Oleh: Acep Syahril
Geriap sastra beberapa tahun belakangan (1993) serasa mendapat tempat istimewa (bukan atas prakarsa pemerintah melainkan atas gerakan individual penyair dan satrawan atau kantong-kantong sastra yang tersebar disejumlah daerah Indonesia).
Gerakan sastra saat sekarang selain ramainya rubrik-rubrik sastra dan budaya yang memuat karya-karya penyairnya di sejumlah surat kabar cetak yang terbit di Jakarta dan kota-kota lainnya seperti tampil bersaing. Surat kabar seperti Berita Buana, Kompas, Media Indonesia, Suara Karya, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Bali Pos menampilkan karya-karya penyair yang sudah punya nama. Berbeda dengan koran harian Harian Fajar, Haluan, Sriwijaya Post, Jawa Post, Suara Merdeka, Taruna Baru dan sejenisnya selain menampilkan penyair-penyair baru, tidak jarang juga memuat karya-karya penyair ternama.
Padatnya jadwal pertemuan penyair, sastrawan atau seminar sastra yang diprakarsai Taman Budaya, komunitas-komunitas sastra, perguruan tinggi maupun kantong-kantong sastra yang tersebar diberbagai daerah terus memenuhi informasi-informasi yang memenuhi rubrik-rubrik budaya di surat kabar.
Ditambah lagi oleh gerakan sastra arus bawah yang digerakkan Sosiawan Leak, Wijang Warek Al Mauti, Kuspriyanto Namma, Triyanto Triwikromo dan Beno Siang Pamungkas dengan Revitalisasi Sastra Pedalaman-nya. Maka lengkaplah sudah gerakan sastra tanah air ini, sebab di manapun dan kapanpun ketika aku mampir di satu wilayah Indonesia, ketika bertemu dengan satu komunitas sastra, aku tidak hanya bisa mendapatkan banyak wawasan, tapi juga bisa makan tanpa mengeluarkan uang, bisa numpang tidur dan bahkan bisa melanjutkan perjalanan lagi beberapa waktu ke depannya.
Selain ramainya pertemuan-pertemuan sastra diikuti tingginya berita-berita serta informasi dan polemik sastra di berbagai media cetak. Dari berbagai daerah tanah air ini juga berlahiran media-media sastra berupa buku stensilan, liplet dan lain-lain. Yang diprakarsai para penggerak sastra di daerah seperti, Forum Sastra Bengkulu (FSB), Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (Jambi), FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya), Paguyuban Studi Sastra Ketintang, Forum Masyarakat Sastra Indramayu (Formasi), Himpunan Penulis Pengarang & Penyair Nusantara (HP3N) Kreatif Batu, Sanggar Minum Kopi Bali, Yayasan Taraju Padang, Komunitas Sastra Banyumas, Bengkel Seni Purworejo, Yayasan Gunungan Magelang, Studio Seni Indonesia Medan, Forum Penyair Mojokerto, Sanggar Candi Margarana, Yayasan Dewi Saraswati Mataram daan lain-lain.
Lalu nama-nama penyair yang sudah tidak asing, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Yatman, Agus Noor, D Zawawi Imron, KH. Mustofa Bisri, Gunawan Muhammad, Leon Agusta, Korrie Layun Rampan, Abdul Hadi WM, Taufik Ismail, Mursal Esten, Putu Wijaya, Acep Zam-Zam Noor, Radar Panca Dahana, Nirwan Dewanto, Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Diah Hadaning, Ahmad Nurullah, Ajamudin Tifani, Ahmad Tohari, Mathori A Elwa, Aming Aminudin, Nanang R Supriyatin, Dasri Al Mubary, Syarifudin Arifin, Iwan Nurdaya Jafar, Fahrunnas MA Jabar, Isbedy Stiawan ZS, dan banyak lagi yang lainnya selalu kebagian order undangan. Kalau tidak sebagai nara sumber mereka diundang sebagai pembaca puisi dan cerpen.
Sedangkan aku sebagai penyair yang hidup liar di jalan tidak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan pertemuan para penyair dan satrawan yang aku ketahui informasinya. Dimanapun dan kapanpun aku kejar moment-moment tersebut.
Untuk sampai ke wilayah pusat kegiatan sastra ini aku harus ngamen puisi di bis-bis antar kota, di gerbong-gerbong kereta api, di sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi dan diberbagai tempat lainnya.
Dari setiap pertemuan penyair dan para sastrawan ini aku mencatat banyak apa yang mereka bicarakan. Tapi sebagai penyair yang tidak dihitung aku juga harus memperhitungkan diriku. Sehingga dari setiap pertemuan aku bisa menjadi lebih kaya, karena bisa belajar banyak dari diskusi-diskusi serta gagasan yang mereka lontarkan. Dari mulai persoalan Pusat dan Daerah sebagai wilayah kreatif yang sejak dulu menjadi masalah dikalangan para penyairnya, tapi bagiku TIDAK ADA PENGARUHNYA. Juga perssoalan sastra masuk sekolah yang kemudian sebagian besar perdebatannya menguap dan tidak jarang selesai diperdebatan saja.
