0’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com)
Persoalan LH mundur sebagai Wabup, memang menjadi membias jika kita melakukan pembacaannya hanya pada melihat fatamorgana dalam pemerintahan. Kita tidak akan bisa melihat yang nyata yang harus dikatakan, tetapi kita hanya bisa mendengar hal yang nyata-nyata tidak nyata yang dikatakan, karena antara dengkul dengan kepala terlampau jauh letak yang sesungguhnya.
Mendramatisir Kenaifan
Banyak hal yang menggelikan dalam kedablegan bahwa Bupati dan Wabup dilarang mundur setelah ditetapkan sebagai pasangan, dan jika mundur akan dikenakan sanksi adminitrasi berupa denda.
Hal itu menunjukkan kejongkokan dalam membaca regulasi. Jika seperti itu, hanya sekedar untuk mendaratisasi persoalan Wabup mundur, dan bahkan hanya sekedar untuk meramaikan pemberitaan media yang blong kecerdasan jurnalisnya.
Bahkan yang lebih parah jika hal tersebut kemudian hanya untuk tiktokkan semata. Karena yang sesungguhnya, itu lari dari persoalan mengapa Wabup mundur. Menyelimuti dan membalut persoalan pokoknya.
Dilarang mengundurkan diri dan dikenakan sanksi berupa denda itu adalah bunyi pasal 53 UU No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU, dan itu relasi dan domainnya KPU (Komisi Pemilihan Umum), yang mana jika pasangan calon Bupati dan Wabup telah ditetapkan menjadi pasangan calon mengundurkan diri.
Konteks tersebut, tidak berelasi dengan Bupati dan Wabup mundur setelah dilantik menjadi Bupati dan Wabup. Pertanyaannya, mengapa menggerhanakan mata, dan tidak mau melek dengan pasal 78 UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bukankah mundurnya LH sebagai Wabup itu adalah hak konstitusional yang dijamin pasal 78.b, dan pasal 79 mengatur domain Dewan (Legislatif) untuk menindaklanjuti pasal 78. Dewan tidak berhak untuk tidak mengabulkan dan atau melarang mundurnya LH dari Wabup, karena alasan sangat konkret.
Begitu halnya dengan Gubernur, tidak bisa menghalang-halangi mundurnya LH, karena Gubernur hanya sebagai pembina Kepala Daerah. Upaya memberikan saran untuk dipertimbangkan kembali, itulah adalah hak dan kewajiban Gubernur atas peran dan fungsinya sebagai pembina Kepala Daerah. Gubernur dalam hal tersebut, hanya sebatas mengantarkan keputusan DPRD tentang mundurnya LH sebagai Wabup kepada Mendagri.
Mendagri pun tidak bisa memaksa LH untuk membatalkan pengunduran dirinya dan atau untuk tidak mengabulkan pengunduran diri LH sebagai Wabup, karena alasannya sangat konkret. Sedangkan pada rezim penguasa sebelumnya, Bupati mundur dengan alasan yang sangat irasionalitas, Mendagri mengabulkannya juga.
Kita semua tahu bahwa Pilkada menelan biaya besar. Hanya orang gila saja yang mengatakan bahwa Pilkada tidak menelan biaya besar. Pilkada tidak pakai uang rakyat. Pilkada dan hasil Pilkada resikonya harus ditanggung rakyat (APBD/APBN), bahkan jika akhirnya hanya melahirkan pemerintahannya koruptif dari hasil Pilkada tersebut.
Jika ada suara seperti itu, namanya jongkok dalam kedunguan. Tetapi, memang banyak fakta, bahwa rakyat menjadi bagian yang terpisah dengan APBD/APBN atas resiko tersebut, tidak tahu dan atau tidak mengerti, sehingga merasa biaya besar untuk Pilkada tersebut bukan uang rakyat, atau bukan uang dari dirinya.
Ketidakpahaman itu bisa kita maklumi hingga pada level tertentu, karena baik Eksekutif maupun Legislatif dan atau para politis atau parpol tidak mengadvokasi dan atau tidak memprovokasi untuk rakyatnya bisa paham dan mengerti soal APBD/APBN yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan dirinya.
