Oleh 0’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah/PKSPD, Accountant Freelance, tinggal di Singajaraja. Kontak: 081931164563. Email: jurnalepkspd@gmail.com)
Siapa bilang Bupati dan atau pejabat publik tidak boleh dicaci maki? Boleh saja, jika kebijakannya tidak becus, tidak becus dalam pemerintahannya.
Mengapa, karena bupati itu untuk mengurus tata kelola pemerinrahan supaya waras. Bupati itu mulai dari ngorok, ngigau, batuk beol, tertawa, sakit tidur, makan minum, bangun dan tidur lagi, semua itu harus ditanggung rakyat biayanya. Wara wiri yang milyaran pun harus rakyat yang menanggungnya. Lantas tidak becus, masa iya tidak boleh dicaci maki, masa tidak boleh didungu-dungukan karena tidak mau berubah alias Karwek.
Jika Bupati tidak mampu introspeksi atau tidak punya kemampuan untuk otokritik terhadap dirinya, termasuk para bawahan, dalam hal ini para Kepala SKPD dalam pemerintahannya, bahwa kebijakannya tidak becus dan atau melanggar regulasi, tinggal dengarkan saja kritikus bicara, karena itu.lho kebijakan yang bobroknya harus diperbaiki, jangan terus dipelihara.
Jika tidak mau dikritik dan atau tidak mau dimaki-maki, bagaimana mungkin jika itu tidak becus. Kedaulatan Bupati itu berada di tangan rakyat (yang waras) bukan berada di tangan para penghamba kekuasaan, rakyat pecundang dan atau rakyat oportunistik. Begitu bukan kedaulatannya di tangan politisi oportunistik.
Kedaulatan rakyat itu, memberikan kepercayaan kepada Bupati untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan rakyat, memajukan daerah, sehingga rakyat memberikan kepercayaan kepada Bupati untuk mengelola dan atau menggunakan anggaran, APBD 3,5 triyun lebih setahunnya dan diberikan kepercayaan untuk mengambil kebijakan strategis yang berdampak luas untuk kepentingan rakyatnya.
Dengan pemberian amanat dan kepercayaan besar itu lantas tidak amanah dan atau disalahgunakan dan atau seenaknya saja dalam mengambil kebijakan publik, bahkan terus menerus menabrak peraturan perundang-undangan, lantas tidak bisa kita ingatkan, karwek, maka yang pantas sebagai konsekuensi dari sebuah resiko ya harus dicaci maki oleh rakyatnya.
Diksi dengan kesantunan sudah bebal dan dableg atas kemuakan dan kejijikan itu, lebih-lebih suka mengedepankan kearogansian dan keangkuhan kekuasaan, tak ada lagi kata-kata yang tepat untuk bisa mengorek pendengarannya, kecuali dengan kata yang sangat ekstrim atau tidak beradab.
Soal diksi apakah beradab atau tidak masih bisa kita perdebatkan dengan logika dan akal waras, dengan membuka tafsir leksikal dan tafsir di balik teks itu sendiri. Jika bupati tetap maunya karwek (seenaknya sendiri), ya silakan, dengan resiko dicaci maki dan didungu-dungukan, karena kepala dan dengkulnya teramat jauh letaknya. Bukan dungu orangnya, tapi dungu kebijakannya, nalar dan logika dan akal warasnya.
Tuhan memberikan anugerah akal budi, tapi kok tidak mau dipakai, kata Rocky Gerung hanya dipakai 14% saja pemberian Tuhan itu. Ya jadi sesat, ngawur dan blangsak pada akhirnya. Itu soalnya.
Carkaya, ya bagusnya jika sudah tertutup untuk kata berdamai, jika Carkaya berangkat dari kritik dengan menggunakan metafora-metafora atau personifikasi-personifikasi apalagi itu satire yang dipakai dari sebuah tafsir novel, sastra alegori atau novel alegori politik.
Tinggal menguji kebenaran hukum dan integritas APH, terutama Majelis Hakim, tapi tidak bisa juga kebenaran tafsirnya dan atau dimaknainya oleh APH yang keawamannya atas teks sastra dan atau muatan yang terkandung dalam sastra. Jadi tidak bisa ansich dimaknai dengan pasal-pasal pidana apalagi ITE.
Jika begitu, para penyair, novelis, dramawan atau teaterawan dan atau sastrawan, semua harus masuk dan atau harus dipenjarakan, karena begitu gampang bisa menjadi delik pidana dikarenakan APH awam terhadap sastra, hanya menggunakan tafsir dan.makna dinetatif tok, termasuk tafsir ahli bahasa yang jika dipakai APH.
