Sebagai kelanjutan antologi puisi Plengkung (Interlude, 2021) dengan objek penulisan yang terbatas pada wilayah Kota Yogyakarta; antologi puisi Pagelaran diperluas secara geografis Daerah Istimewa Yogyakarta. Keistimewaan Yogyakarta tentunya dapat dilihat dan dirasakan dalam berbagai hal, misalnya seni budaya, pariwisata, dan sebagainya.
Keistimewaan berkaitan dengan penerbitan antologi puisi Pagelaran adalah hanya memuat 99 puisi. Hal ini berkaitan bahwa penerbitan antologi akan disertai dengan Temu Sastra Pagelaran yang tentunya dibatasi kepesertaannya. Dibatasinya jumlah puisi tentunya akan dimaknai bahwa puisi-puisi yang dipilih layak diterbitkan. Puisi-puisi yang tidak terpilih pun bagus-bagus (setidaknya menurut penulisnya) dan dapat dilihat dari biodata yang dilampirkan bahwa telah sekian puluh antologi puisi memuat puisinya. Faktor tersebut tentunya saya kesampingkan. Ada pula yang telah mengirim ulang namun tetap tidak lolos kurasi. Tentunya menulis puisi tidak sekadar hasil tetapi juga proses.
Beberapa penyair yang telah puluhan tahun aktif menulis terlibat di dalam penerbitan antologi Pagelaran. Beberapa pengirim yang sebelumnya tidak saya kenal pun akhirnya lolos kurasi. Artinya, pertimbangan untuk menentukan lolos atau tidaknya dalam proses kurasi bertumpu pada puisi itu sendiri, bukan sekadar pertemanan. Dengan demikian muncul puisi-puisi yang berbobot di antaranya puisi Tengsoe Tjahjono dalam kutipan berikut:
PUKUL 08.00 DI KM NOL JOGJA
Pada Tugu pernah kubaca kisah orang hilang
ditelikung kenangan. Hari masih pukul 08.00
Tak pantas menyerah pada bayang-bayang
yang mengelupas di trotoar
Pada Km Nol ini segalanya bisa dimulai
Titik ini bukan kuburan bagi harapan
Dari atas bola beton kaupandangi delman
Malioboro memanjang jauh
Seorang perempuan konon lesap di tikungan
Ya, dari titik ini kau melihat punggungnya
“Kamulah, Pranacitraku,” bisik yang tak pernah bisa dihapus
Ya, di Km Nol ini ikrar telah dilayangkan
Langit biru bersih di atas gedung-gedung tua
Museum Fort Vredeburg, Kantor Pos, dan Sonobudoyo
Sambil menghirup wangi kopi di kafe yang tak pernah sunyi.
Puisi di atas adalah contoh puisi KM Nol yang paling banyak saya terima. Puisi tentunya tidak sekadar menggambarkan atau mendeskripsikan tentang keberadaan KM Nol namun harus disertai pengalaman dan kesan mandalam tentangnya. Sebagaimana penyairnya menuliskannya dalam “Pada Km Nol ini segalanya bisa dimulai/Titik ini bukan kuburan bagi harapan.”
Begitu pula jika kita membaca kutipan sajak Irawan Sandhya Wiraatmaja berjudul
“Selokan Mataram” ini:
Beberapa langkah saja, kau dari barat
Aku dari timur, kita akan bersapa dan
Memberi salam, pada arah yang bergantian
Akan sampai pada garis dan titik yang sama
Di antara aliran kanal, dalam gemercik air
Kita akan bercerita tentang cinta dan sunyi
Yang tak pernah putus untuk jejak sejarah
Ngarso dalem yang tercatat dalam babad abad
Langkah terhenti.
Puisi dengan mengambil objek wisata Pantai Parangtritis juga paling banyak diminati pengirimnya. Heru Mugiarso mengingatkan bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa besar dalam dunia kesastraan dengan berlangsungnya kemah kaum urakan:
JANTUNG PANTAI PARANGTRITIS
Mungkin kau tangkap degup ombak
Lewat deru pasir yang porak
Atau biru langit
Dan cerita purba yang wingit
Tapi aku kini tinggal seutas garis pantai
Di dinding atmosfer yang rinai
Bangkit dari kubur kemah kaum urakan
Sambil mengigau dan mengutuki napas jaman.
Lalu kita bisa membandingkan dengan puisi yang tidak lolos kurasi tersebab tidak ada sesuatu yang baru yang disampaikannya. Sebagai contoh: Di Pantai Parangtritis,/aku dan kamu/bagai nada-nada simponi/yang membentang setelah cinta kita bertaut/dalam kekekalan hatiku.//Atau: Kala senja menggoda/lewat belaian angin pantai/ada seulas senyum menari-nari di pelupuk mata/seakan ingin bicara penuh manja/sebelum ditelan ombak parangtritis.//
Lantas bagaimana dengan sebutan Yogyakarta sebagai Kota Gudeg yang gagal ditulis dalam bentuk puisi jika hanya sekadar: Perut bernyanyi keroncong/Melihat warung lesehan/Sepiring gudeg terhidang, berteman segelas teh.//Atau: Lima abad lebih/masih bertahan sampai kini/gudeg Yogya khas legendaris/gurih, pedas, manis,/berpadu harmonis.//
Angkringan sebagai salah satu ciri khas Yogyakarta juga banyak diminati untuk dijadikan puisi. Puisi tentang angkringan karya Norham Abdul Wahab terasa kuat dengan gagasan yang mengalir lancar tampak dalam kutipan berikut:
angkringan mbak sri sudah tak ada lagi
nyusul dorodjatun, pindah ke imogiri
kini hanya lalu-lalang orang berjalan sungsang
dari depan ke balakang
ke dahulu dari sekarang
mengais waktu dan jejak kaki, mencari jatidiri
aku salah satu, menyusuri malioboro
dari pasar kembang hingga senisono
hanya genang tumpahan air mata kujumpa
:
seorang pedagang perempuan yang pingsan,
dihanyang ketakutan
setelah tahu dorodjatun yang beri tumpangan
— dari jalan parangtritis hingga lapak jualan
di beringharjo —
dan memikul keranjang barang dagang dengan
pundaknya sendiri
: pundak sarat beban, tapi ringan dipikulkan
angkringan mbak sri sudah tak ada lagi
hanya wajah pucat kursi taman dan tiang besi,
lampu-lampu jalan ala kerajaan
berjejer garang terpajang, lagak cekak pinggang
namun setakat bentuk, rupa dan warna
setakat tanda tangan dan nama.