Rakyat tidak tahu, tidak mengerti dan atau tidak paham bahwa APBD/APBN itu adalah uang milik rakyat, dan harus dipergunakan untuk kepentingan rakyat, bukan milik Bupati dan Wabup, dan bukan pula milik (anggota) Dewan dan atau parpol. APBD/APBN sangat menentukan takdir sosial rakyat dan atau daerahnya, dalam hal ini Indramayu.
Uang rakyat (APBD/APBN) yang dipakai itu sebagai konsekuensi yang tak terbantahkan dalam sistem demokrasi. Meski, Pilkada itu bukanlah demokrasi itu sendiri, dan bukanlah apa yang dimaksudkan dalam demokrasi. Demokrasi tidak bisa dimaknai dan atau ditandai hanya karena adanya Pilkada setiap lima tahun sekali.
Membaca demokrasi tidak bisa dengan variable tunggal, yaitu digelarnya Pemilu (Pilpres, Pilgub, Pilkot, Pilbup dan Pileg). Sungguh celaka tiga belas jika memahami demokrasi sepotong-sepotong atau dipotong-potong hanya sekedar untuk melakukan pembenaran kepentingan politik identitas sektarianisme.
Masyarakat yang buruk, bobrok hanya akan melahirkan pemimpin yang bobrok pula, rusak mental, sehingga hal yang muskil dan naif jika akan membawa perubahan takdir sosial ke pemerintahan yang lebih baik. Tidak makin rusak saja sudah sangat beruntung. Itu postulat adi kodrati yang diberitakan langit, karena suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, bukan vox populi, vox dei lagi.
Justru jika LH tidak mundur, Bupati makin menumpuk pelanggaran atas peniadaan dan atau penggusuran kedudukan Wabup sebagaimana yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh sebab itu, Bupati memang bersolo ria dalam menjalankan pemerintahannya. Soal ketidakpatuhan terhadap regulasi, itu terbaca pada karakternya dalam pengambilan kebijakan. Sehingga, akan tetap menjadi keniscayaan banyak kebijakannya akan terus menabrak UU dan regulasi turunannya yang selama ini dilakukannya. Tapi, paling tidak, tidak menambah satu poin dalam setiap pelanggarannya karena mundurnya Wabup.
LH dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan Dewan, Senin, 10/10/2022, LH menjelaskan dengan ekpresi yang sangat berapi-api, bahkan menjelaskannya dengan sangat metaforis-personifikatif, sehingga mengandung pertanyaan balik, bagaimana mungkin bisa memasak di dapur, sedangkan semua peralatan dapurnya tidak ada?
Dewan tidak memberikan solusi untuk membantu penyelesaian konflik Bupati dengan Wabup sesuai kewenangannya. Justru hanya memberikan saran agar LH nyelondoh;melakukan inisiatif berkomunikasi dengan Bupati, dimana saran Dewan itu harus dimaknai sebagai tamsil harus menyembah, menjilat dan setrusnya agar Bupati luluh hatinya, tidak berkepala batu.
LH pun balik bertanya, dirinya seperti orang yang sesat dalam belantara rimba, menjadi dungu, dengan pertanyaan, apakah dianggarkan dalam APBD untuk kebutuhan protokoler dan seterusnya? Tidak hanya itu, bahwa dirinya buta dengan segala informasi tata kelola pemerintahan.
Dalam ruangan Wabup tidak punya akses data, bahkan tidak tahu agenda dan jadual Bupati setiap harinya ke mana dan melakukan apa dalam kedinasannya. Gelap informasi dibandingkan dengan yang berada di luar sana. Sungguh fantastic dan ironis, bukan?
Apa yang dijelaskan LH dalam RDP dengan Dewan terseebut bagaikan kita membaca dan atau menonton drama Jean Paul Sartre dalam lakon Huis Close (Pintu Tertutup). Berada dalam ruang yang tertutup, buta dengan situasi.
Semua pintu tertutup, dan setiap orang yang berada dalam ruangan yang tertutup itu, tidak tahu mengapa itu bisa terjadi, dan bahkan tidak saling mengenal, kecuali dengan dirinya sendiri. Meski, ada percakapan di antara mereka.
