Penyandang disabilitas masih banyak dianaktirikan di negeri ini, padahal mereka adalah manusia dan anak bangsa yang memiliki hak yang sama dengan warga bangsa lainnya, tetapi nyatanya masih banyak ketimpangan yang mereka rasakan, jangankan dalam hal fasilitas umum, dalam pergaulan sehari-hari saja mereka masih dipandang sebelah mata, bahkan tidak jarang terjadi pelanggaran atas hak-haknya sebagai manusia
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, tetapi persoalan yang menimpa kaum difabel masih saja terjadi, sehingga kemudian dibentuklah Komnas Disabilitas melalui Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas.
Terbentuknya Komnas Disabilitas yang digawangi langsung oleh tokoh-tokoh difabel nasional dan telah dilantik oleh presiden, memberikan harapan baru bagi para penyandang disabilitas untuk melaporkan berbagai pelanggaran yang mereka terima, sekaligus Komnaspun dapat menindak lanjutinya dengan berbagai langkah nyata.
Kembali kepada persoalan penghormatan kepada kaum difabel atau biasa dikenal dengan bahasa ramah disabilitas, begitu pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah, kalangan swasta dan masyarakat.
Salah satunya adalah penyediaan sarana bagi kaum difabel, di gedung-gedung pemerintahan dan pelayanan umum. Coba kita cek di kantor-kantor gubernur, bupati, walikota, dinas, camat dan balai desa, berapa banyak yang telah menyediakan pintu masuk khusus bagi difabel. Jangankan sampai tingkat desa, di tingkat kabupaten/kota saja masih banyak gedung bertangga yang tidak bisa dilalui oleh kaum difabel yang menggunakan kursi roda.
Apalagi dalam pelaksanaan berbagai acara pemerintahan, masih sangat jarang yang menggunakan tenaga penerjemah atau bahasa isyarat yang bisa dimenegerti oleh para tuna rungu, bahkan acara-acara kenegaraan yang sifatnya pentingpun masih jarang yang memperhatikan hal tersebut.
Dalam hal pelayanan umum, taman kota dan fasilitas umum lainnya masih sangat tidak ramah disabilitas, bahkan jalan raya juga tidak memberikan tanda khusus kepada penyandang tuna netra agar mereka bisa berjalan dengan aman, tanpa takut mengalami gangguan.
Dari sisi swasta, di mall-mall atau pusat perbelanjaan mungkin sudah banyak yang menyediakan pintu masuk khusus bagi penyandang disabilitas, tetapi lihatlah di gedung perkantoran milik swasta, hanya sedikit yang sudah menerapkan gedung yang ramah disabilitas.
Pada sebuah momen menyambut datangnya isteri Presiden RI ke-4 Gusdur di sebuah masjid, saya sampai menitikkan air mata, karena melihat Ibu Shinta Nuriyah harus diangkat di atas kursi rodanya oleh paspampres karena tangga masjid yang tinggi dan tidak menyediakan jalan khusus bagi orang yang menggunakan kursi roda.
Bahkan bukan hanya saya yang merasa prihatin, para pengurus DKM dan tokoh masyarakatpun ahirnya menyadari bahwa selama ini kita sangat tidak peka dan tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Ahirnya setelah kejadian tersebut, tangga masjid yang tinggi dibongkar dan disediakan jalan khusus bagi pengguna kursi roda yang ingin sholat dan ibadah di masjid.
Pantas saja selama ini para penyandang disabilitas tidak pernah ikut berjamaah di masjid, karena memang mereka kesusahan untuk masuk ke tempat ibadah tersebut, inilah teguran bagi kita semua bahwa selama ini kita salah dan tidak pernah memperhatikan kepentingan para penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas juga masih banyak mengalami gangguan dalam hubungan sosial dan kehidupan bermasyarakat, selain mereka tidak mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhannya, mereka juga diacuhkan, dicibir dan bahkan dihina.
Inilah realitas sosial yang kita hadapi, maka sudah selayaknya jika kita segera sadar dan benar-benar berperilaku yang ramah terhadap disabilitas, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap hak-hak mereka sebagai manusia.