Begitu pula objek tentang gunung Merapi menarik minat beberapa pengirim untuk mengubahnya dalam bentuk puisi. Tentu saja tidak sekadar menjadi baris “Memandangmu bagai menatap kawah Merapi/penuh gejolak perkasa api abadi berselimut kabut/Kenangan cuaca berumbai embun rambatkan cinta dirimu/penuh gejolak laharnya panasi hatiku.// Bandingkan dengan puisi berjudul “Merak-Ati Merapi” karya Kurnia Effendi dalam kutipan berikut:
Apa yang disembunyikan Merapi
Selain api? Mungkin doa-doa para pengabdi
Sunyi yang kerap dikhianati
Di luar pengetahuan kita, lambungnya memendam
Demam. Suhu tinggi dendam dari tahun ke tahun
Menyaksikan silau duniawi menyihir para pengembara
Adakah yang dirindukan jantung Merapi
Kecuali ratap kaum pertapa? Mungkin hari terakhir
Kehidupan manusia di bumi renta ini.
Berikut catatan mengapa puisi yang dikirim tidak lolos kurasi? Setidaknya ada 5 sebab: Pertama, hanya mendeskripsikan tempat yang ditulis dalam bentuk larik-larik puisi padahal jelas isinya adalah mirip artikel: Benteng Vredeburg Yogyakarta/Merupakan benteng tertua bersejarah/Terlahir tidak lepas dari munculnya Kesultanan Yogyakarta pertama di tahun 1755/Konon Benteng Vredeburg Yogyakarta di bangun dengan alasan agar Belanda dapat menjaga/keamanan Keraton Yogyakarta/Akan tetapi dibalik dalih tersebut, ada tujuan licik tersembunyi/Salah satunya untuk memudahkan Belanda dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi/di dalam keraton/Dengan adanya Benteng Vredeburg sangatlah jelas dimanfaatkan kolonial Belanda/sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blockade.// Dalam penulisan puisi tentunya diperlukan imajinasi, metafor, majas, dan sebagainya.
Kedua, Pemilihan Diksi yang stereotipe atau klise dan tidak disertai gagasan yang menarik, misalnya: “Kala senja menggoda”, “Matahari kembali ke peraduannya, “Sorot matamu bagai rona lampu” tentulah tidak menarik. Begitu pula:
Satu yang entah kapan merupa
Perjalanan tertempuh membuat kita pada sua
Di tempat kala semua orang begitu dekat
Di tempat kala sebuah nama orang mengenalnya
Atau:
Yogya selalu ada di hati
Tempat kita bertemu
Tempat kita menuntut ilmu
Tempat kita bersama selalu
Tempat kita bercanda dan bersenda gurau.
Ketiga, Judul Tempelan. Puisi yang judulnya hanya tempelan kata Yogyakarta namun isinya sama sekali tidak berisi tentang Yogyakarta. Artinya, jika judulnya ditutup maka pembaca tidak akan memahami bahwa puisi itu berkisah tentang Yogyakarta. Begitu pula tentang pentingnya kekuatan judul dalam puisi sehingga menjadi daya tarik untuk dibaca. Sekadar contoh “Diponegoro Sang Pejuang Tangguh Pemberani Asal Yogyakarta.” Apakah judul itu menarik dalam sebuah puisi?
Keempat, Bertema Bebas yang tentu saja tidak sesuai tema yang ditawarkan/tidak tematis.
Kelima, Peta Buta, puisi yang bukan menyangkut secara geografis Daerah Istimewa Yogyakarta. Misalnya puisi:
Biarlah sejenak saja di tubuh Borobudur
kureliefkan kata cinta
dengan warna nirwa yang purba
Melekatkan dalam pori-pori,
kukuh bagi keabadian sejarah negeri,
keajaiban dunia,
agar tak purna
digilas zaman.
Sebagai penutup, antologi puisi Pagelaran mengangkat tema Yogya Istimewa. Tema tersebut menjadi pokok pikiran sebagai dasar dalam membuat sajak. Tentu harus disadari bahwa media puisi adalah bahasa. Untuk maksud tersebut maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, untuk mendukung makna keseluruhan. Selanjutnya perlu dipahami bahwa dalam sebuah bukunya Roland Barthes menulis sebuah kalimat singkat yang terkenal: “Pengarang telah mati.” Sila dimaknai sendiri. (Bambang Widiatmoko, kurator)