Sehingga aku berkesimpulan kalau keberadaan para sastrawan dan penyair di negeri ini pada tataran melontarkan, merancang dan memprogramkan ide-idenya kadang kalah langkah dengan para koruptor yang selalu punya cara baru untuk menggasak uang negara.
Peran logika dan imajinasi yang digunakan para koruptor sepertinya jauh lebih dahsyat. Bayangkan saja ketika siang harinya dilakukan launching, grand opening atau peletakan batu pertama mega proyek dengan menyebutkan penggunaan anggaran dari uang negara. Malam harinya mereka sudah berimajinasi merancang strategi untuk menghisap sebagian dari anggaran-anggaran tersebut.
Artinya peran imajinasi di sini tidak hanya ada di wilayah puisi, tapi juga ada di wilayah lain yang gerakannya lebih dahsyat dan strategis.
Sastra dan Jalan Hidup
Sementara aku tidak mau kalah dengan kerja imajinasi para koruptor itu, setiap hari aku selalu merancang jalan untuk dapat bertahan hidup melalui puisi. Selain membacakan puisi di tempat-tempat umum, sejak tahun 1989 aku sudah keluar masuk sekolah SMP dan SMA untuk baca puisi dan apresiasi. Lalu mengumpulkan karya-karya siswa untuk kemudian diapresiasi di media cetak yang kemudian diterbitkan dalam bentuk antologi yang hasil akhirnya aku jual lagi ke sekolah-sekolah itu.
Di sisi lain aku lebih sering jadi penonton dan pendengar disetiap seminar, diskusi, saresehan dan dialog sastra yang membicarakan soal sastra dan pendidikan.
Keberadaanku sebagai penyair yang tidak masuk hitungan ditambah kurangnya peran akademik dalam pengembangan gagasan membuatku seringkali sulit mengimbangi kenyataan ini. Akhirnya aku tetap berjalan sendiri dengan terus berjibaku pada satu ide selain memang harus membawa sastra ke sekolah untuk membantu dunia pendidikan tentang pentingnya sastra juga sebagai upaya untuk bertahan hidup.
Parahnya lagi aku seringkali diejek, dihina dan direndahkan kawan-kawan penyair atas apa yang aku lakukan selama ini (ngamen puisi dan apresiasi di sekolah-sekolah). Aku lebih diidentikan sebagai penyair murahan, gila dan rendah. Tapi aku tidak mau terpancing oleh sikap dan cara berpikir mereka yang cupet dan dangkal itu.
Sampai hari ini aku masih eksis memberikan kegiatan apresiasi sastra dengan menghidupkan kegiatan membaca buku serta penulisan kreatif dengan stempel institut pendidikan hidup. Dalam hal ini aku hanya merasa punya tanggung jawab moral terhadap anak-anak sebagai generasi bangsa agar mereka mau berfikir positif, kreatif dan inovatif.
Mereka tidak perlu diajarkan menulis puisi karena mereka sudah tahu puisi walaupun secara teoritik mereka tidak memahaminya namun secara naluriah mereka mengerti. Dan mereka juga tahu kata-kata puitik yang enak dibaca dan didengar walaupun mereka tidak mengerti sepenuhnya nilai-nilai estetik.
Lalu mereka juga mengerti pentingnya membaca, tinggal bagaimana menggiring mereka untuk kemudian meningkatkan nilai bacaannya.
Sampai sekarang ketika keluar masuk sekolah, aku belum pernah mendengar ada siswa bertanya soal puisi, apalagi soal keberadaan para sastrawannya, kalau tidak dipancing atau diingatkan pada erea untu bertanya.
Jadi bagiku sangat lucu dengan program Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab itu. Bagaimana mereka mau bertanya soal puisi diantara kesibukan dan konsentrasi mereka untuk menyelesaikan mata pelajaran yang begitu banyak. Selain rendahnya pembelajaran sastra di sekolah. Sementara para pengelola dunia pendidikan di sini hanya membutuhkan buku. Sebab dengan tingginya pemasokan buku-buku ke sekolah makin tinggi juga pendapatan para pengelola sekolah tersebut.
Karena sebagai orang paling lama keluar masuk sekolah membacakan puisi dan menyelenggarakan pelajaran apresiasi puisi. Banyak informasi yang kuterima dari para guru bahasa Indonesia, selain minimnya pelajaran sastra yang dijadikan satu dengan pelajaran Bahasa ndonesia membuat siswa kurang begitu banyak menguasai perkembangan sastra di Indonesia. Selain itu pihak sekolah hanya ikut menyemarakkan anjuran pemerintah untuk membeli buku-buku sastra yang melibatkan pihak ketiga.