Wabup seperti dalam kamar gelap tertutup, seharusnya Dewan dan atau BKD (Badan Keuangan Daerah), paling tidak, setelah RDP tersebut usai, langsung atau segera memberikan soft copy (pdf) APBD. Sehingga, Wabup tidak menjadi sesat dalam kedunguan, karena mengatakan bahwa untuk anggaran makan minum Wabup sebesar Rp 100 juta/bulan yang dibantah oleh BKD. Katanya, yang benar adalah Rp 35 juta/bulan.
Jika akses data dan atau APBD tersebut telah berada di tangan LH sebagai Wabup, lantas masih mengatakannya seperti itu, dan bahkan jika masih tidak mau tahu apa saja program dan kegiatan, bagaimana postur APBD dan seterusnya, berarti LH memang dungu betulan atau keterlaluan dungunya, bukan lagi sesat dalam kedunguan. Fakta dan realitas tersebut tidak terlihat dalam fatamorgana pemerintahannya.
BKD tidak cukup hanya dengan melakukan klarifikasi (baca: bantahan, membantah dengan statemen saja) yang dimuntahkan ke media, dan media langsung melahapnya tanpa basa basi dan tanpa kecerdasan jurnalisnya.
Ternyata dalam klarifikasi tersebut tidak secara lengkap menjelaskan, hanya pada poin makan minum saja. Kesesatan itu pada akhirnya menjadi kultur yang harus terus dipelihara oleh kekuasaan, dan dalam pemerintahan yang fatamorgana memang kesesatan dan kedunguan publik harus tetap dipelihara untuk politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik.
Padahal, dalam APBD, anggaran untuk Bupati dan Wabup tidak hanya sekedar makan minum saja. Ada yang namanya, konon, Anggaran Administrasi Keuangan dan Operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebesar Rp 1,1 milyar. Penyediaan pakaian dinas sebanyak 10 setel sebesar Rp 267 juta. Penyediaan dana penunjang operasional Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebesar Rp 847,3 milyar pada APBD 2022.
Penjelasan BKD dan kengawuran LH tersebut, publik tidak bisa menguji ulang kebenarannya, karena APBD tidak bisa diakses, tetap dikunci gembok dalam ketiak. Padahal publik punya legal standing hak konstitusional, dan dijamin dalam UU No. 14 Tahun 2018 tentang Keterbukaan Informasi Publik, untuk memenuhi hukum transparansi sebelum masuk pada persoalan ke-akuntabel-an, akuntabilitas publik.
Karena Wabup LH dan publik tidak bisa mengakses APBD, bagaimana mungkin bisa tahu, bagaimana postur APBD kita? Untuk apa saja, dan bagaimana rasio belanja publiknya? Kebijakan strategis apa saja yang ada dalam APBD, dan yang mana yang dianggap sebagai kebijakan publik?
Yang dipahami kepala SKPD dan hirarki di bawahnya adalah semua strategis. Fakta dan realitas empiriknya benar, tidak terlihat skala prioritas dalam APBD, terutama untuk belanja publik. Sehingga. Publik tidak bisa membaca mau dibawa ke mana takdir sosial Indramayu di tangan otoritas Bupati tersebut.
Jika seperti itu, bukan saja ngawur tapi sangat amat keblinger. Penjelasan tersebut ternyata benar dalam fakta APBDnya. Tidak terbaca untuk menjawab apa dan bagaimana yang disebut dengan kebijakan yang strategis itu.
Hal (kebijakan) strategis yang seharusnya menjadi kerangka berpikir anggaran menjadi prioritas, ternyata omong kosong semata. Bupati dalam membuat pernyataan publiknya begitu sangat lantang, tetapi tidak bisa menunjukkan yang mana yang strategis itu kebijakannya. Soal IPM, No!, Soal Stanting, No!
Soal pertumbuhan ekonomi,No!, karena BPR KR/BPR PK ambruk, padahal implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan daya beli, jika uang nasabah aman, dan bisa diratik sebagai money circle.. BWI sudah setahun bubar(an). PDAM makin sakit parah sebagai Tong Sampah. Terus apa lagi….?
