Indramayu, 18 Maret 2019
Kepada yth.
Redaksi Suara Merdeka
Dengan hormat.
Dengan ini saya kirim dua artikel: 1) Jika Agama Menjadi Candu (Studi Kasus Ulama Dalam Kontestasi Politik) . 2) Supersemar (Masih Haruskah Dipertanyakan?)
Atas jawaban dimuat tidaknya, saya mengucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Ttd
O’ushj.dialambaqa
Email; jurnalepkspd@gmail.com.
Biodata Penyair (Penulis):
O’ushj.dialambaqa, lahir di Singaraja, 11 Maret 1963. Latar belakang akademik: Sarjana Akuntansi. Pendidikan Non formal: Perpajakan I, II dan III. Akuntansi Manajemen I, II dan III. Pernah mengambil Program Studi Manajemen. Rek. Bank BNI 1946 No.: 0488057019-IDR a/n. Ulumuddin alias O’ushj.dialambaqa.
Pengalaman Kerja: Pernah di Kantor Akuntan Publik Jkt, Pernah dibeberapa Perusahaan Industri (Garment & Tekstil, Cosmetic & Chemical, Karpet, Pupuk Organik) Ikspor-Impor di Jakarta, Batam, Bandung dan Cirebon sebagai Chief Accountant. Dosen (Tamu) untuk mata kuliah: Akuntansi, Sastra, Filsafat, Pancasila, Profesi dan Kompetensi. Redaktur Media Massa. Penanggungjawab/Pemred Koran JURNAL PKSPD.Com.
Tulisannya berupa:
Sajak (Puisi), Cerpen, Artikel, Esei, Resensi Buku (Perbincangan Buku), Analisis Pemberitaan dll, dimuat dibeberapa media massa, antara lain: Majalah Sastra Horison, Wereldomroep Nederland, BBC London, Republika, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Muhammadiyah Yogya, Bernas Jogya, Kedaulatan Rakyat Jogya, Suara Karya, Merdeka, Jogja Post, Bandung Pos, Surabaya Pos, Jawa Pos, Bali Pos, Sriwijaya Pos, Pikiran Rakyat, Anita, Simponi, PR Cirebon, Media Karya, Panji Masyarakat, Putri Indonesia, Pelita, Eksodus, Radar Batam, Grage Pos Crb, Himapbu, Versus, Jurnal Lingkaran – Komunitas Sastra Tangerang, Dialog, Medikom, Pelita Indonesia, Fajar Cirebon, Koran KP, Cakra Buana, Media Craka Bangsa, Surat Kabar Umum DEMOKRATIS, Koran JURNAL PKSPD.Com, Redaksi Kontroversial Trans7 (nara sumber), Metro Realitas Metrotv (nara sumber), dll.
Bukunya:
- Bentangan Airmata, Dzikir & Wirid (Sajak)
- Indonesiaku (Sajak Tunggal)
- Dunia Kabut (Sajak)
- Omong Kosong (Sajak)
- Puisi Rakyat Merdeka (Antologi Puisi Bersama), terbitan Radio Nederland Wereldmroep, Belanda, 2003.
- Kursiana (Naskah Drama)
- Negeri Para koruptor (Sajak)
- Melawan bayang-Bayang (kumpulan Artikel, Esei dan Makalah)
- Kesaksian Seorang Jurnalis (Ambruknya Negeri Ini)
- Air Mata Negeeri Ini (Dari Kaca Mata Narasumber
- Buku Yang Bicara (Kumpulan Resensi Buku)
- Korupsi Itu Sebuah Idiologi (Kumpulan Artikel, Esei dan Makalah)
- Kehendak (Hasrat) Berkuasa (Masih kerangka pokok-pokok materi)
- Karl Max Sang Pengigau (Masih kerangka pokok-pokok materi)
- Indramayu Eksodus Dari Negeri Dongeng (Diterbitan Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah/ PKSPD, 2000)
- Indramayu Eksodus dari Negeri Dongeng; Dari Absurditas Utopian Menjadi Keharusan Realitas Sejarah Yang Mensejarah (Diterbitkan Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah /PKSPD, 2000).
