Indramayu-MCB
Di tengah teriknya matahari Pantura yang memanggang aspal dan sawah-sawah yang mulai mengering, sebuah harapan kolektif menyeruak dari bilik-bilik warung kopi hingga ke dermaga perahu nelayan di Indramayu. Harapan itu sederhana: agar program pemutihan denda Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tahun 2025 yang sedang berjalan bisa diperpanjang.
Uniknya, harapan ini tidak diteriakkan dalam demonstrasi, melainkan dititipkan melalui media sosial dan obrolan tulus kepada sosok yang mereka anggap sebagai “penyambung lidah rakyat”, Dedi Mulyadi.
Program pemutihan pajak yang digulirkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk tahun 2025 menjadi napas lega bagi banyak warga. Namun, bagi sebagian besar masyarakat Indramayu yang menggantungkan hidup pada ritme alam seperti petani dan nelayan, waktu seolah berjalan lebih cepat dari kemampuan mereka mengumpulkan rupiah.
“Namanya juga petani, Kang. Uang itu adanya kalau sudah panen. Kemarin dengar ada pemutihan, senangnya bukan main. Motor butut saya ini sudah tiga tahun pajaknya mati,” ujar Marno (48), seorang petani dari Kecamatan Losarang saat ditemui sedang beristirahat di saungnya, Selasa (10/6/2025).
Motor tua Marno adalah satu-satunya alat transportasi andalannya untuk membawa hasil panen kecil-kecilan ke pasar terdekat. Tanpa motor itu, ia harus mengeluarkan ongkos lebih untuk menyewa kendaraan.
“Kalau programnya selesai bulan depan, ya sama saja bohong buat saya. Panen masih lama. Kami ini bukan tidak mau bayar, tapi waktunya yang tidak pas. Harapannya, semoga ada yang bisa sampaikan suara kami ke pemerintah. Katanya Pak Dedi Mulyadi sering dengar keluhan begini,” tambahnya sambil menunjukkan notifikasi berita tentang Dedi Mulyadi di ponsel sederhananya.
Cerita serupa datang dari Karangsong, salah satu sentra perikanan terbesar di Indramayu. Soleman (52), seorang nelayan, mengaku motornya lebih sering terparkir di rumah karena khawatir terjaring razia. Pajaknya sudah terlewat dua tahun akibat penghasilan melaut yang tak menentu.
“Kalau lagi musim angin barat, ya kami tidak bisa melaut berhari-hari. Buat makan saja sudah pusing, apalagi mikirin pajak,” keluh Soleman. “Kami dengar program ini bagus, bisa hapus denda. Tapi kalau bisa, waktunya dikasih lebih panjang. Kami lihat di YouTube, Pak Dedi Mulyadi sering bantu orang susah. Siapa tahu beliau dengar harapan kami dari Indramayu dan bisa ikut mendorong pemerintah,” ujarnya penuh harap.
Fenomena menitipkan aspirasi kepada Dedi Mulyadi ini menjadi cerminan pergeseran komunikasi politik di era digital. Warga tidak lagi hanya mengandalkan jalur birokrasi formal, tetapi juga figur publik yang dianggap memiliki empati dan responsif terhadap keluhan masyarakat kecil. Kolom komentar di akun media sosial Dedi Mulyadi pun dibanjiri permintaan senada, yang datang tidak hanya dari Indramayu, tetapi juga dari berbagai pelosok Jawa Barat.
Meskipun belum ada tanggapan resmi terkait permohonan perpanjangan ini, harapan warga Kota Mangga terus menggema. Bagi mereka, perpanjangan waktu pemutihan pajak bukan sekadar keringanan administratif, melainkan sebuah kesempatan untuk kembali “menghidupkan” tulang punggung ekonomi keluarga mereka tanpa was-was di jalanan. Sebuah harapan sederhana yang kini dititipkan pada pundak sang mantan Bupati Purwakarta. (Yusuf)