Mendramatisir Kedunguan
Persoalan lainnya yang mendramatisir kedunguan adalah soal tata surat yang berkop Bupati berlogo Garuda. Padahal, format surat pengunduran diri tidak diatur dalam UU No. 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak ada format bakunya. Sehigga jika itu dipersoalkan, hanya mempersoalkan pepesan kosong dalam kedunguan.
Tidak ada ketentuan regulasi yang mengatur bahwa pengunduran diri Wabup tidak boleh menggunakan kop surat Bupati berlogo Garuda, atau harus berkop surat Wabup berlogo Garuda dengan dibubuhi materai. Yang melek dan tidak dungu pasti tahu dan paham, bahwa tidak ada kop surat Wabup berlogo Garuda itu, sejak kita menyatakan kemerdekaannya.
KPU (Komisi Pemilihan Umum) ada format baku surat, tetapi itu Surat Pernyataan Pengunduran Diri Pejabat Publik maupun partai politik, seperti bisa kita lihat dalam contoh Formulir-5 yang diterbitkan KPU. Bukan format baku surat untuk pengunduran diri Bupati atau Wabup setelah dilantik dan atau setelah Sumpah Jabatan menjadi Bupati atau Wabup.
Jika kita membuka google, ada banyak contoh, minimal 15 model surat pengunduran diri, tata surat, redaksional dan kalimatnya, tetapi itu semua bukan menjadi keharusan untuk menirunya. Jadi boleh ditiru dan boleh juga diabaikan.
Karena tidak ada aturan baku, jika dikatakan cacat (mala) adminstrtasi, argumentasi tersebut menjadi kedunguan yang bebal, apalagi jika dianggap bisa membatalkan pengunduran diri tersebut. Tidak ada keharaman jika LH benar telah meniru surat pengunduiran diri Dicky Chadra ketika mundur dari Wabup yang perpasangan dengan Bupati Aceng Fikri-Garut.
Tidak ada postulat yang bisa untuk mendalilkan bahwa jika surat pengunduran diri LH tersebut menjiplak dari Dicky Chandra atau menjiplak dari google, lantas bisa membatalkan penunduran dirinya sebagai Wabup.
Mau meniru (menjiplak) Dicky Chandra atau mnjiplak salah satu contoh surat pengunduran diri yang ada di google, tidak ada masalah, dan bukan perbuatan pidana dan atau melanggar hukum dan atau bisa membatalkan pengunduran dirinya. Hal itu hanya soal teknis dalam tata surat semata, bukan substansinya.
Jika ada format baku untuk surat pengunduran diri, ternyata Wabup tidak mengikuti ketentuan tersebut, bukan pula hal tersebut bisa menggugurkan dan atau akan membatalkan pengunduran diri Wabup. Hal tersebut hanya soal teknis surat. Paling hanya diminta memperbaiki sesuai ketentuan regulasi.
Jika masih ngotot seperti itu, namanya mendramatisir kenaifan dan atau kedunguan yang hanya untuk mengaburkan alasan pengunduran diri LH.
Alasan LH konkret betul, yaitu adanya fakta dan realitas empirik bahwa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan Wabup telah ditrampas dan atau digusur oleh Bupati secara nyata dan gamblang. Sehinga, dirinya tidak mampu lagi mengemban amanat dan tidak bisa melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut bisa dibuktikan dengan fakta yang nyata oleh publik sendiri. Bupati telah nyata-nyata meniadakan peran dan fungsi Wabup sebagaimana ketentuan UU. Wabup dianggap tidak ada, tidak ada gunanya, tidak berguna. Meski ada tapi tiada nyatanya.
Jika itu dianggap cacat adminitrasi dalam tata surat, paling hanya diminta memperbaikinya. Patut dicatat, jika kita lupa, dan kemudian tidak pernah mau berniat melawan lupa, bahwa sejak kita merdeka, logo Garuda hanya dipakai dalam kop surat Bupati untuk pemerintahan daerah di kabupaten. Yang berarti dalam otoritas kedinasan, Wabup boleh menggunakan kop surat Bupati yang berlogo Garuda tersebut dalam konteks kedinasan.
Jika saja LH setelah mengundurkan diri dari Wabup, lantas masih menggunakan kop surat Bupati yang berlogo Garuda untuk kepentingan apapun, meski pengunduran dirinya belum terbit surat keputusan dari Mendagri, itu sudah masuk dalam kategori gila atau kegilaan dalam kedunguan.
