0’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Bisakah pasal 66 ayat (4) UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimakanai Wabup dilarang mengundurkan diri dan harus menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya hingga berakhir masa jabatannya?
Bisa, jika kewarasan kita sudah lenyap, atau ketika kita melenyapkan logika dan akal waras, karena kewarasan sudah tak berarti lagi dalam politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik kekinian.
Bagaimanakah bunyi pasal 66 ayat (4) tersebut dan atau bagaimana isi lengkap dari pasal tersebut.
Pasal 66
(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a. membantu kepala daerah dalam:
1. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
2. mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah dan menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan;
3.memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah provinsi bagi wakil gubernur; dan
4.memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Perangkat Daerah kabupaten/kota, kelurahan, dan/atau Desa bagi wakil bupati/wali kota;
b. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan Daerah;
c. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara; dan
d. melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wakil kepala daerah menandatangani pakta integritas dan bertanggung jawab kepada kepala daerah.
(4) Wakil kepala daerah wajib melaksanakan tugas bersama kepala daerah hingga akhir masa jabatan.
Penjajahan Makna
Penjajahan makna dan politisasi makna juga menguat dalam memaknai pasal 66 ayat (4) UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah, sebagai argumentasi yang dikedepankan, bahwa Wabup dilarang mundur, tidak boleh mundur karena harus mendampingi Bupati sampai akhir masa jabatannya. Jika mundur bukan sikap negarawan.
Seluruh bangunan dan atau konstruk pasal 66, secara tersurat maupun tersirat, tidak ada frasa atau kata yang bisa dimaknai dengan Wabup dilarang atau tidak boleh atau tidak dibenarkan atau melarang Wabup mundur sebelum berakhir masa jabatannya, karena itu menabrak pasal 78.
Pengundurkan diri tersebut dijamin oleh konstitusi dan menjadi hak konstitusional. Tentu sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, apalagi alasan pengunduran diri tersebut sangat konkret. Pengunduran diri dengan alasan yang ngawur pun tetap bisa dikabulkan.
Pada pasal 66 ayat (4) ada frasa dan atau kosa kata ” wajib”. Kata “wajib” bukan padanan kata dari kata “dilarang atau melarang atau tidak boleh atau tidak diperbolehkan”. Kata “wajib” tidak bisa dimaknai dengan dilarang atau melarang atau tidak boleh atau tidak diperbolehkan, karena makna dan pengertian dari kosa kata “wajib” dalam hal ini konteksnya dengan melaksanakan tugas bersama Bupati hingga akhir masa jabatannya, membantu Bupati, dan tugas dan kewajiban lainnya sebagaimana diatur dalam UU.
Adalah benar, kata “wajib” maknanya harus mendampingi Bupati dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban Bupati sesuai dengan UU, yang konteksnya pada pasal 66 ayat (1.a) jika Wabup tidak mengundurkan diri.
Kosa kata “wajib” dalam makna atau tafsir pasal 66 ayat (4) dalam konteks pasal tersebut, menjadi tidak berlaku dan atau gugur jika Wabupnya mundur di tengah perjalanan, karena alasan konkret hukum kausalitas (adi kodrati), tidak mampu lagi dalam mengemban kewajibannya sebagaimana ketentuan pertaturan perundang-undangan.
Kata “membantu” pada pasal 66 ayat (1a), berarti Wabup harus dan atau berkewajiban membantu tugas Bupati dalam pelaksanaan (amanat) UU dalam pemerintahannya. Kata “wajib” sinonimnya adalah harus, keharusan, berkewajiban dalam arena dan relasi membantu tugas Bupati yang dimkasudkan dalam pasal 66, terutama dalam konteks ayat (4) tersebut.
Tidak ada relasi atau arenanya maknanya dengan konteks tidak diperbolehkan mengundurkan diri. Teks kata “wajib” dalam pasal tersebut tidak mengandung makna atau tafsir dan atau pengertian bahwa UU harus tidak mengabulkan pengunduran diri LH sebagai Wabup. Juga tidak bisa dimaknai atau ditafsiri bahwa Waup tidak boleh mengundurkan diri sebelum masa kabatannya berakhir.
Kata “wajib” dalam hal ini adalah arena dan relasinya tugas dan kewajiban dalam “melaksanakan” atau “pelaksanaan” untuk membantu Bupati dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang harus diembannya dalam tata kelola pemerintahan.
Kata “wajib” dalam relasi dan arena kalimat tersebut hanya mengandung makna bahwa Wabup berkewajiban membantu, mendampingi Bupati dalam tata kelola pemerintahannya dan atau jika ada pendelegasian tugas dan kewenangan yang diberikan Bupati kepadanya.
Wabup “wajib” atau berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 ayat (1.a), membantu dan atau mendampingi Bupati untuk menjalankan amanat konstitusi, UU dan regulasi turunannya hingga akhir masa jabatannya, jika Wabupnya tidak mengundurkan diri.
Jika pasal 66 ayat (4) tersebut harus kita katakan, bahwa Wabup “dilarang” atau “tidak diperbolehkan” mengundurkan diri di tengah perjalanan, itu namanya dengkul dengan kepala terlampau jauh letaknya.
Itu namanya penjajahan makna atas kosa kata ‘wajib’ itu sendiri, atau dengan perkataaan lain, kita tengah mempolitisasi kata itu sendiri, sehingga maknanya tercerabut dari akar kata itu sendiri dalam pengertian konteks umumnya, dan dalam konteks UU itu sendiri, terkecuali kata “wajib” menjadi metaforis atau sebagai personifikasi.
