Oleh O’ushj.dialambaqa*)
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)
Fakta dan realitasnya, jika kita membuka kembali dokumen lembaran puisi yang dimuat berbagai media massa yang dijaga ketat sastrawan, para penyair tidak terpengaruh dengan gaya Puisi Esai, tidak seperti Puisi Mbelingnya 23761. Puisi Mbeling dan Puisi Esai mungkin hanya akan hidup dan berada dalam medsos, karena media massa yang dijaga ketat para penyair ternama tidak melirik sebagai karya sastra yang harus dijaga ketat mutunya.
Pun tidak seperti pengaruh puisi-puisinya Abdul Hadi WM dengan puisi-puisi sufistiknya yang begitu kuat mempengaruhi para penyair muda, atau Afrizal Malna dan Dorothea Rosa Herliany, minimal dalam tipologi dan nafas puisi-puisinya yang diikuti oleh banyak penyair muda.
Genre Puisi Mbeling
Berbeda dengan Puisi Mbeling, sekalipun sebagai genre sastra, kehadirannya tidak masuk dalam pembabakan dalam sejarah sastra kita. Bisa jadi, satu-satunya yang mungkin bisa dijadikan argumentasi, karena Puisi Mbleing di luar apa yang kita sepakati dalam sejarah sastra, bukan bagian dari apa yang disebut dengan sastra literer terpenuhinya soal setika dan isi puisi itu sendiri yang bicara untuk menunjukkan sisi kualitas-mutu sastra..
Puisi Mbeling lebih pas jika kita harus mengatakannya sebagai Sastra Kitch. 23761 pun tidak pernah melakukan gugatan soal pembabakan sastra itu dan atau sebagai tokoh berpengaruh dalam sastra, seperti dalam pembabakan sastra yang dimaksud.
Pembabakan dalam sejarah sastra kita, yang diberi identitas nama “Angkatan” terhenti setelah HB. Jassin tiada. Tidak ada lagi penyebutan, pembabakan atau pengkatagorian angkatan dalam sejarah sastra hingga kini.
Peristiwa reformasi, sebagai peristiwa politik dan sosial atas situasi dan kondisi sosial politik mempengaruhi nafas dalam sastra saat itu.
Kondisi sosial politik yang melatarbelakangi itu, biasanya menjadi landasan atas lahirnya angkatan dalam sastra pada zamannya, menjadi dasar lahirnya angkatan dalam sejarah sastra, apalagi jika kita merujuk apa yang dikatakan Ariel Heryanto dalam Perdebatan Sastra Kontekstual, atau seperti apa yang dikatakan Hary Aveling sebagai reaksi atas fenomena sosial.
Jika kita menelisik genre dan atau angkatan dalam sejarah sastra yang disebutkan di muka, salah satunya adalah adanya situasi dan konisi sosial politik dan kekuasaan saat itu, yang kemudian menjadi nafas dalam karya sastra yang meluas.
Nafas dalam tema maupun ruh dalam karya sastra terasa dan terlihat dengan jelas dalam karya-karya sastrawan saat itu, seperti, Angkatan‘80 sebagai genre baru atau identitas angkatan dalam sejarah sastra, didominasi nafas sufistik dalam karya sastra. Angkatan’70, karya sastra didominasi substansi ketimpangan sosial, terlihat gamblang dalam puisi yang sarat dengan nafas kritik sosial, puisi famplet dan sejenisnya. Begitu juga dengan ciri nafas angkatan-angkatan sebelumnya.
Pembabakan Terhenti
Dalam sejarah sastra kita tidak berlanjut pembabakan seperti itu, padahal era ‘90an hingga hingga 1998 seharusnya melahirkan genre baru dan atau angkatan baru dalam sastra kita, karena nafas pemberontakan sosialnya dalam karya-karya sastra, terutama puisi, begitu terasa.
Ataukah karena karya sastra dalam era menjelang dan sesudah reformasi, sudah tidak bisa lagi diklasifikasikan dari sisi tema, isi, nafas, dan seterusnya, sehingga tidak memungkinkan untuk pemberian nama angkatan bagi para sastrawan yang berkarya pada era tersebut. Ataukah angkatan dalam sejarah sastra kini sudah menjadi tak penting lagi?
Yang ada, yang pernah menggeliat dan mencuat sebagai perdebatan dalam kalangan sastrawan adalah soal Kanon Sastra (Sastra Kanon), yang digugat oleh Saut Situmorang. Puisi Mbeling-23761 juga tidak masuk bagian dari genre sastra literer, apalagi Puisi Esai-Denny JA yang melepaskan estetika, idiomatik dan persajakan dalam puisi untuk menghidupkan ruh puisi itu sendiri dalam sastra literer.