Jika pula LH dalam surat pengunduran dirinya menggunakan kop surat berlogo Garuda Sekretaris Kabinet RI, dalam psikologi harus dikatakan gila. Jika sudah gila, mau diapakan lagi. Tuhan saja tidak meminta pertanggungjawaban jika sesorang sudah dalam posisi gila. Dalam kegilaan masih terkena pengkhisaban.
Yang menggelikan atas kejongkokan argumentasi adalah dianggap cacat (mala) admintrasi, karena dua hal, yaitu, menggunakan kop surat Bupati berlogo Garuda dan tidak materai. Entah yang berargumentasi seperti itu, belajar tata surat dan administrasi ketatanegaraannya di mana, atau sedang belajar bermian dramakah? Sungguh memilukan, bukan?
Bukankah jika kertas berlogo Garuda itu sudah distempel basah dan sudah ditandatangani, masih harus diberi materai? Tentu, ini sangat keterlaluan dungunya. Logo Garuda yang dicap stempel basah, artinya, telah menggantikan kedudukan hukum bermaterai dalam ketatanegaraan kita. Sudah tidak perlu lagi materai dalam surat pengunduran diri tersebut. Sehingga ketika kita ngotot dan masih menyoal soal tersebut, namanya kita dalam kedunguan bukan lagi dalam kejongkokkan.
Sama pula itu artinya kejongkokan argumentasi, jika kop surat Bupati yang berlogo Garuda tersebut hanya boleh dipakai dan atau hanya boleh dipergunakan oleh Bupati dalam kedinasannya, Wabup tidak diperbolehkan menggunakan kop surat Bupati yang berlogo Garuda dalam hal kedinasannya.
Terlampau naïf, mengada-ada dan menjadi sangat remeh temeh dalam menyoal surat pengunduran diri Wabup hanya lantaran soal menggunakan kop surat Bupati berlogo Garuda, tidak bermaterai dan nomor surat dengan garing Tapem, hanya sekedar untuk mengaburkan substansi problem pengunduran diri Wabup dan atau hanya sekedar bagaimana mendramatisir drama dalam Ketoprak Pendopo.
Jika menggunakan logo Garuda dengan kop surat Bupati, haruslah dimaknai sebagai simbolisme bahwa LH menyerahkan kembali logo Garuda dan kop surat tersebut kepada Negara, dengan alasan konkret yang dijelaskan dalam surat pengunduran dirinya. Sehingga, kita bisa keluar dari kolam kedunguan soal negara, dimana Bupati dan Wabup hanya sebatas pelaksana sebagai penyelenggara negara dalam pemerintahannya.
Surat pengunduran diri LH, sesungguhnya sudah memenuhi standar surat formal dalam kedinasan, karena ada nomor surat, sifat, lampiran, hal, dan ditujukkan kepada siapa, semuanya sudah cukup jelas, disertai tembusan yang jelas juga.
Jika kemudian disoal ke-ASPAL-an nomor surat yang garis miring Tapem. Hal itu adalah dugaan yang remeh temeh untuk mengaburkan pokok substansi persoalan surat itu sendiri.
Jika benar aspal itupun harus ada pernyataan dari Kabag Tapem dan atau Bupati. Padahal, itu soal teknis adminitratif yang tidak menggugurkan pengunduran diri. Kengawuran dalam menduga-duga tersebut tak bisa terbantahkan, karena hingga sekarang dari pihak yang bersangkutan tidak melakukan bantahan.
Nomor surat pun dipertanyakan, dan konon tidak tercatat di Tapem. Bukankah itu sudah bukan hal yang aneh bin ajaib. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) saja selalu temuannya, antara lain, lupa di-SPJ-kan, salah dicatat, salah buku, belum dibukukan dan seterusnya.
Padahal, itu soal pertanggungjawaban uang rakyat (APBD) yang sangat materiality, apalagi cuma sekedar soal nomor surat garing Tapem yang kemudian saling tuding untuk berapologi dan beralibi bahwa itu tidak tercatat di Tapem.