- Sistem Akuntansi Perusahaan Industri (Panduan Teknis Bagi Praktisi)
- Mental Matematika Sempoa, Level 1 s/d 10 (Abacus Mental Mathematics) – dikerjakan bersama Ermapriyani, Penerbit YBP Education & Training Center, 2002-2003. Pertama di Indonesia [dunia], yang menghasilkan nilai minus.
Indramayu, 11 Maret 2018
Ttd
O’ushj.dialambaqa
Jika Agama Menjadi Candu
(Studi Kasus Ulama Dalam Kontestasi Politik)
Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Apakah agama menjadi masalah? Respon terhadap pertanyaan itu datang dari berbagai arah, dari masyarakat religius dan nonreligius sekaligus. Sangat bergantung pada bagaimana orang itu memahami agama. Kemungkinan bahwa semangat keagamaan akan menghasut atau akan menjadi katalis kehancuran yang tak terperi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Sejarah menunjukkan bahwa sejumlah pemimpin atau komunitas yang dimotivasi oleh semangat keagamaan dapat, dan bahkan ingin, melakukan tindak kekerasan dan teror atas nama Tuhan atau keyakinan mereka (Charles Kimball: When Riligion Becomes Evil. Terj. Nurhadi).
Konteks Chales Kimball tersebut berada dalam arena (gesekan, konflik sosial atau apapun namanya) kehidupan umat beragama dalam pratek keberagamaan atas eksistensi pluralisme agama dan keyakinan secara luas. Akan tetapi, konteks itu bisa juga kita tarik ke dalam ruang yang lebih sempit, yaitu atas meng-adanya realitas keberagamaan dalam wajah satu agama, yang disadari atau tidak, menjadi riuh gemuruh dan gegap gempita dalam arena politis; kontestasi Pilpres April 2019; Capres/Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin (petahana) dan Capres/Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Lantas apa yang menggoda para ulama larut dalam riuh gemuruh dalam kontestasi politik kekinian, saling dukung mendukung, pro dan kontra, saling umpat, saling olok-olok, saling sindir dan saling mengklaim (ke)ulama(an), bahkan terlibat langsung dalam politik (sebagai Cawapres)?
Politisi Ulama
Adanya pendikotomian ulama sesungguhnya sudah berabad-abad dalam perjalanan sejarahnya umat. Dengan adanya pendikotomian tersebut, disadari atau tidak, telah membentangkan persoalan wujud (eksistensi) ulama dengan maujud (yang bereksistensi) ulama.
Adanya fakta yang tak bisa terbantahkan oleh kita, yaitu adanya klaim, seperti Ulama Zumhur dan Ulama Syu, Ulama Salaf (yang berarti ada ulama yang bukan Salaf), Ulama Besar (yang berarti ada Ulama Kecil), dan mungkin akan sebutan lainnya yang kemudian akan menjadi klaim komunitas sebagai sebuah identitas (politik identitas; aliraan). Fakta tersebut mununjukkan adanya pendikotomian terhadap pemaknaan ulama. Hal ini baru pada persoalan eksistenssi (wujud) ulama, belum sampai pada persoalan yang bereksistensi (maujud) ulama.
Pendikotomian tersebut merupakan politisasi terhadap eksistenssi ulama.begitu juga adanya klaim komunitas terhadap (ke)ulama(an) merupakan fakta meng-adanya politik identitas tak bisa dipungkiri. Pendikotomian maupun politik identitas atas (ke)ulama(an) sejatinya merupakan politisasi. Karena, ulama ya ulama. Yang syu, ya berarti bukan ulama. Begitu juga kata zumhur yang dilekatkan pada kata ulama tidak merelasikan apa yang dimaksudkan dengan maujud (yang bereksistensi) ulama. Sehingga, untuk menjaga keterpeliharaan tersebut, pendikotomian dan politik identitas tentang (ke)ulama(an) harus didekontruksi,, jikaa tidak, akan terjadi pembusukkan, bahkan yang akan lebih mengerikan, membusukkan diri dengan proses memfermentasi (ke)ulama(an).
