Oleh: Muhdi, M.H.*)
Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, pondok pesantren dan madrasah merupakan institusi pendidikan yang memiliki kontribusi fundamental dan tak tergantikan. Jauh sebelum negara ini terbentuk secara formal, lembaga-lembaga ini telah menjadi mercusuar ilmu, moralitas, dan nasionalisme yang membakar semangat kebangsaan rakyat Indonesia. Pesantren bukan hanya institusi pendidikan agama, melainkan juga pusat pengkaderan pemimpin, penguatan karakter, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Ketika KH. Hasyim Asy’ari mengumandangkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, para santri dan kiai tidak ragu memanggul senjata, berjuang mempertahankan kedaulatan bangsa. Momen ini menjadi penanda bahwa pesantren adalah institusi perjuangan yang telah mengakar dalam denyut sejarah republik ini.
Pasca kemerdekaan, peran pesantren dan madrasah tidak pernah surut. Di tengah keterbatasan, mereka tetap menjalankan misi luhur mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama bagi masyarakat lapisan bawah yang kerap terpinggirkan oleh sistem. Dengan berbekal semangat ikhlas, kemandirian, dan keteladanan, para pengasuh pesantren, guru madrasah, dan ustadz di pelosok negeri membaktikan diri untuk menciptakan generasi yang berilmu, berakhlak, dan cinta tanah air. Bahkan ketika pembangunan lebih banyak terpusat di kota-kota besar, madrasah dan pesantren tetap hadir sebagai benteng peradaban di desa-desa terpencil.
Namun sayangnya, dalam peta kebijakan pendidikan nasional, eksistensi mereka kerap tidak mendapatkan tempat yang proporsional. Meskipun secara yuridis telah diakui sebagai bagian integral dari Sistem Pendidikan Nasional melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dan diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, realitas di lapangan masih menunjukkan bahwa anggaran dan perhatian pemerintah belum sebanding dengan kontribusi riil lembaga-lembaga ini. Padahal, pesantren dan madrasah merupakan model pendidikan yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter bangsa melalui internalisasi nilai-nilai keagamaan, nasionalisme, dan kemandirian.
Angin segar kini berembus lewat terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Regulasi ini secara eksplisit membuka peluang bagi pesantren dan madrasah untuk mendapatkan alokasi dana hibah melalui APBD. Dalam lampiran Permendagri tersebut disebutkan bahwa belanja hibah dapat disalurkan melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kepada lembaga pendidikan keagamaan di bawah Kementerian Agama, termasuk pondok pesantren, madrasah, serta guru dan peserta didiknya, sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan masuk dalam kode rekening belanja hibah.
Hibah sendiri, secara definisi, merupakan pemberian uang, barang, atau jasa dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga (termasuk lembaga pendidikan) yang bersifat nirlaba, sukarela, dan tidak mengikat. Pemberian ini bertujuan mendukung pelaksanaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah. Hibah bukanlah bentuk bantuan yang bisa diberikan sembarangan—ia harus didasarkan pada perencanaan daerah, melalui mekanisme formal seperti musrenbang atau usulan masyarakat, dan ditetapkan melalui dokumen resmi yang disebut NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah).
Beberapa daerah telah lebih dahulu mengeksekusi regulasi ini. Sebut saja Kabupaten Gresik, Jember, Bandung, dan Kota Bekasi, yang telah mengalokasikan hibah daerah untuk pembangunan ruang kelas madrasah, perbaikan asrama santri, pelatihan guru, hingga digitalisasi pengajaran. Ini adalah bukti konkret bahwa madrasah dan pesantren bisa dan layak menjadi penerima utama dari program-program daerah yang berpihak pada pendidikan berbasis nilai dan karakter.
Namun, dalam implementasinya, perlu disampaikan dengan tegas bahwa pemberian hibah tidak boleh didasarkan pada kedekatan personal, hubungan politik, atau pertimbangan subjektif lainnya. Penyaluran hibah harus berdasarkan kebutuhan riil dan data yang akurat. Tidak boleh ada lagi hibah yang asal ditetapkan hanya karena ada “akses ke dewan” atau relasi dengan elite politik lokal. Hibah harus tepat sasaran, tepat lokasi, dan tepat alokasi.
Kepada para penerima hibah, penting untuk diingat bahwa dana hibah adalah amanah publik yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Gunakan dana tersebut sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB), laksanakan tepat waktu, dan pertanggungjawabkan secara transparan. Jangan sampai dana yang seharusnya membangun malah mencelakakan karena kesalahan pelaporan, keterlambatan pelaksanaan, atau penyimpangan penggunaan.
Pengawasan dari masyarakat, lembaga pengawas daerah, dan instansi vertikal seperti Inspektorat dan BPK juga harus diperkuat. Sebab jika mekanisme ini dijaga dengan baik, hibah APBD bisa menjadi jalan emas untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam di akar rumput—di mana para anak bangsa pertama kali ditanamkan nilai-nilai kejujuran, nasionalisme, dan semangat kebangsaan.
Kini saatnya pemerintah daerah benar-benar hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai mitra strategis lembaga pendidikan keagamaan. Dan bagi madrasah serta pesantren, ini adalah peluang emas untuk menunjukkan kapasitas kelembagaan dalam mengelola bantuan publik dengan profesionalisme dan integritas tinggi.
Maka saya mengajak seluruh kepala daerah, DPRD, dan SKPD, khususnya di Kabupaten Tegal dan wilayah sekitarnya, untuk memanfaatkan regulasi ini secara serius. Buatlah peta kebutuhan madrasah dan pesantren secara partisipatif. Dengarkan aspirasi mereka. Libatkan mereka dalam perencanaan. Dan pastikan setiap rupiah yang digelontorkan benar-benar mengarah pada perbaikan kualitas pendidikan dan kesejahteraan santri.
Karena membangun Indonesia yang bermartabat harus dimulai dari akar. Dan akar itu adalah madrasah dan pesantren. Mereka telah memberi tanpa banyak meminta. Kini saatnya kita hadir memberi dukungan, bukan sebagai belas kasihan, tetapi sebagai bentuk keadilan dan pengakuan.
Madrasah Hebat, Pesantren Kuat, Indonesia Bermartabat.
*) Penulis Adalah Sekretaris PC PERGUNU Kabupaten Tegal