi ke APH,” kata Oo.
Jadi melihat kredit macet yang fantastik itu, auditor Inspektorat maupun auditor BPK harus bisa dijadikan tersangka, karena tidak menjalankan tupoksinya secara profesional. Indikasi kuatnya, main mata, pagar makan tanaman, pura-pura tidak tahu kareja profesionalitasnya terbunuh oleh mentalitas yang bobrok sebagai auditor untuk melakukan pencegahan terjadinya kerugian keuangan negara,” lanjut Oo.
Masih adakah yang harus bisa dijadikan tersangka? Menurut Oo tentu masih ada yang bakal calon tersangka jika tidak dilokalisir dan masih cukup banyak yang bisa untuk dijadikan tersangka. “Jika kita melihat konstruksi hukum dan pemerikasaan Kejati pada Kamis, 15 Sept 2022, dan merekonstruksi persoalan kredit macet yang ratusan milyar itu, maka Debitur nakal, yang definisinya menyalahgunakan kredit bukan untuk kepentingan usahanya dan atau dipinjamkan lagi kepada pihak lain dan atau yang tanpa agunan atau tidak cukup agunan, dan mengakal-akali pemberian kredit yang melanggar ketentuan prinsip 5C dan atay 7C, sehingga terjadi kerugian negara, harus bisa dijadikan tersangka, itu konkret,” tegas Oo.
Untuk itu, kasus kredit macet BPR KR yang ditangani KEJATI harus dikawal ketat oleh publik, Lanjut Oo, kita semua yang menaruh mimpi perubahan bagi Indramayu. Jika berdiam diri bisa kasusnya tenggelam antah berantah seperti kasus PDAM yang sdh statusnya Tersangka, begitu juga kasus CSR 15 milyar yang statusnya sudah Tersangka kemudian tenggelam begitu saja.
“PKSPD berharap dan meminta KEJATI untuk tidak melokalisir peneriksaan kasusnya, sehingga minimal 13 orang bisa dijadikan TERSANGKA dlm kasus kredit macet BPR KR. Jika hanya dua orang saja yang dijadikan Tersangka, publik akan berspekulasi liar dengan mengajukan pertanyaan ada apa dengan KEJATI, dan akhirnya terkesan itu cuma hanya order dari pihak yang berkepentingan, mengesampingkan prinsip hukum dalam pemberantasan korupsi?” (Hasyim)