Eksistensi (wujud) ulama adalah ulama yang maujud (yang bereksistensi) ke-ulama-an, yaitu shiddiq (berkata benar), amanah ( terpercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran) dan fathanah (cerdas), karena ulama merupakan waratsatul anbiya (ahli waris nabi), yang berarti keempat sifat Rasulullah (Muhammad SAW) harus melekat dan tak terpisahkan dalam wujud ulama mupun dalam kemaujudan (ke)ulama(an) sepanjang nafas dikandung badannya. Jika kemudian berlepasan antara wujud dan maujud (ke)ulama(an)nya dalam keempat karakter tersebut, maka, baik wujud maupun maujud, berarti telah lepas dari apa yang kita masudkan dan maknakan pada yang namanya ulama, baik dari sebuah hakikinya maupun dari keluhuran nilainya.
Kata Ulama berasal dari bahasa Arab (‘ulama’), bentuk jamak dari ‘alim, artinya orang yang memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam atau dengan kata lain, orang yang memiliki ilmu yang berkualitas dalam berbagai bidang (Gibb dan Kramers, 1961: 599). Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1996: 25), kata “ulama” sebagai bentuk jamak dari kata ‘alim, yang berarti orang yang berilmu.
Al-Ghazali (dalam al-Zuhaili) menjelaskan yang namanya ulama itu harus: (1) Menguasai tujuan syari’at serta mampu menangkap arah maksud syari’at dengan mengerahkan kemampuan nalarnya dan dapat men-taqdim-kan atau men-ta’khir-kan sesuatu menurut seharusnya. (2) Bersifat adil dan jauh dari prilaku maksiat; sebab orang yang maksiat fatwanya tidak dapat dipegang.
Prilaku maksiat atau kemaksiatan dalam pengertian yang lebih luas berarti bukan hanya prillaku berjudi, melacur, mabuk-mabukan, madat saja, tetapi juga dalam pengertiaan prilaku yang keluar dari ke-shiddiq-kannya, ke-amanah-annya, ke-tabligh-annnya dan ke-fathanah-annya; seperti pelacuran intelektual atau melacurkan atau menukarkan keilmuannya.
QS. Al-A’raf: 175-176: Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang Telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga), demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
QS. Ali Imran: 187: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang Telah diberi Kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu [al. tentang kedatangan Nabi Muhammad SAW] ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.
Kata ulama terdapat dalam QS Al-Syu‘ara’: 197: Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulma Bani Israil mengetahuinya? QS. Fathir, 28: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam–macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha pengampun.
Kontestasi Ulama
Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama pun sudah berabad-abad dalam sejarah umat. Hal ini terjadi, karena adanya pendikotomian dan pempolitisasian yang melahirkan adanya klaim-klaim terhadap wujud dan maujud (ke)ulama(an) seperti tersebut di muka.
Kita (saya sendiri) tidak sependapat dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, sehingga umat dihadapan pada persoalan chois untuk mengikuti pendapat ulama mana yang cocok sebagai pilihannya. Ketidaksependapataan dengan adanya perbedaan pendapat (bersilangan bahkan bertolak-belakang) para ulama dalam sesuatu hal atau perkara, yaitu mengenai kebenaran hukum dan hukum atas kebenaran itu sendiri. Karena, jika ada sebagian ulama yang mengatakan haram, bathil (dilarang) dan kemudian ada sebagian pendapat ulama lainnya itu halal, hak (diperbolehkan), maka, kemungkinannya, pertama, bisa saja kedua pendapat yang berbeda tersebut sama-sama salah atau tidak ada yang benar, dan kemungkinan yang kedua, ada salah satu di antaranya yang benar pendapatnya. Tetapi, bukan berarti, jika para (yang mengklaim dirinya) ulama itu kemudian sepakat pendapatnya dalam memutuskan sesuatu perkara karena adanya konsensus kepentingan politis, maka bisa jadi juga keduanya tidak ada yang benar.
Perbedaan pendapat soal kebenaran hukum dan hukum kebenaran itu sendiri mengandung konsekuensi yang berimplikasi pada surga atau neraka bagi kita. Artinya, ada persoalan sesat dan kesesatan, dan ada persoalan yang sirathol mustaqim, terhindar dari kesesatan yang menyesatkan.