Dalam gugatan Kanon Sastra, Saut Situmorang juga masih menggugat, dan masih mempersoalkan dengan yang semangat berapi-api, mengapa para sastrawan LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat-PKI) tidak banyak disebut dalam Angkatan Sastra oleh HB. Jassin. Sekalipun kemudian perdebatan dan gugatan atas Kanon Sastra menjadi tidak ada ujung pangkalnya atas apa dan bagaimana yang dikatakan karya sastra itu masuk kriteria sebagai Kanon Sastra.
Puisi Mbeling-Era Medsos
Lain dulu lain sekarang. Dalam era internet sekarang ini, adanya media sosial (medsos), siapa saja bisa menjadi penyair, cerpenis, novelis, kritikus, pengamat, dan seterusnya tanpa seleksi ketat dari para redaktur sastra yang ditongkrongi sastrawan ternama-mapan-sudah menjadi, dan terlepas dari perbincangan kritikus sastra. Sekarang, setiap penyair (penulis) yang berduit bisa menerbitkan buku sendiri dengan berbagai model dan cara. Ada yang membiaya ongkos cetak buku kepada penerbit yang sudah ternama.
Era medsos sekarang ini, banyak penerbit hanya bertanggungjawab mencetak atau menerbitkan saja. Keredaksionalan, isi, kualitas tulisan dan peredaran buku menjadi tanggung jawab penulisnya sendiri. Penerbit, tidak menanggung beban tanggung jawab dari itu semua seperti dalam tradisi penerbit sebelumnya.
Sekarang, kadang dicetak sendiri, lantas diedarkan sendiri, bahkan dibeli sendiri untuk dibagi-bagikan kepada koleganya. Seolah-olah karyanya menjadi “best seller” atau paling tidak, bisa dikatakan laku dan atau dibaca publik. Tidak sedikit penulis yang melakukan itu, karena penerbit tidak meliriknya.
Kini, para pemula di era medsos hanya berhadapan atau dihadapkan dengan para netizen. Para nitizen pada umumnya di luar masyarakat sastra, bahkan sangat awam dengan apa itu sastra. Karya-karya itu kemudian hanya dianggap sebagai “hiburan” belaka, dan akhirnya tidak terkontrol oleh pemula itu sendiri.
Kerapkali terjebak ke dalam nafas erotisme yang konyol bahkan vulgar, dengan perkataan lain, “meng-sex”, mengingatkan kita pada cerpen atau novelnya popnya Matinggo Busye, Abdullah Harahap waktu itu. itu semua, pada akhirnya, akan berpulang pada pembacanya juga.
Terlepas dari itu semua, 23761, bagaimanapun telah melahirkan genre baru dalam perjalanan sejarah sastra kita dengan Puisi Mbelingnya. Suka tidak suka, mau tidak mau, Puisi Mbeling adalah bagian dari ragam sastra yang dilahirkan oleh 23761 sebagi tokoh sentralnya, dan 23761 sebagai legenda yang melegendaris dalam Puisi Mbeling.
Selamat jalan 23761, semoga Puisi Mbeling tidak lekang oleh sejarah dan waktu. Puisi Mbeling dalam situasi dan kondisi sosial politik sekarang ini, sungguh diperlukan untuk mendampingi atau berdampingan berjalan dengan apa yang disebut dengan “Meme” sebagai pelipur lara yang konyol, di tengah kemuakkan dan kejijikkan dunia sosial politik, di mana kita tengah dilanda kerusakan mentalitas sebagai bangsa dan negara, yang oleh Rocky Gerung dikatakan kita mengalami kecelakaan mental.
Suka tidak suka, mau tidak mau, tidak bisa kita pungkiri fakta dan realitas sejarahnya meng-ada. 23761 menjadi kiblat kembelingannya oleh para pemula dalam menulis puisi, bahkan hingga tipologinya pun banyak mempengaruhi para pemula. Lagi-lagi, yang kandas menembus tembok media massa yang dijaga ketat oleh sastrawan ternama, mapan-sudah menjadi.
Polemik 23761 dengan Denny JA, membuat kita kembali merindukan karya sastra yang bermutu. Semoga setiap kita membicarakan dan memperbincangkan sastra dan sejarah sastra, 23761 dengan Puisi Mbeling masih tetap akan dibicarakan oleh para sastrawan dan publik sastra.
Sastra Mbeling, Sastra Literer (Serius), dan Sastra Kitsch (Pop), tentu akan memilih jalannya sendiri bersama masyarakat pembacanya, apapun namanya tentang sastra. Sejarah dan waktulah yang akan bicara.
Selamat jalan Remy Sylado, untuk kembali ke pangkuanNya.*****