Ketika berkali-kali aku menyebutkan nama-nama penyair atau sastrawan yang berkeseliweran saat ini, tidak satupun dari mereka yang tahu. Kecuali Chairil Anwar, Amir Hamzah, Hamka, Taufik Ismail dan WS Rendra.
Persoalannya selain minimnya pelajaran sastra, buku-buku yang dibeli oleh pihak sekolah juga hanya jadi pajangan di lemari-lemari perpustakaan. Ditambah lagi dengan kesibukan dan konsentrasi siswa untuk menyelesaikan mata pelajaran yang begitu banyak. Bagaimana mereka mau tau puisi, selain Chairil Anwar, seperti diajarkan guru Bahasa Indonesia yang juga guru sastra di dalamnya saat masih SD.
Sedangkan puisi terus berlahiran dari para penyair, harapannya puisi-puisi yang sudah terpublisir di media cetak lalu diterbitkan dalam bentuk buku itu paling tidak sudah ada pembacanya. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Buku-buku sastra disini hanya dikejar orang-orang tertentu.
Jadi untuk terus memancing perhatian dunia pendidikan (khususnya para siswa), sebagian dari tulisan kritik puisi yang aku kerjakan lebih banyak menulis karya-karya pelajar yang mau menulis puisi, penyair-penyair pinggiran yang jarang sekali tersentuh, sementara pergulatan mereka terhadap sastra sangat luar biasa. Bahkan diantaranya ada yang memilih jalan hidup sebagai penulis puisi. Dan umumnya mereka cukup dikenal di duna pendidikan daerah tempat tinggal mereka.
Walaupun sampai umurnya bertambah banyak namun keberadaannya tetap sebagai penulis puisi yang tidak masuk sebagai salah seorang warga sastra di Indonesia. Tapi paling menarik dari jalan yang mereka pilih, dunia imajinasi itu mampu memberikan jalan penghidupan mereka. Walaupun mereka nyambi sebagai pengrajin tas, pembuat tempe, gantungan kunci, paranormal, perbengkelan, berdagang dan lain-lain tapi mereka tetap eksis menulis puisi. Artinya peran imajinasi dan estetika disini mampu menggerakkan pikiran mereka di bidang lain untuk menumbuhkan nilai-nilai ekonomi guna menyelamatkan keluarganya.
Beberapa waktu lalu ketika sampai di Perkebunan Murbei, daerah Wajo – Sulawesi Selatan, Jum’at 4 Juni 1993 aku sempat bertemu seorang pekerja bernama Mashuri, di salah satu industri sutra rumahan. Pada saat makan siang itu kami berkenalan, selanjutnya pembicaraan kami tembus sampai ke wilayah sastra. Awalnya aku tidak percaya kalau Mashuri mengenal banyak soal karya-karya sastra seperti puisi, cerpen dan novel, bahkan termasuk nama-nama pengarangnya.
Ternyata Mashuri teman baruku ini punya hobby membaca, dan dia cerita banyak soal perjalanan sastra di Sulawesi Selatan melalui surat kabar. Dia cerita soal Sinansari Ecip, Udhin Palisuri, Badrudin Amir dan Ramli Asia Prapanca.
Tapi temanku ini lebih mengagumi Udhin Palisuri, selain sangat produktif (puisi-puisinya) tidak pernah dia temukan di surat-surat kabar. Namun gaung namanya jauh lebih hebat dari penyair-penyair lain, ceritanya padaku. Selain nama-nama penyair Mashuri juga mengikuti informasi-informasi kegiatan sastra dari berbagai daerah Indonesia melalui surat kabar. Lalu dengan kelakarnya Mashuri bertanya padaku, “mas apa bedanya kegiatan para penyair yang ada di Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman dengan Sanggar Minum Kopi Bali?” Aku tahu arah pertanyaannya yang guyon itu, lalu kamipun ngakak bareng.
Sebagai bagian dari proses kreatif aku masih konsen membaca puisi dijalanan, di kantor-kantor, dan di dunia pendidikan khususnya sambil memberikan kegiatan apresiasi. Yang kesemuanya itu bagiku sebagai ruang belajar agar tetap menulis dan bisa bertahan hidup.
Soal dunia pendidikan kita kurang begitu berminat terhadap kegiatan sastra di sekolahnya, selain karena aktifitas ini tidak masuk dalam program yang mendatangkan efek prestise, juga tidak mendatangkan keuntungan dalam bentuk finansial bagi pihak sekolah.
Mereka “tidak butuh sastra” tapi aku butuh para siswa yang sedang belajar, karena aku punya kemampuan, pengalaman dan pengetahuan untuk menggugah pikiran, imajinasi dan kreativitas mereka, setelah itu baru aku menerima hasilnya. Uang.
Jambi, Jogjakarta 1993 – 2022
Tulisan ini adalah pengantar buku Kumpulan
Kriti Puisi. Puisi dan Kalan Hidup