Begitu juga jika kita bersikukuh, ngotot dan tetap berargumentasi bahwa pasal 66 ayat (4) harus dimalnai LH sebagai Wabup dilarang, tidak boleh mengundurkan diri hingga masa jabatannya habis. Itu artinya, kita dalam kedunguan yang dableg dan dalam keblingeran yang dableg, karena logika dan akal warasnya telah tiada.
Fakta Empirik
Banyak fakta dan realitas empirik, bahwa ternyata kosa kata, kata-kata dalam Bahasa Indonesia dan atau dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengalami penjajahan makna dalam memaknai kata itu sendiri dalam melakukan pembacaan teks. Bahkan kata yang terjajah maknanya tersebut kemudian dipolitisasi sedemikian rupa, sehingga kosa kata atau kata itu sendiri tercerabut dari akar makna dan pengertiannya.
Misalnya, kata “negarawan.” Bukan negarawan jika mundur di tengah perjalanan sebagai Wabup. Kosa kata “negarawan” terjajah sedemikian rupa maknanya dan dipolitisasi sedemikian rupa.
Fakta dan ralitasnmya, jika pejabat publik itu tidak tahu diri, tidak tahu malu dan tidak punya kemaluan dan seterusnya, dan kebijakan-kebijakannya rusak dan bobrok, tetapi karena tetap bertahan sampai akhir masa jabatannya, lantas itu yang dikatakan sebagai negarawan. Betapa berantakkannya logika dan akal warasnya.
Bukankah sikap negarawanan itu tercermin jika tahu malu, tahu diri dan punya kemaluan, tahu dan paham etika publik dan paham dengan etics yang melekat pada dirinya, sehingga malu makan gaji buta. Lantas, pilihan jalan terhormat bagi kenegarawanan adalah mengundurkan diri dari jabatannya. Bukan kewarasannya terbalik, sehingga menjadi kedunguan jika seperti itu.
Mengapa harus memilih mundur? Karena sudah tidak bisa lagi berjalan bersama dengan Bupati. Peran dan fungsinya untuk berkewajiban melaksanakan sebagaimana ketentuan UU, tidak bisa dilaksanakan, telah digusur dan atau dianggap tidak perlu lagi adanya Wabup.
Atau karena sudah tidak mampu lagi untuk mengemban sumpah jabatan atas amanat UU karena terus menerus bertolak pantat dengan Bupatinya. Maka, pilihan mundur dari jabatannya merupakan jalan yang terhormat baginya.
Bukankah jika LH bersikap dableg atau karena kedunguannya lantas tidak tahu diri, tidak tahu malu dan tidak punya kemaluan, padahal nyata-nyata tidak bisa mengemban amanat UU, tidak bisa berjalan bersama lagi secara prinsip UU, lantas tetap bertahan dan makan gaji buta sampai masa jabatan Bupati tersebut berakhir.
Jika seperti itu, bisakah itu disebut dan atau dikatakan sebagai sikap dan atau watak kenegarawanan? Tentu tidak bisa. Jika seperti itu, namanya “pecundang, culas” dan atau “penghamba kekuasaan” atau “pengkhianat moral.”
Hanya kedunguanlah yang mengatakan bahwa sikap kenegarawanan adalah harus bertahan, tidak mundur, karena harus menyelesaikan masa jabatannya untuk mendampingi Bupati, apapun resikonya, sekalipun tidak bisa lagi menjalankan amanat UU, karena Pilkada menelan biaya besar yang harus ditanggung rakyat (APBD).
Banyak kata yang maknanya terjajah dalam politik kekuasaan kekinian, dan itu sangat mengemuka, sehingga Bahasa Indonesia tidak dimengerti lagi oleh bangsanya sendiri. Padahal, kedudukan Bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa pemersatu bangsa dan negara yang sangat bhineka latar belakang dan kulturnya dalam NKRI.
Oleh karenanya, Sumpah Pemuda sebagai puisi abadi bangsa dan negara, mematri Bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan yang mempersatukan dalam kebhinekaan dalam ketunggal-ikaan, sehingga jajahan makna atas kata itu sendiri harus dihapuskan, karena bisa memicu potensi pertengkaran dalam kedunguan yang tak berujung, karena kata harus sampai pada pengertiannya.
Kosa kata yang terjajah makannya seperti kata “transparan(si)” dan “akuntabel.” Kosa kata itu dipakai hanya untuk “mendaku”, padahal yang sesungguhnya adalah kebalikannya dalam fakta dan realitas empirik. Bagaimana mungkin pemerintahannya bisa dikatakan sudah transparan dan akuntabel, jika APBD dan Neraca BUMD saja sama sekali tidak bisa diakses oleh pemilik kedaulatan, publik.
Contoh lainnya, seperti kata “terbuka” dengan “kritik”, “nama baik”, “ujaran kebencian”, “penyebaran-hoax”, dan seterusnya, terus menerus terjajah maknanya dan dipolitisasi tafsirnya.
Setiap yang bersinggungan dengan politik kekuasaan atau kekuasaan politik, fakta dan realitas empiriknya kata tersebut menjadi ancaman atau terancam dari kedudukan dan maknanya. Semua itu hanya sekedar untuk “mendaku” saja. Sesungguhnya adalah sebaliknya yang dilakukan oleh pejabat publik yang bermetal penguasa dan atau bermental Petruk Menjadi Raja dan atau mental penghamba kekuasaan. ******