Prinsipil tata suratnya dengan argumen yang dikedepankan tersebut menjadi berantakan. Tidak jarang, dalam hal nomor surat sudah diterbitkan dulu sekalipun suratnya belum dibuat, dan akhirtnya bisa juga salah atau keliru untuk penomorannya. Nomor surat sudah diterbitkan lebih dahulu, suratnya baru kemudian dibuat. Itu soalnya, jika kita menjadi tukang kliping.
Surat pengunduran diri dan atau surat pernyataan LH, tak bisa dipungkiri harus kita katakan buruk, karena sangat bertele-tele, terlampau banyak sampirannya, tidak to the point, tapi itu kultur surat birokratif.
Kita bisa bandingkan juga dengan tradisi buruk dalam tata surat birokratif lainnya. Jika kita membaca, menyimak dan menelisik surat edaran Bupati yang selama ini diterbitkan, dalam tata surat jauh lebih buruk lagi, karena mengedepankan mentalitas Petruk Menjadi Raja, dan amat sangat bertele-tele untuk sampai pada maksud dan tujuan sebagaimana surat itu sendiri.
Alasan tambahan LH dalam unggahan vidio mengatakan bahwa dirinya, tidak mau makan gaji buta dan malu karena dengan fasilitas yang “wah” atau mewah tersebut, karena tidak bisa melaksakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai Wabup sebagaimana yang diamanatkan dalam konsitusi, UU dan regulasi turunannya, dan dalam Sumpah Jabatannya.
Itu maknanya, LH tahu diri, tahu malu, dan punya kemaluan, paham etics yang melekat pada dirinya dan paham etika publik yang menjadi tanggung jawab moralitasnya.
Jadi konkret betul alasannya. Justru LH jika ngotot tidak mau mundur. Ngotot mau bertahan sampai akhir masa jabatannya, yang kemudian dielu-elukan oleh “para penghamba kekuasaan” sebagai sikap negarawan. Hal tersebut adalah mentalitas culas, pecundang. Mental pemanipulasi dan mempolitisasi keluhuran makna dari kata kenegarawanan.
Jika seperti itu, bukankah itu artinya, LH tidak tahu diri, tidak tahu malu dan tidak punya lagi kemaluan, karena fakta dan realitasnya tidak bisa menjalankan peran dan fungsinya sebagai Wabup sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan Sumpah Jabatan, karena adanya sebab-akibat sebagaimana hukum adi kodrati (kausalitas) dalam politik kekuasaan dan kekuasaan politik, lantas tetap mau bertahan, hanya sekedar untuk makan (gaji) buta dengan segala fasilitas yang rakyat harus bayar.
Justru karena peraturan perundang-undangan tersebut, lantas tidak mau mundur, itu artinya, tidak punya etika publik, lenyapnya etics, tidak tahu diri, tidak tahu malu dan tidak punya kemaluan, ambruknya mentalitas, moralitas dan atau moral claritynya telah tergadaikan dan atau tertawan dalam kekuasaan.
LH tentu paham, melekat persoalan etika publik dan etics bagi dirinya. Sehingga, pengambilan keputusan yang menjadi sikapnya untuk mundur dari Wabup tersebut merupakan bentuk pertanggunjawaban moralitas dirinya terhadap publik sebagai etika publik, dan terhadap dirinya sendiri, karena etics tersebut melekat pada dirinya, dan berarti idealismenya masih hidup, belum mati terkuburkan karena kekuasaan.
Kita harus katakan, pengunduran diri dari Wabup adalah sebagai potret profesionalisme seseorang, bahkan jika memang benar dengan alasan tersebut, itu pun merupakan cerminan dari sikap negarawan, kenegarawanan yang tak bisa terbantahkan, dan itu menjadi hal langka di negeri ini, terutama di Indramayu. Orang yang hanya cuma bisa omong kosong dan gede-gedean omong kosong, tidak punya kemampuan apapun tetap tidak mau turun dari kursinya. Itu mentalitas (buruk).
Keteladaanan sikap kenegarawanan, sesungguhnya telah diberikan oleh Hatta sebagai Wapres. Hatta memilih mundur dari Wapres, karena tidak bisa lagi berjalan bersama dalam pemikiran membangun NKRI dengan Presiden Soekarno. Hatta tidak mampu mengubur idealisme, sudah tidak sejalan lagi dengan Soekarno.