Restroactive justice itu persoalan kedua, setelah debatible tafsir bisa dimaknai secara obyektif, yang mengandung suara Tuhan, bukan subyektif denotatif yang berkutat pada HUHAP dan delik yang didelikan dalam KUHP dan ITE.
Jika seperti Itu, negara kacau dan ngawur namanya, padahal sastra berkontribusi besar pada peradaban umat manusia, peradaban berpikir dengan logika dan akal waras. Sastra membangun peradaban dengan akal budi, itu jika kita ngomong dengan postulat-postulat filsafat, teologi dan ilmu pengetahuan, bukan kekuasaan tafsirnya. Maka dalam hal kasus Carkaya, lebih setuju dengan tanpa mediasi berdamai, karena itu tafsir kritik.
Kritikus tidak punya kewajiban memberikan solusi terhadap masalah yang dikritik atau kekuasaan yang dikritik. Kritikus berbeda dengan pengamat. Kritikus hanya berkewajiban membicarakan, memperbincangkan hal-hal yang bobrok, yang rusak, yang dianggap tidak waras secara logika dan akal waras terhadap kebijakan sang rezim penguasa.
Jika pengamat, berkewajiban.membicarakan atau memperbincangkan tentang kelemahan dan kelebihan atas kebijakan rezim penguasa. Itu harus dilihat secara obyektif. Apakah kelemahan atau celah kebijakannya sudah berimbang atau jomplang.
Jadi kritikus bicara soal kebobrokan dan atau hal yang bolong dalam kekuasaan, dengan harapan kekuasaan bisa memperbaiki kebobrokannya, bukan kemudian mempidanakannya atas nama pencemaran nama baik dan atau ujaran kebencian dan seterusnya.
Tafsir kebencian itu versi yang kebobrokan kekuasaannya dibongkar atau dikritik.Tafsir kebencian itu atas kritik sosial yang pedas itu merupakan karakter Petruk Menjadi Raja.
Jadi pejabat publik, harus siap dicaci maki dan didungu-dungukan karena kebijakan yang tidak waras. Sekalipun.kebijakannya sudah waras tapi tidak berdasarkan hal strategis yang berbasis skala prioritas dan tidak berbasis data akademik, itu pun masih patut untuk dicaci maki dan didungu-dungukan, karena logika dan akal waras tidak runut metodologis, sekalipun itu tidak menabrak regulasi apalagi yang jelas-jelas itu melanggar peraturan perundang-undangan, karena nanti arah pemerintahannya tak akan jelas juntrungannya atas penggunanaan APBD dalam otoritas kekuasaannya.
Carkaya jika yakin kritiknya berangkat dari kebenaran dan sebagai tanggung jawab moralitasnya, termasuk lawyernya, tak perlu merengek-rengek minta dimediasi atau berdamai. Ini juga yang menjadi penyakit, teman-temannya berupaya melakukan bagaimana media bisa diupayakan berjalan lantas kasusnya berhenti atau Bupati mencabut laporannya.
Biarkan saja itu urusan Bupati. Jika jadi Bupati hobinya mempolisikan kritik, maka itu menjadi penting catatan sejarah, bahwa itu watak, tabiat, karakter, mentalitas penguasa, sama sekali bukan karakter pemimpin.
Masa iya publik atau masyarakat masih mau meminta untuk melanjutkan kepemimpinannya?
Jika itu yg terjadi nanti, namanya wong Indramayu sudah tak waras lagi mentalitasnya. Cukup sampai di sini saja.
Itu namanya apa yang disebut dengan “Jangan Lupakan Jas Merah.” Itu jika mau waras takdir sosial Indramayu ke depannya.
Bagaimana, dan bukan itu maksudnys, jika kasus itu tidak di SP3 dengan obyektif, publik akan tetap berpandangan bahwa hukum bisa dimainkan dan dikendalikan oleh kekuasaan, bukan dikendalikan oleh kebenaran akal budi, dan bukan kebenaran hukum yang sesungguhnya.
Yang jauh lebih sangat berbahaya, jika Aparatus (Alat) Negara bisa dan atau mau “Menjadi Alat Kekuasaan.”
Negara dan bangsa menjadi Rusak Berat Menuju Jurang Kehancuran berbangsa dan bernegara. Itu soalnya.***