Bagi kita (saya) memang aneh dan kadang menjadi lucu, sekaligus menggelikan, ketika ada klaim (mendaulat) dirinya atau komunitasnya sebagai ulama apalagi mengatakan ulama besar atau ulama zumhur, padahal mereka sudah berada dalam arena politik, larut dan terlibat dalam kontestasi politik. Secara konstitusional, tidak ada larangan para ulama dalam kontestasi politik, tetapi, wujud (eksistensi) ulama dan maujud (yang bereksistensi) ulama menjadi sederetan panjang pertanyaan yang direlasikan dengan klaim kaum (golongan) atau dirinya sebagai ulama, berbaju ulama. Jika saja tidak memakai baju ulama atau simbol-simbol (ke)ulama(an), maka tidak akan menjadi sederetan panjang pertanyaan, karena itu hak konsitusional.
Persoalannya adalah, apakah politik di negeri ini, mulai dari proses, dari partai politik itu sendiri sampai dengan proses kompetisi untuk sampai pada kontestasi politik menjadi Capres/Cawapres, kemudian masuk pada arena sosialisasi, kampanye, debat Capres/Cawapres dan sampai dengan proses pemilihan suara masih berada dalam lingkaran ke-shiddiq-kan, ke-amanah-an dan ke-tabligh-an? Tentu, bagi kita akan mengatakan api jauh dari panggang. Fakta dan realitas tak bisa terbantahkan, bahwa proses politik di negeri ini dari Pemilu ke Pemilu atau dari Pilpres ke Pilpres adalah tidak shidiq dan apalagi amanah.
Proses politik untuk mendapatkkan dukungan atau perolehan suara,, baik Pileg (Pemilihan Legislatif) maupun Pilpres (Pemilihan Presiden) semua menggunakan money politics. Keterlibatan politik uang tersebut bisa langsung maupun tidak langsung. Yang dikatakan langsung adalah keterlibatan langsung dari yang bersangkutan secara pribadi baik yang tertutup (rahsia, sembunyi-sembunyi, yang tersamarkan) maupun yang terbuka (terang-terangan, blak-blakan) dalam berbagai model dan bentuknya. Keterlibatan secara tidak langsung adalah dengan menggunakan mekanisme jaringan, baik secara individual maupun kolektif melalui berbagai mekanisme yang dimobilsasi tim pemenangan baik melalui mesin partai mupun di luar mesin partai, baik relawan yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur.
Dalam menyasar dukungan atau perolehan suara yang diharapkan, adalah dengan cara mengumbar janji, slogan, retorika dan permainan diksi, baik dalam kampanye, debat maupun spanduk atau baligho, dan bahkan saling serang, saling sindir, saling olok-olok, saling tuding, saling klaim, saling hoak dan black campaign (kampanye hitam), baik yang tersamar, tersembunyi (tersirat) maupun yang dalam ruang terbuka, sehingga, apakah semua itu masih bisa kita katakan itu sebagai wujud dan maujud ulama, di mana kedua kutub itu mengklaim di dalamnya ada banyak ulama, bahkan didukung oleh ulama zumhur dan ulama besar?
Kontestasi ulama dalam politik, jika faktanya seperti tersebut, maka itu sudah menjadi politisasi ulama, politik menjadi instrumen kekuasaan untuk merebut singgasana kekuasan. Oleh karenanya, politisasai ulama hanya akan melahirkan pembusukkan melalui pefermentasian (ke)ulama(an), sehingga agama menjadi candu, kemudian kita tanpa beban mengatasnamakan agama dan atau Tuhan. Agama keluar dari kesuciannya dan atau kehilangaan keluhuran nilainya.
Jika agama menjadi candu, maka tesis Chales Kimball dengan pertanyaannya: apakah agama menjadi masalah? Tentu, jawabannya adalah “Ya”, sekalipun, semangat keagamaan (baca: aliran) itu belum menjadi katalis kehancuran yang tak terperi, tetapi semangat keagamaan itu sempat menng-ada yaitu menghasut, karena adanya fakta black campaign, hoak dan saling mengklaim ke-ulama-an (ulama zumhur, ulama besar, dan banyak-banyakan ulama) yang diproduksi baik langsungg maupun tak langsung, baik disadari maupun tidak dalam kesadaran itu sendiri, karena kehendak (hasrat) kekuasaan.