Hatta dengan Soekarno tak bisa terbantahkan lagi berada dalam persimpangan jalan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan kehidupan bangsa. Jalan pikiran Wapres Hatta makin tajam terus bersilangan dengan Presiden Soekarno. Yang satu ambisius dan agitatif, dan yang satunya konservatif dan low profile.
Hatta sebagai negarawan mengambil sikap mundur dari Wapres. Sejarah dan waktu mencatat dan bicara, Presiden tanpa Wapres, hingga kekuasaan itu tersungkur jatuh oleh hukum adi kodrati. Tuhan memainkan peran berikutnya, ketika semua sudah tidak berdaya.
Sikap dan keteladanan Hatta, diikuti jejaknya oleh Dicky Chandra di Garut yang sudah tidak sejalan lagi dengan Bupati Aceng Fikri, dan LH di Indramayu sudah tidak sejalan lagi dengan Bupati Nina Agustina Dai Bachtiar, lantas mundur.
Di belahan dunia, negara-negara yang kapitalis sekalipun, bahkan liberal sekalipun, persoalan moralitas pejabat publik masih menjadi barometer dan parameter bangsa dan negaranya. Di belahan dunia sana, karena adanya mosi tidak percaya saja yang ditindaklanjuti dengan ekstra parlementer, pejabat publik tersebut malu, tahu diri dan punya kemaluan, lantas mundur.
Di belahan dunia sana, pejabat publik yang dicaci maki rakyatnya, dibuat meme dan atau karikatur dirinya yang amat sangat nista karena kebijakannya buruk, tidak mampu mengemban tanggung jawabnya sebagai pejabat publik, pilihannya mundur sebagai pertaruhan moralitasnya.
Bukan kemudian menjadi repersif atau malah makin menjadi otoritarian, lantas mempidanakan, mempolisikan yang mencaci maki dirinya atas konsekuensi kebijakannya yang tidak bisa logika dan akal waras. Yang terjadi di negeri ini adalah kebalikannya.
Bahkan jika sanak keluarga tersandung kasus, sekalipun belum masuk proses hukum, mereka mundur dari jabatannya. Itu soal moral dan moralitas publik. Di negeri ini, justru sebaliknya; silakan sampai berapa lama demo itu akan terus berlangsung. Kuat-kuatan dengan rezim penguasa, yang acapkali aparatus negara menjadi aparatus kekuasaan, alat negara menjadi alat kekuasaan rezim penguasa.
Jika terjadi disharmoni dalam pengambilan kebijakan dan atau hanya menjadi robot dan atau hanya menjadi patung hidup dan seterusnya, yang hanya makan gaji buta dan menikmati segala fasilitas yang harus dibayar rakyat, niscaya akan mundur sebelum diolok-olok dan atau dicaci maki oleh rakyatnya. Hal tersebut adalah cerminan dari sikap kenegarawanan yang nyaris tidak dimiliki oleh para pejabat publik. Menjadi hal yang langka di negeri ini. Itu pula kehebatan kenaifannya.
Apalagi jika palagi mengklaim paling Pancasilais, seharusnya mundur sebelum diolok-olok. Sebelum dicaci maki, karena kebijakannya yang ngawur, keblinger, sesat dan menyesatkan. Dengan perkataan lain, menistakan rakyat atau menistakan kedaulatan, karena membohongi dan mengkhianati kedaulatan dalm janji-janji kampanyenya.
Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi, bukan Presiden atau Gubernur atau Walikota atau Bupati atau Wabup.
Di negeri ini, pejabat publik berkali-kali didemo dan atau dituntut mundur dengan alasan yang konkret pun tetap asyik-asyik saja, tidak merasa berdosa atau bersalah, tak bergeming.
Bahkan sekalipun cacat moral dan atau tersandung perkara pidana dan atau korupsi, jika bisa tetap menjadi pejabat publik. Itu semua, karena problem mentalitas bangsa dan negara. Kerusakan mental bangsa dan bernegara sudah sedemikian rupa berurat dan berakar menjalar ke mana-mana.