Oleh sebab itu, untuk mengembalikan wujud ulama dalam (ke)maujud(an) ulamanya, maka harus melepaskan baju wujudnya, sehingga kemaujudannya tidak membusuk. Tetapi, jika kita tetap memakai wujud ulama, maka itu berarti kita tengah melakukan pembusukan terhadap kemaujudan ulama. Maka, tesis Chrles Kimball tak bisa terbantahkan lagi adanya, bahwa agama menjadi masalah, karena sangat bergantung pada bagimana kita memahami agama.
Pefermentasian wujud ulama mupun maujud ulama pada titik tertentu yang mengakibatkan agama menjadi candu akan menjadi pembenaran, bahwa semangat keagamaan akan menghasut atau akan menjadi katalis kehancuran yang tak terperi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Sejarah menunjukkan bahwa sejumlah pemimpin atau komunitas yang dimotivasi oleh semangat keagamaan dapat, dan bahkan ingin, melakukan tindak kekerasan dan teror atas nama Tuhan atau keyakinan mereka. Hal demikian bisa terjadi baik pada skala kecil mapun besar, sangat bergantung pada arena ruang dan waktu. Inipun telah meng-ada.
Jika agama menjadi candu, maka kita dengan merasa tidak berdosa (tanpa beban bersalah) berjualan (menjual) ulama, agama bahkan Tuhan, seolah-olah apa yang kita katakan itu adalah suara Tuhan untuk membius umat, sehingga agama menjadi bendu. Padahal, sesunguhnya itu berakar dari polittik dan kekuasaan, karena kita tergoda oleh singgasana kekuasaan yang menjajikan kemegahan dan kenikmatan. Maka sesungguhnya dan oleh sebab itu, wujud dan maujud ulama yang paling pondamental adalah mengawal, mengingatkan, menegur, menyampaikan dan mengatakan kebenaran, bukan menyembunyikan sesuatu kebenaran apalagi di tengah riuh gemuruh dan gegap gempita derap konstelasi politik dan kontestasi politik Pilpres, di mana kekuasan dan politik akan senantiasa menghalalkan segala cara untuk merengkuh tujuannya, yaitu singgasana kekuasaan atau untuk berkuasa. Bukan berarti ulama tidak boleh menjadi umaroh secara formal, tetapi politik di negeri ini telah memisahkkan dua kutub tersebut, mulai dari kelahiraan (pucuk) partai, proses politik hingga proses dan pelaksanaan Pemilu (Pemilihan Umum). Sebab ulama, sesungguhnya sudah menjadi umaroh secara non formal. Mengapa harus tergoda dalam bencana?
Dalam diri kita terdapat banyak hal. Ada tikus dalam diri kita, ada burung. Burung membawa sangkar ke atas, sedangkan tikus menggali ke bawah. Seratus tikus binatang buas yang berbeda berkumpul bersama dalam diri kita, tetapi mereka semua bertemu di sebuah masa ketika tikus membuang ketikusannya dan burung membuang keburungannya, dan semuanya menjadi satu. Karena tujuannya bukanlah untuk naik ke atas atau ke bawah. Ketika tujuan menunjukkan dirinya dengan jelas, ia tidak di atas ataupun di bawah. Seorang wanita kehilangan sesuatu. Dia menengok ke kanan dan kiri, di depan dan belakang. Ketika dia telah menemukan benda itu dia tidak lagi mencari ke atas dan ke bawah, kiri dan kanan, depan atau belakang. Seketika wanita itu menjadi diam dan tenang. Demikian pula, di hari kebangkitan semua orang akan memiliki satu mata, lidah, telinga dan pemahaman (Jalaluddin RUMI; Fihi Ma Fihi “Inilah Apa yang Sesungguhnya”.Terj. Prof. A.J. Arberry, Penerj. Ribut Wahyudi)***
*) Penulis adalah Penyair, Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah), mukim di Singaraja. Email: jurnalepkspd@gmail.com
Surat Perintah 11 Maret
(Masih Haruskah Dipertanyakan?)
Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 yang mengakhiri kekuasaan Soekarno, rezim Orde Lama (Orla) ke kekuasaan Soeharto, rezim Orde Baru (Orba) hingga kini masih menjadi perdebatan dan perbincangan banyak pihak dan kalangan bahkan masih terus dipertanyakan, seolah-olah tak ada ujung pangkalnya. Banyak buku yang terbit mengenai kontroversi kebenaran Supersemar. Buku putih versus buku putih, saling tuding dan saling bantah. Ada yang mengatakan, bahwa Supersemar itu aspal (asli tapi palsu) bahkaan palsu. Ada pula yang mengatakan, itu inkonstitusional. Ada juga yang bilang, itu merupakan kudeta, dan seterusnya.
Buku-buku yang bicara seputar kontroversi Supersemar itu antara lain, Supersemar Palsu: Kesaksian Tiga Jendral oleh A. Pambudi, yang berisi hasil wawancara dengan para pelaku sejarah dan para saksi pada saat peristiwa itu terjadi. Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah, Penulis Drs. Slamet Soetrisno. Kontroversi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, diterbitkan Lembaga Analisis Informasi (LAI). Saksi Dan Pelaku GESTAPU, Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, dan mungkin masih banyak buku-buku lainnya yang juga sudah diterbitkan yang terkait dengan Supersemar dan Gestapu PKI 1965, atau yang hanya selintas bicara soal Supersemar, seperti pada biografi, otobiografi atau memoar para tokoh atau Jendral yang terlibat langsung pada kondisi saat itu, dan tulisan-tulisan lepas yang belum dibukukan dan atau belum diterbitkan.
Untuk mennguji apakah benar Supersemar itu palsu, dikarenakan persoalan tanda tangan Soekarno, di mana kebiasaan tanda tangannya ada titik dan garis lurus pendek (.-). Karena adanya dua versi Supersemar yang termuat dalam buku 30 tahun Indonesia Merdeka, terbitan Setneg RI, Jilid 3, Cet. Ke-5, 1981 antara lain: Lambang kepresidenan tidak ada, baik pada A maupun B. Tetapi di tulisan Presiden Republik Indonesia, pada A ada di tengah, pada B ada di dekat lambang garuda. Ada 21 perbedaan {bisa dibaca pada buku Kontroversi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, terbitaan Lembaga Analisis Informasi (LAI)}. Karena persoalannya pengalihan kekuasaan tersebut merupakaan kudeta, sehingga secara konstitusional tidak sah; memalsukan Supersemar. Masing-masing atas versinya sendiri. Kental dengan nuansa kepentingannya masing-masing.
Akan tetapi, ada yang luput dari logika dan kecerdasan kita, karena hampir semua yang angkat bicara berkutat pada formalistik sistem ketatanegaraan ansich. Kemudiaan ada yang berkutat pada sandaran bahwa Soekarno pada saat itu dipaksa (ditodong pakai senjata) oleh tiga Jendral (Basoeki Rachmat, Amir Machmud dan M. Jusuf) untuk menyerahkan kekuasaannya melalui Supersemar kepada Soeharto. Padahal yang luput dari logika dan kecerdasan kita itulah yang bisa menjawab kebenaran itu sendiri, sehingga apakah benar Supersemar itu palsu atau memang benar-benar autentik keniscayaannya, karena ditandatangani oleh Soekarno. Artinya, tanda tangannya tidak dipalsukan.
Yang terlupakan itu adalah, jika benar apa yang dikatakan Soebandrio (Waperdam) dan disaksikan Chairul dan Leimena adalah berikut ini. Dr. Soebandrio menceritakan kembali peristiwa tersebut:
“Bagaimana, Ban? Kau setuju?” tannya Bung Karno.
Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya tidak setuju.
”Bagaimana, Ban? tanya Bung Karno lagi.
“Ya, Bagaimana. Bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami,” jawab saya.
Lantas dipotong oleh Bung Karno. “tapi kau setuju?”
“Kalau bisa perintah lisan saja,” kata saya memberanikan diri. Saya lirik tiga Jendral itu melotot ke arah saya, tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir ini. Tetapi saya tahu, mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terus tegang.
Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga mengatakan setuju. Bung Karno lantas teken. Tiga Jendral itu langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan, mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. “Maaf Pak. Karena hari sudah malam,” ujar salah seorang dari mereka. (A. Pambudi: Supersemar PALSU: Kesaksian Tiga Jendral, hal. 159, 2006)
Dari pernyataan dan penjelasan Soebandrio tersebut, maka keniscayaan adanya Supersemar itu adalah benar adanya, dan berarti kepalsuannya bisa terbantahkan, karena Supersemar itu benar ditandatangani oleh Soekarno sendiri dengan meminta persetujuan Soebandrio. Pada akhirnya Soebandrio setuju, Chairul dan Leimena juga setuju, sekalipun dalam hatinya menolak atau tidak setuju.
Argumentasi persoalan tanda tangan Soekarno yang dilihat dari kebiasaan Soekarno dalam tanda tangannya ada titik dan garis lurus pendek (.-), tidak bisa dijadikan ketidakbenaran ansich dan keabsolutismean kebenaran tanda tangan Soekarno.
Soekarno itu dalam banyak hal sangat cerdas, sehingga hanya ada dua kemungkinan untuk melakukan pembacaan atas tanda tangan tersebut, yaitu: Pertama, karena dalam kondisi yang sangat tegang dan genting, Soekarno sangat sadar betul tanda tangan itu akan menjadi legitimasi hukum ketatanegaraan, dan kemudian akan menjadi tonggak sejarah yang monumental. Maka, tanda tangan itu tidak diakhiri dengan titik dan garis lurus pendek (.-), tanda penghubung dalam tata Bahasa Indonesia. Artinya, membiarkan sejarah dalam kegelapan. Tetapi, itu bisa tetap dalam kegelapan sejarah, jika pernyataan Soebandrio, yang menyangkut juga Chairul dan Leimena terbantahkan bahwa itu bukan pernyataan dan penjelasan Soebandrio. Dan, yang kedua, adalah kemungkinan tidak dalam kesengajaan atau dalam ketidaksadarannya, karena situasi dan kondisi yang mencekam. Secara spikologis. itu memang benar-benar jika seperti itu, memang logis, mengingat situasi yang sangat tegang dan genting, sekalipun dalam beberapa buku dikatakan bahwa Soekarno tidak bisa ditekan, ditakut-takuti bahkan sekalipun diintimidasi, karena ketika nyawanya dalam kondisi bahaya oleh peluru atau bedil militer saat itu, tidak pernah gundah apalagi ketakutan. Jika memang benar dalam ketidaksadarannya karena situasi yang tegang dan genting, maka Supersemar itu benar adanya dan benar pula ditandatangani Soekarno itu sendiri. Artinya, Supersemar itu palsu tersebut terbantahkan adanya.
Dalam kondisi tertentu itu menjadi keniscayaan kelebihan Soekarno, tetapi dalam kondisi tertentu juga bisa menjadi sebaliknya, mengingat isu Dewan Jendral yang kemudian menjadi fakta dan realitasnya adalah peristiwa G 30 S/PKI yang berdarah-darah, dan kemudian kegetingan situasi dan kondisi terjadi di mana-mana, krisis kepercayaan publik makin meluas, terutama arus gerakan dari kampus dan ormas lainnya, seperti KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia), KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia) dan KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia) dengan Trituranya (Tiga Tuntutan Rakyat; Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, Perombakan Kabinet Dwikora dan Turunkan Harga Pangan) terus menggema, menuntut Soekarno mundur, lengser dari rezim kekuasaan, dan tentu ada pembonceng (penumpang gelap) lainnya dalam gerakan, dan dalam situasi genting tersebut tak bisa terhindarkan.
Oleh karena itu, jika pernyataan dan penjelasan Soebandrio tersebut tidak ada yang membantah, maka keniscayaan keaslian Supersemar tersebut benar adanya, asli bukan palsu, dalam pengertian bahwa naskah Supersemar tersebut benar-benar asli ditandatangani oleh Soekarno, disaksikan Soebandrio, Chairul dan Leimena.
Bahkan kemudian menjadi autentikasi, bahwa Supersemar itu bukan palsu, sekalipun pemahaman Soekarno pada saat itu (sebelum dan setelah diteken, ditandatangani) berbeda dengan Soeharto. Soekarno menganggap kewenangan untuk pemulihan keamanan, sedangkan Soeharto memahami sebagai pelimpahan kekuasaan, karena ada pengakuan Kolonel Latief; Saya juga bertanya: jadi siapa yang coup de’etat, menggulingkan kekuasaan? Pak Harto atau saya? Saya melapor, kok, dia tidak bereaksi. Malah, kemudian dia menerima Supersemar yang ditandatangani Bung Karno (Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, hal. 98. Penerbit Media Pressindo, 2005).