Mundurnya LH menjadi Wabup, tidak bisa dikatakan tidak punya etika politik, lantaran LH menjadi Wabup diusung oleh parpol. Jika itu argumentasi pokoknya, itu merupakan kedunguan kolektif. Logika dan akal waras yang mana yang bisa melakukan pembenaran soal itu.
Parpol dalam sistem demokrasi di kita hanya sebagai kendaraan pengantar, yang lebih tepat adalah sebagai kendaraan penumpang saja. Setelah sampai tujuan, kendaraan itu secara etik tidak lagi menjadi arena dan relasi lagi. Itu semua, supaya tidak terjadi conflict of interest. Untuk menjaga tidak terjadinnya konflik kepentingan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan.
Sekali lagi, dalam sistem demokrasi, parpol dan atau parpol pengusung peran dan fungsi sebatas kendaraan untuk mengantarkannya. Setelah itu parpol dan atau parpol pengusung bukanlah pemilik dan atau pemegang kedaulatan atas tahta tersebut.
Bupati dan Wabup bukan lagi milik parpol, melainkan milik rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Oleh sebab itu, Bupati atau Wabup harus netral. Begitu regulasi mengatakannya.
Jika hal itu dipersoalkan sebagai etika politik, pertanyaannya, mengapa parpol pengusung tidak berani mengingatkan Bupati yang meniadakan dan atau merampas kedudukan Wabup yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menjalankan birokrasi dan atau tata kelola pemerintahahnya?
Mengapa parpol dan atau parpol pengusung juga tidak berani memberikan teguran dan atau peringatan keras terhadap Bupati yang nyaris semua kebijakannya menabrak (baca: pelanggar) regulasi sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan? Padahal, itu adalah etika politik yang melekat pada parpol dan atau parpol pengusung atau itu sebagai politik yang ber-etika.
Jadi arguemntasi itu, bukan etika politik, karena dalam etika politik ada etika publik. Itu sesungguhnya, namanya adalah basa basi politik, dengan permainan kata, melakukan penjajahan makna dalam kata, dan bahkan mempolitisasi kata itu sendiri.
Etika publik disinggirkan, kemudian menjadi etika (politik) parpol menurut logika politik identitas sektarian. Memang benar fakta dan realitas empiriknya seperti itu. Bupati dan Wabup adalah milik parpol dan atau parpol pengusung dalam gedung, rumah rakyat.
Fakta dan realitas empiriknya benar bahwa Bupati dan Wabup bukan lagi milik rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, karena rakyat tak lagi punya kedaulatan atas keberadaan Bupati dan Wabup, termasuk pada Gubernur dan Presiden, karena kita bukan lagi untuk negara, tetapi untuk pemerintah dengan politik kekuasaannya, dengan kekuasaan politiknya yang berbasis politik identitas sektarian.
Hal yang naïf pun dilakukan LH, bahwa dirinya masih mau kembali menjadi Wabup dengan mengajukan 99 persyaratan. Itu hanya sekedar basa basi politik namanya, karena akan menjadi naïf dan absurd. Sangatlah muskil, Bupati mau dengan 99 persyaratan yang diajukan Wabup untuk bisa dipenuhinya?
Sekali lagi, naïf betul itu. 99 program dalam visi misinya itu adalah omong kosong, dan hanya permainan retorika, tetapi yang absolut tidak memiliki basis argumentasi dalam (analisis) akademik, kecuali hanya sekedar jualan politik untuk membius konsituen yang yang keterlaluan dungunya.
Jika kita membaca 10 program unggulannya saja, begitu gamblang hanya bermain-main dalam tataran kata-kata, dan mempolitisasi kata-kata, sehingga terjajah maknanya. Misalnya, seperti 1.000 titik lampu dalam waktu 5 tahun, menjadi Lebu Terang Kabeh. Itu, jika kita sebagai orang buta.
Lebu Digital, yang ada fakta dan realitas empiriknya Lebu Internetan. Dokmaru, yang menjadi fakta menjadi Dokmana. Alur, yang menjadi fakta dan realitas empiric yang meng-ada, membuat tiga lapis benteng tirani baru. Hal tersebut sebagai bentuk represitas untuk membelenggu dan merepresi komunikasi dengan rakyatnya, dan seterusnya.*****