Maka, untuk mematahkan kebenaran itu, harus ada pembuktian atau bisa dibuktikan, bahwa pernyataan dan penjelasan Soebandrio perihal Soekarno meneken (menandatangani) Supersemar itu tidak benar, termasuk pernyataan Kol. Latief. Tetapi, jika tidak ada bantahan dan atau tidak bisa membuktikan ketidakbenaran pernyataan dan penjelasan Soebandrio dan Kol. Latief, maka Supersemar itu keniscayaan kebenaran dan keasliannya tak bisa terbantahkan lagi.
Gugatan sejarah menjadi gugur, yang tak bisa terbantahkan adalah tafsir kepentingan berdasarkan versi kepentingan masing-masing, di luar kepentingan kebenaran itu sendiri, tetapi, disadari atau tidak, kegelapan sejarah yang terus menerus menjadi kontroversi mengenai Supersemar, sesungguhnya telah terjawab dengan sendirinya. Mengapa? Karena, hingga kini, baik yang militansi Soekarnoisme atau tokoh-tokoh politik dari PKI (Partai Komunis Indonesia) semasa masih hidup juga tidak melakukan bantahan atas pernyataan dan penjelasan Soebandrio dan kol. Latief tersebut.
Yang terjadi pro dan kontra adalah soal tanda tangan titik dan garis lurus pendek (.-), kertas kepresidenan, Soekarno di bawah todongan senjata tiga Jendral dan Supersemar adalah inkonsitusional.
Argumentasi seperti itu tidak menjadi relevan dan menjadi patah atau gugur untuk mempertahankan perdebatan dan atau gugatan sejarah bahwa Supersemar itu palsu atau dipalsukan. Palsu atau tidaknya dalam menguji kebenaran tanda tangan Soekarno, adalah jika itu benar ditandatangi dan bahkan saat mau ditandatangani minta persetujuan Soebandrio, lantas Soebandrio tak kuasa menolak, begitu juga Chairul dan Leimena juga tak kuasa menolak, kemudian Soekarno teken, maka itu berarti jelas argumentasi untuk mematahkan gugatan sejarah atas Supersemar itu palsu menjadi gugur.
Supersemar itu inkontitusional adalah benar jika dalam kondisi normal. Tetapi persoalan inkontitusional atau konstitusionalkah menjadi tidak penting dalam kondiri genting. Karena, konstutusi akan tunnduk pada krisis kepercayaan publik (rakyat) yang meluas, sekalipun secara kontitusional itu pada titik awalnya tidak sah saat itu. Begitu juga secara Tata Negara, tetapi itu semua kemudian tunduk pada krisis kepercayaan publik, sehingga pengambilalihan kekuasaan secara paksa atau kudeta atau apapun namanya, akan menjadi konsitusional akhirnya, karena keadaan yang memaksa.
Jika Supersemar itu dikatakan kudeta kekuasaan dari Soekarno oleh Soeharto, tidak terlampau keliru juga, tetapi, bukan berarti itu benar dikatakan kudeta (bergantung dari sudut mana kita berargumentasi). Sekalipun dan karena, fakta dan realitas sejarah di dunia dan di Negara manapun kudeta (perebutan atau penggulingan kekuasaan) pastilah dilakukan oleh militer dan atau kekuatan militer. Akan tetapi, jatuhnya rezim kekuasaan karena krisis kepercayaan publik (mosi tidak percaya rakyat) meluas karena kekuatan sipil (people power), itu bukan kekuataan sipil ansich, seperti lengsernya rezim Soeharto, melainkan adanya kekuatan militer yang berpihak pada kekuatan sipil, terbelahnya kekuatan militer, tentu pertimbangannya adalah demi bangsa dan negara. ***
*) Penulis adalah Penyair, Direktur PKSPD (Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah), mukim di Singaraja. Email: jurnalepkspd@gmail.com